Kamis, Desember 19, 2024

Paham agama semakin membelah kita?

Must read

“Wah! Paham agama semakin membelah Indonesia.” Itulah guman, setelah saya membaca data. Dan itu gumam yang paling menyedihkan dari pilpres kali ini.

Lama saya terdiam. Saya simak lagi dan lagi peta kemenangan Jokowi dan Prabowo di Pilpres 2019. Ini peta berdasarkan Quick Count LSI Denny JA. Saya bandingkan dengan peta yang sama hasil Pilpres 2014. Saya bandingkan juga dengan hasil Real Count KPU 2019 yang bisa diakses, yang belum 100 persen selesai.

Jokowi menang telak sekali di provinsi agama minoritas. Di Bali dan Papua, kemenangan Jokowi di atas 80 persen. Di NTT dan Sulawesi Utara kemenangan Jokowi di atas 75 persen.

Saya bandingkan dengan data pilpres 2014. Di empat provinsi agama minoritas itu, Jokowi juga menang. Tapi kemenangan Jokowi di 2014 tidaklah setelak sekarang, di tahun 2019. Di Papua dan Bali sebagai misal ada kenaikan dukungan Jokowi sekitar 20 persen, dari 70-an persen (2014) mendalam ke 90-an persen (2019).

Sebaliknya, di Aceh, dan Sumbar, Prabowo juga menang telak sekali dalam pilpres 2019. Kemenangan Prabowo di sana di atas 80 persen.

Kembali saya bandingkan data itu dengan hasil KPU Pilpres 2014. Prabowo juga menang telak di daerah itu. Tapi kini kemenangan Prabowo jauh lebih telak lagi. Di Aceh kemenangan Prabowo memuncak dari 50-an persen (2014) melompat ke 80an persen (2019). Di Sumbar, dari 70-an persen (2014) ke 80-an persen (2019).

Di ujung timur, Jokowi menang semakin telak. Di ujung barat, Prabowo menang semakin telak. Di Jawa tengah dan Jawa timur, Jokowi menang semakin telak. Di Banten dan Jawa Barat, prabowo tetap unggul telak.

Photo by fotografierende on Unsplash

Kini saya bandingkan data perolehan suara dari kantong pemilih agama. Memang terasa mencolok. Pemilih agama minoritas yang memilih Jokowi, dari Kristen, Katolik, HIndu, Budha, KongHuCu dan agama kepercayaan, total sekitar 83 persen. Hanya 17 persen dari komunitas ini yang memilih Prabowo.

Pemilih Muslim jika dilihat di permukaan memang berimbang. Jokowi hanya unggul tipis. Total Jokowi mendapatkan dukungan Muslim sebesar 52 persen versus 48 persen untuk Prabowo.

Namun jika pemilih Muslim itu dibelah kepada ormas, pembelahannya sangat terasa. Prabowo unggul telak di segmen pemilih Muslim FPI dan Reuni 212. Pemilih Prabowo di segmen ini di atas 90 persen.

Persoalannya memang total komunitas FPI dan Reuni 212 belum banyak, masih sekitar di bawah 3 persen saja. Yang banyak memang komunitas NU, sekitar 40-50 persen populasi.

Di kalangan komunitas NU, Jokowi menang moderat, sekitar 54 persen vs 46 persen. Jokowi unggul dengan selisih 8 persen. Tapi dalam komunitas Muhammadiyah (total populasi 5 persen), pendukung Jokowi dan Prabowo berimbang.

Cukup besar pula Muslim yang merasa tak menjadi penganut ormas Islam apapun (40 persen. Posisi Jokowi vs Prabowo juga berimbang di segmen yang tak merasa berafiliasi pada ormas manapun.

Pembelahan yang ekstrem memang di sini. Pemilih minoritas ekstrim ke Jokowi. Islam garis FPI dan Reuni 212 mencolok ke Prabowo. Muhammadiyah dan yang tak berormas berimbang. NU lebih banyak ke Jokowi.

“… Sebagai komunitas, HTI saat itu sudah mulai meluas dan mengakar.”

Beberapa peristiwa memperdalam pembelahan itu. Wacana NKRI bersyariah berulang-ulang digaungkan Habieb Rizieq. Om Google mencatat itu. Dalam reuni 212, misalnya, Rizieq berulang- ulang menyatakan.

Ketika memutuskan mendukung Prabowo, Rizieq juga menyampaikan perlunya NKRI Bersyariah. Prabowo juga menunjukkan sikap positif kepada figur Habieb Rizieq. Berulang Prabowo menyatakan diri akan menjemput sendiri Habieb Rizieq sehari setelah ia dilantik sebagai presiden.

