Sabtu, November 16, 2024

Pemimpin, membangun nilai atau kejar setoran?

Must read

Kolom Mohamad Cholid

“The arrogance of success is to think that what you did yesterday will be sufficient for tomorrow.” – William Pollard

Menggunakan ballpoint di angkasa luar, tanpa gravitasi Bumi, menjadi mustahil. Tinta ballpoint yang kita pakai bisa mengalir ke ujung pena dipengaruhi oleh gaya tarik Bumi. 

Sejumlah tahun silam NASA, Badan Antariksa AS, berkutat pada persoalan tersebut. Lantas menyewa lembaga konsultan Andersen selama 10 tahun dengan ongkos US$12 juta untuk melahirkan ballpoint yang bisa dipakai para astronot. Hasilnya: mereka menemukan ballpoint yang dapat digunakan di segala permukaan, dalam kondisi tanpa gravitasi, posisi jungkir balik sekalipun, bahkan di suhu 300 derajat di bawah titik beku. Ini tentunya merupakan invention.

Di belahan benua lain, untuk memenuhi kebutuhan menulis di angkasa luar, kosmonot Uni Soviet (Russia) memilih menggunakan pensil. Sederhana, urusan beres. Ini solusi, sebuah discovery baru.

Ketika Darren Hardy, mentor para CEO dan top executive di AS, menceritakan kembali kasus tersebut, ia ingin mengingatkan, bahwa kebanyakan kita cenderung gampang hanyut dalam gelombang persoalan, lalu heboh di dalamnya; bukan fokus pada solusi. Dengan fokus pada segala kemungkinan solusi, bukan mengunyah-ngunyah problem, pihak Russia telah menghemat anggaran US$ 12 juta dan waktu satu dasawarsa.

Gambar oleh Rahul Singh dari Pixabay 

“… Sekarang tinggal mengimplementasikan pengetahuan dan hasil pelatihan yang sudah diperoleh secara konsisten, show how — do the right things right.”

Dalam praktik pengelolaan organisasi bisnis dan nonprofit di pelbagai negara di dunia, termasuk di Indonesia, sampai hari ini kita masih sering melihat kalangan eksekutif montang-manting dilanda angin puyuh kesibukan. Ada juga di antara pimpinan organisasi yang dijepit oleh tumpukan to do list dan deretan proyek.

Apakah semua itu mengindikasikan bisnis yang mereka kelola tumbuh cepat secara sehat? Belum tentu.

Kalau ada yang merasa yakin bahwa semua kehebohan itu memperlihatkan pertumbuhan usaha, mereka perlu menjawab dengan jernih pertanyaan ini: Bisnis mereka mau dibesarkan jadi seperti apa kalau hanya didesak oleh external needs tanpa pengendalian yang kuat dan kurang pula ditopang internal strengths secara masif?

Dalam banyak kasus, mengejar pertumbuhan dengan agresif merebut pasar, tapi tidak memiliki resources (uang/modal, waktu, konsultan/coach, human capital) yang memadai, bisa menimbulkan malapetaka. Bukankah kita sering melihat kasus semacam itu?

Sebagian eksekutif senior dan para pengelola bisnis ada juga yang cenderung mendesak tim mereka bekerja sampai larut malam. Kalau ada manajer yang pulang sekitar jam tujuh malam, dia mengizinkan tapi sambil melihat jam. Tentu ini dipersepsikan oleh anak buah seperti mau kasih isyarat, “Jam segini kok sudah pulang.”

Dengan perilaku kepemimpinan seperti itu, mereka merasa sudah menempuh jalan terbaik dalam melakukan akselerasi atau percepatan usaha. Benarkah demikian?

Bekerja nyaris selalu sampai larut, rata-rata total lebih dari 60 jam per minggu, memperlihatkan upaya keras agar bisnis tumbuh pesat, bisa merupakan tahyul baru.

Simaklah pembuktiannya, antara lain dari hasil riset Morten T. Hansen, dulu profesor di Harvard Business School, anggota Boston Consulting Group, dan belakangan profesor manajemen di University of California, Berkeley. Morten Hansen melakukan analisis kaitan jumlah jam kerja dengan performance 5000 (lima ribu) orang manajer dan karyawan.

Jika Anda bekerja antara 30 – 50 jam per minggu, tambahan beberapa jam memang dapat meningkatkan kinerja. Tapi, jika rata-rata Anda sudah bekerja selama 50 – 65 jam setiap pekannya, memaksakan diri dan tim untuk bekerja lebih lama lagi malah akan menyebabkan performance merosot. Titik kulminasinya di 65 jam per minggu (Morten T. Hansen: Great at Work, 2018).   

Para pelaku bisnis yang sudah terlatih menerapkan kerja smart umumnya sependapat, bahwa orang-orang yang selalu lintang-pukang kerja sampai malam terus-menerus atau sibuk tanpa ada ujungnya, sesungguhnya sedang bersembunyi dari ketidaknyamanan harus berdisiplin, melakukan langkah-langkah kongkrit perbaikan – yang memang bisa counterintuitive – hari demi hari.

Mereka yang mengaku selalu sibuk tersebut sesungguhnya tidak kekurangan waktu (karena semua manusia mendapatkan jatah sama dari Tuhan); mereka hanya belum punya skills untuk memimpin diri sendiri.

Bagaimana kalau orang-orang yang selalu sibuk – indikasinya sedang bersembunyi dari tanggungjawab dan tugas utamanya yang lebih berat – tersebut harus memimpin tim? Atau mengelola satu divisi yang memiliki impact besar bagi organisasi, atau menakhodai organisasi dengan business size ratusan miliar sampai triliunan? Bisa gawat ‘kan?

Gambar oleh Samuele Schirò dari Pixabay

Bagaimana menjadi eksekutif dan leader lebih efektif kalau terus-terusan bersikap reaktif, setiap hari mengunyah-ngunyah persoalan (seperti kasus di NASA sekian tahun lalu); tanpa ada waktu berpikir jernih menata strategi, fokus menemukan kemungkinan solusi terbaik (cara kosmonot Russia seperti di awal cerita diatas)?

Tentunya Anda sudah mengetahui, untuk meraih sukses berkesinambungan disamping butuh struktur organisasi yang sesuai tantangan zaman juga perlu kekuatan leadership, kompetensi/ perspektif baru, kejernihan visi, penentuan prioritas, dan disiplin eksekusi.

Sekarang tinggal mengimplementasikan pengetahuan dan hasil pelatihan yang sudah diperoleh secara konsisten, show how — do the right things right.

Sudah waktunya Anda mendisain ulang (redesign) cara bekerja dan meningkatkan efektivitas kepemimpinan. Sebagian orang ada yang dengan gagah menyanggah, kenapa perlu improvement, dengan alasan selama ini sudah sukses kok pakai pendekatan lama – termasuk kerja sampai larut malam dan tim terkena burn out.

Pertanyaannya, mau sampai kapan mengandalkan cara kerja ugal-ugalan semacam itu?

Refleksi untuk kita semua, ajukan pertanyaan ini: Setiap hari kita bekerja demi membangun nilai, kemuliaan, atau sekedar memenuhi target sesuai job description?

Para profesional sejati lazimnya bekerja demi mambangun nilai, memberikan positive impact bagi diri sendiri dan orang lain, para stakeholder.

Mohamad Cholid adalah Head Coach di Next Stage Coaching.

  • Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching
  • Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment
  • Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman
- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article