Kamis, Desember 19, 2024

Bisakah kita tanpa front?

Must read

#SeninCoaching:

#Lead for Good: Being without front is cool

Mohamad Cholid, Practicing Certified Executive and Leadership Coach

Laga derbi Arema FC versus Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, sudah disepakati sebagai tragedi olah raga dan tragedi kemanusiaan, disorot pelbagai pihak di dunia.

Di sejumlah kota, orang-orang, umumnya berusia muda, berkumpul di tempat umum, bahkan di stadion di kota mereka, menyalakan lilin, berduka atas rekan-rekan seusia mereka yang — tanpa ada indikasi atau bukti mereka mengancam keutuhan negara – telah ditumpas oleh aparat bangsanya sendiri. Korban meninggal 130-an orang dan sekian ratus orang lainnya luka ringan sampai parah.

Ini kemudian melahirkan kegiatan-kegiatan tambahan bagi banyak pihak, yang tentunya menyedot resources (waktu, pikiran, dan uang).

Presiden perlu mengalokasikan waktu dan perhatiannya untuk mengunjungi korban yang dirawat, cek lokasi kejadian di Malang. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan ditugasi memimpin Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) untuk mengungkap pelbagai kemungkinan penyebab tragedi dan, tentunya kita harapkan, membangun sistem mitigasi menghadapi kemungkinan buruk semacam itu.

Menteri PUPR ditugasi mengaudit semua stadion di Indonesia dan memperbaikinya sesuai dengan standar keamanan yang lebih manusiawi. Semua itu memerlukan anggaran ekstra yang tidak sedikit.

Komnas HAM dikabarkan menyampaikan temuannya, ternyata penggunaan gas air mata tidak ada dalam perencanaan pengamanan. Di luar Komnas HAM, sejumlah pihak juga mempertanyakan penggunaan gas air mata dan tindak kekerasan lain oleh para aparat berbeda seragam di Stadion Kanjuruhan. Komnas HAM juga sekaligus meyampaikan, suporter yang masuk ke lapangan hanya berniat memberi semangat kepada para pemain Arema FC.

Apakah itu akibat perwira lapangan ingin memastikan agar gas air mata tidak sekadar disimpan, harus dipakai (tanpa peduli memenuhi syarat apa tidak), mengingat sudah dibeli mahal? Kabarnya, anggaran untuk beli gas air mata tahun 2020 adalah US$14,8 juta (Rp 222 miliar, kurs Rp15.000).

Atau, seperti kata orang, apa mungkin karena komandan di lapangan “tidak ikut menikmati” hasil transaksi pengadaan gas air mata tersebut, lalu melampiaskan kekesalan dengan menghamburkannya?

Supaya tidak terjebak spekulasi, percayakan kepada tim pencari fakta bekerja secara akuntabel. Mereka perlu juga membuktikan, benar begitu atau ada kaitan dengan operasi intelijen pihak tertentu. Kapolri sudah mengumumkan sejumlah tersangka, termasuk di dalamnya ada perwira polisi.  

Mas Dadang dari Malang, yang berada di kursi penonton saat itu, bercerita kepada TVOne, betapa “ngilu” malam itu. Penonton bisa menyimpulkan, kejadiannya seperti sudah ada skenarionya: gas air mata level tidak pedih ditebar seiring penghalauan massa. Setelah massa panik, sebagian digebuk dan ditendang, gas air mata level berikutnya ditembakkan, kali ini terasa sangat pedih, juga di kulit, kata Mas Dadang. Kemudian massa mendapati kenyataan, akses keluar stadion dihambat.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article