Ini pemicu yang membuat Muslim garis FPI, Reuni 212 dan yang merasa bagian gerakan ini mendekat kepada Prabowo. Sebaliknya, pemilih minoritas justru berbondong-bondong menjauh dari Prabowo. Terminologi NKRI Bersyariah tidak membuat mereka nyaman.

Garis Muslim konservatif semakin dalam berkumpul pada Prabowo didahului dua event. Pertama dibubarkannya HTI oleh pemerintahan Jokowi. Sebagai komunitas, HTI saat itu sudah mulai meluas dan mengakar.

Berulang-ulang video HTI disebar dan viral. Tergambar HTI bukan saja merasa demokrasi adalah musuh. Bahkan Pancasila pun dianggap bukan pedoman hidup berbangsa Indonesia. HTI menggaungkan supremasi pemerintahan khilafah, pemerintahan Islam yang melampaui batas negara.

Karena dilarang, komunitas HTI dengan sendirinya mengambil jarak terhadap Jokowi. Tak ada pilihan lain, kelompok ini berkumpul mengitari Prabowo. Semakin kelompok ini mendekat kepada Prabowo, sebaliknya, semakin kelompok minoritas pergi dari Prabowo.

Kedua, event lain yang penting dimulainya kasus pidana atas Habieb Rizieq. Beberapa kasus ditimpakan kepada Rizieq paska pilkada Jakarta. Itu mulai dari tuduhan penodaan Pancasila hingga video porno.

Ini pula yang menjadi pemicu Rizieq akhirnya memilih hidup di Arab Saudi. Di luar, Rizieq semakin lantang menyuarakan sikapnya yang bersebrangan dengan Jokowi.

Hantaman kepada Jokowi dipopulerkan dengan istilah kriminalisasi ulama. Istilah itu sendiri juga kontroversial, bukan istilah hukum yang tepat untuk kasus Rizieq. Istilah itu digunakan sebagai labeling yang dianggap sengaja untuk membuat Jokowi menjadi common enemy pemilih Islam.

Jokowi pun membaca gelagat. Tidaklah heran, ketika Jokowi memilih cawapres, ia dahulukan tokoh dengan background Islam yang kuat. Karena paling besar populasi muslim dari NU, tokoh NU menjadi pilihan. Ini pula yang menjadi sebab mendekatnya komunitas NU kepada Jokowi.

Dalam pilpres 2019, kita mendapatkan buah dari semua sinerji itu. Terjadi pembelahan elektoral. Pemilih minoritas, plus Muslim yang abangan, yang banyak di Jawa Tengah, yang moderat, yang NU, yang banyak di Jawa Timur berkumpul di balik Jokowi.

Sebaliknya. Komunitas Muslim dengan garis FPI, Reuni 212, HTI dan muslim konservatif. Plus Muslim yang belum semua karakternya teridentifikasi, yang banyak di Jabar, Banten, Aceh, Sumbar, Riau, berkumpul di belakang Prabowo.

Itulah pembelahan politik elektoral Indonesia, yang terbaca dalam pilpres 2019.

What next? Akan semakin dalamkah pembelahan elektoral berdasarkan paham agama? Baguskah pembelahan itu untuk Indonesia?

Masyarakat modern seperti Amerika Serikatpun mengalami pembelahan elektoral. Namun pembelahan di sana lebih kepada basis platform kebijakan publik.

Satu kubu lebih liberal, lebih kepada peran pemerintah yang lebih besar, juga lebih kepada kultur yang lebih sekuler.

Kubu yang lain disebut lebih konservatif, lebih ingin peran pemerintah yang minimal. Juga platform ini lebih diwarnai kultur nilai- nilai agama.

Ketika Hillary versus Trump pada pilpres 2016, persaingan politik juga terasa panas, dan banyak pula memainkan isu politik identitas.

Namun di Amerika Serikat, satu hal sudah pasti. Tak ada lagi elit berpengaruh yang ingin mengkutak katik politik demokrasi sebagai aturan main bersama. Semua persaingan disetujui dituntaskan melalui prosedur, mekanisme dan lembaga demokrasi.

Tantangan kita ke depan adalah memperkuat politik demokrasi itu. Yaitu membuat demokrasi menjadi “the only game in town.” Sekeras apapun pembelahan elektoral yang terjadi, ia tetap dilaksanakan dalam prosedur dan kelembagaan demokrasi.

Solusi di luar demokrasi, hanya akan membuat kita semakin terbelah dan jatuh pada kekerasan.

Ketika paham agama semakin membelah kita, ingatlah ini. Mereka yang bukan saudaramu seiman, dan bukan saudarmu dalam satu kubu capres, tetap saudaramu sebangsa, dan setanah air.

April 2019

Denny JA

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article