Awalnya sih saya biasa saja menanggapi kenaikan harga tiket pesawat. Tapi karena semakin sering terbang, jadi terasa juga dompet. Penerbangan Jakarta – Surabaya yang biasanya Rp600-700 ribu, sudah menjadi Rp1,3 juta. Tapi mau bagaimana lagi, pilihannya hanya ada dua: naik pesawat atau tidak. Perjalanan darat yang bisa memakan waktu belasan jam sudah bukan opsi lagi.
Pertanyaannya, mengapa harga tiket pesawat mahal?
Kalau melihat alasan yang selalu keluar dari jubir maskapai, persoalan selalu berujung di avtur atau bahan bakar pesawat yang mahal. Avtur sendiri sudah memakan biaya 35-40 persen ongkos produksi pesawat sekali terbang. Dan itu tentu dibebankan pada penumpang.
Dengan biaya tiket sebelum naik, pihak maskapai selalu mengeluh bahwa perusahaan mereka berdarah-darah, dalam artian mereka selama ini masih mensubsidi dan belum mendapat keuntungan apapun. Jika ini diteruskan, kata mereka, maskapai bisa bangkrut.
Tapi ada yang tidak dijelaskan ke publik, bahwa ternyata dalam beberapa waktu ini, maskapai penerbangan di Indonesia hanya dikuasai dua raksasa penerbangan saja. Yaitu grup Garuda dan grup Lion.
Kedua grup besar ini membentuk kerjasama dalam penentuan harga tiket. Dalam ilmu ekonomi, ini disebut duopoli. Mereka menguasai pasar dan menentukan pasar.
Sebenarnya ada satu pihak luar yang awalnya ikut serta dalam perang harga tiket, yaitu AirAsia. Tapi hebatnya, kedua maskapai dalam negeri ini sepakat “menendang” AirAsia dalam kancah bisnis penerbangan di Indonesia.
Caranya? Dengan menekan situs penjualan tiket terbesar se-Asia Tenggara seperti Traveloka untuk tidak menjual tiket Air Asia. Itulah kenapa kemarin-kemarin ada rebut-ribut antara AirAsia dan Traveloka, karena AirAsia menuntut hilangnya penjualan tiket mereka dari Traveloka. Dan akhirnya AirAsia cabut dari Traveloka dan mulai menjual tiket dari situs mereka sendiri.
Dengan hengkangnya AirAsia dari Traveloka, otomatis penjualan tiket dikuasai oleh grup Garuda dan Lion. Mereka lalu bersepakat menaikkan harga tiket demi keuntungan mereka. Kesepakatan bersama untuk menguasai pasar inilah yang disebut duopoli, dengan menghilangkan kompetisi di antara mereka dan kompetitor lainnya.
Lalu di mana peran pemerintah?
Pemerintah dalam posisi ini hanya bersifat sebagai pemberi regulasi. Mereka hanya bisa menentukan harga batas atas dan batas bawah tiket tanpa bisa mencampuri berapa harga tiket yang harus dibebankan pada konsumen.
“… Konsep duopoli dan monopoli ini memang kejam, karena menghilangkan sifat kompetisi, semua ditentukan oleh pemain besar.”
Dan di sinilah kehebatan konsep duopoli ini. Jika kedua raksasa penerbangan itu sepakat untuk tidak terbang, maka susahlah kita semua. Lha, penerbangan dikuasai mereka semua.
Konsep duopoli dan monopoli ini memang kejam, karena menghilangkan sifat kompetisi. Semua ditentukan oleh pemain besar. Kita mau ribut juga percuma, karena pasti akan dikasih jawaban, “Mau naik silahkan, enggak juga gak apa-apa.”
Pada akhirnya pemerintah hanya bisa menurunkan harga tiket pesawat sebanyak 12 sampai 16 persen saja. Itupun harus dengan ancaman, “Kalau tidak turun juga, kami akan cabut ijin operasional pesawat.”
Tapi benarkah Menhub berani? Nggak takut dengan ancaman mogok massal dan keruwetan sesudahnya?
Kita tunggu saja, meski turun 12-16 persen itu juga tetap tidak banyak artinya. Dalam artian, ya tetap mahal juga.
Nasib, nasib. Lagi begini saya jadi mikir, “Enak juga ya jadi Ferdinan Hutahean. Cukup pakai sempak merah di luar, bisa terbang seperti Superman ke mana-mana..”
Mau seruput, kok masih puasa. 😢