Demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang dianut oleh bangsa Indonesia. Demokrasi masyarakat mengalami berbagai tantangan bahkan membuat situasi masyarakat menjadi terpolarisasi. Hal ini dibahas dalam webinar literasi digital yang diselenggarakan untuk masyarakat Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, dengan tema ”Pendidikan Demokrasi bagi Organisasi Kemasyarakatan di Era Digital”, Jumat (12/11/2021).
Diskusi virtual dipandu oleh Agung Prakoso (Founder ATV Creative Asia) dengan menghadirkan empat narasumber: Krisno Wibowo Pimred (Swarakampus.com), Tomy Widiyatno (pengembang media seni), Anang Masduki (Dosen Komunikasi UAD), Eko Setiawan (Ketua KPU Purbalingga), serta Dilla Fadiela (Puteri Indonesia Perdamaian 2018) sebagai key opinion leader. Masing-masing narasumber membahas tema diskusi dari sisi empat pilar digital yaitu digital culture, digital ethic, digital skill, digital safety.
Anang Masduki menjelaskan, demokrasi di Indonesia pada pemilu 2014 dan 2019 merupakan pengalaman pendewasaan demokrasi bangsa. Saat itu teknologi, khususnya media sosial, sudah mulai menjadi salah satu media dalam berdemokrasi dalam hal politik. Kondisi ini menciptakan hipotesis bahwa kematian demokrasi terjadi karena media mainstream masuk oligarki politik.
Medsos adalah senjata makan tuan karena berbahaya bagi demokrasi. Platform digital mempengaruhi polarisasi politik karena adanya algoritma yang mengarahkan pada konten tertentu saja. Medsos menjadi alat politik, sehingga polarisasi berjalan masif. Adanya akun buzzer semakin membuat riuh medsos, polarisasi kian diekpsloitasi menjadi kapitalisasi politik bahkan seolah menjadi komodoti.
Faktanya, indeks demokrasi turun karena UU ITE. Undang-undang yang seharusnya mengayomi justru menjadi ketakutan masyarakat dalam berdemokrasi. Pengguna UU ITE yang banyak digunakan pejabat dengan persentase 38 persen dimanfaatkan untuk melindungi diri. Sehingga kritik menjadi terbatasi.
”Sering kita jumpai dalam konteks demokrasi bahasa yang digunakan acapkali kasar, dan ini tidak segera ditertibkan bahkan seolah menjadi komoditas. Artinya penekanan etika dalam berdemokrasi di ruang online itu penting,” jelas Anang Masduki.
Ia berpendapat berpolitik, demokrasi itu lebih baik yang biasa saja saling mendukung pilihan masing-masing sehingga tercipta ruang publik yang pluralis agonistik. Demokrasi itu mengedepankan hubungan baik antara kelompok yang bertentangan, sehingga menciptakan social trust, kebebasan dalam berpendapat, serta lingkungan yang saling mendukung.
“Maka dari itu etika demokrasi di internet harus mengedepankan nilai humanisme atau menghormati nilai kemanusiaan, menghargai perbedaan, menghormati kebebasa berekspresi. Menghormati hak orang lain dan norma, bertanggung jawab dengan hal yang dilakukan atau disampaikan, bersikap sopan dan jujur, serta menghargai hasil karya orang lain,” jelasnya tentang etika berdemokrasi di ruang digital.
Sementara itu Eko Setiawan menambahkan, era digital memberikan ruang untuk teknologi informasi dan komunikasi sebagai instrumen pendukung pengembangan demokrasi. Dalam pemilu dana pemilihan, aplikasi membantu dalam mengidentifikasi dan validasi data pemilih. Kampanye politik dewasa ini juga banyak disampaikan menggunakan platform digital.
Pola demokrasi pun menjadi berubah dengan adanya teknologi. Disisi lain memberikan dampak positif karena dapat menyampaikan informasi dengan lebih mudah dan cepat, namun sekaligus memberi dampak yang besar berupa munculnya hoaks.
“Menggunakan internet dengan bijak di era digitalisasi menjadi hal penting. Dalam konteks demokrasi perlu dibentuk norma untuk membangun karakter dan budaya demokrasi yang saling menghormatI tanpa mengganggu yang lain. Demokrasi perlu diimbangi dengan kecerdasan, kematangan, kearifan, rasional, dan bertanggung jawab sehingga demokrasi akan melahirkan kehendak yang sejalan dengan tujuan dan cita-cita,” ujar Eko Setiawan.
Teknologi menjadi media untuk menjembatani jarak dan memperluas akses, sehingga inforasi dapat dimanfaatkan siapa saja, kapan saja, dan dimana saja. Yang penting adalah bagaimana individu dapat membiasakan diri untuk menyaring informasi sebelum diunggah atau dibagikan.