Penggunaan teknologi digital dalam dua tahun terakhir tidak lagi merupakan opsi melainkan sebuah keharusan, dan langkah pertama untuk melakukannya adalah dengan beradaptasi. Namun berbagai kondisi menimbulkan kesenjangan dalam penggunaannya. Hal ini dibahas dalam webinar literasi digital yang diselenggarakan oleh Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kota Semarang, Jawa Tengah, dengan tema ”Menyikapi Kesenjangan Digital Antar Gender dan Kelas Sosial”, Senin (29/11/2021).
Diskusi virtual dipandu oleh Dannys Citra (news anchor) dan diisi oleh empat narasumber: Khairul Anwar (Marketing and Communication Specialist), Aidil Wicaksono (Founder Kaizen Room), Ismita Saputri (Co-founder Pena Enterprise), Sani Widowati (Princeton Bridge Year Onsite Directure Indonesia). Turut bergabung Aprilia Ariesta (content creator) sebagai key opinion leader. Tema diskusi dibahas masing-masing narasumber dari perspektif empat pilar literasi digital, yaitu: digital skill, digital safety, digital culture, dan digital ethics.
Aidil Wicaksono mengantarkan materi diskusi dalam perspektif budaya digital. Ia mengatakan, hampir dua tahun masyarakat dipaksa memasuki ruang digital hingga mulai terbiasa dengan penggunaan teknologi. Kebiasaan baru tersebut menjadi tantangan sekaligus tanggung jawab bersama, sebab setiap individu punya andil dalam membentuk budaya baru.
Hambatan terbesar dalam transformasi digital datang dari budaya dan perilaku pengguna teknologi itu sendiri. Tantangannya adalah bagaimana pengguna dapat memperbaiki kaca mata dalam memandang perubahan sehingga kesenjangan penggunaan media digital dapat tereduksi. Kunci jawaban dari hambatan tersebut adalah harus dimulai dari diri sendiri bahwa penggunaan teknologi merupakan keharusan. Pekerjaan rumah selanjutnya dalam membangun budaya digital yang baik adalah bagaimana pengguna dapat berkreasi, berkolaborasi, dan berpikir kritis.
”Fenomena yang terjadi di ruang digital adalah penggunaan media sosial yang menuntun pengguna pada kondisi terkotak-kotakkan. Berada pada filter bubble yang membuat kita cenderung punya pemikiran sendiri sehingga terjebak pada pemikiran yang sama. Kondisi ini kemudian terkumpul dalam satu ruang gema dimana pengguna medsos menjadi orang yang tak terbiasa dengan perbedaan dan cenderung keukeuh terhadap gagasannya,” jelas Aidil Wicaksono.
Dampak dari filter bubble dan echo chamber membuat pengguna cenderung hanya mau mendengar apa yang mau didengar. Efeknya dapat menimbulkan ujaran kebencian, karena tidak bisa menerima pendapat yang berbeda, serta tidak dapat berpikir objektif dalam menghadapi situasi. Maka dari itu agar terhindar dari efek filter buble adalah membangun kecakapan berpikir kritis dan kreatif, serta melakukan mindfulness communication. Yaitu, komunikasi yang memperhatikan keterbukaan, tidak menghakimi, bersimpati, dan berempati.
”Kita harus menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam membangun budaya digital yang baik dan nyaman. Dengan nilai cinta kasih mengajarkan warganet untuk saling menghargai dan menghormat perbedaan, memperlakukan orang lain dengan adil dan manusiawi, mengutamakan kepentingan Indonesia, memberi kesempatan kepada setiap orang untuk bebas berekspresi, serta bersama-sama membangun ruang digital yang aman dan etis,” lanjutnya.
Ismita Saputri menambahkan, kesenjangan digital memang masih lazim terjadi di Indonesia karena belum meratanya akses dan infrastruktur digital, rendahnya literasi digital, serta kemampuan ekonomi yang berbeda. Namun dalam menyikapi transformasi digital, masyarakat khususnya generasi langgas dapat berpartisipasi dan proaktif menyuarakan transformasi digital, mengembangkan dan mempersiapkan diri dengan memahami pentingnya literasi digital. Menanamkan kesadaran kepada masyarakat untuk selalu adaptif, serta hadir sebagai agen perubahan untuk mewujudkan pemerataan ekosistem digital.
”Selain aktif menyuarakan transformasi digital, yang perlu diperhatikan dalam berinternet adalah selalu melakukan filter dalam menghadapi informasi agar tidak asal sebar. Oleh sebab itu berinternet harus cerdas dalam berbagi dan berkomunikasi, cermat agar tidak mudah tertipu, tangguh dengan mampu menjaga rahasia dan privasi, bijak berinternet dan berani bertanya ketika ragu dengan suatu informasi dan berani melapor ketika menemukan konten negatif,” jelas Ismita.
Tips agar aman berinternet adalah melindungi perangkat dan identitas digital dengan password yang kuat serta berbeda pada setiap akun, mengaktifkan pengaturan privasi dan pengamanan ganda, meminimalisir penggunaan wifi publik untuk transaksi daring, menghapus riwayat penelusuran.
Berikutnya, selalu menjelajah di situs yang aman dengan memastikan url menggunakan https dan ada tanda gemboknya, serta selalu memeriksa konten dengan melakukan verifikasi dan evaluasi.