Kamis, Desember 5, 2024

Sepakbola Indonesia, Empat Besar Asia, Cukup!

Must read

Oleh: Sabpri Piliang, Wartawan Senior

“Kekalahan terkadang lebih mengajarkan banyak hal. Ketimbang kemenangan”. Kekecewaan publik semalam, membasuh mimpi, sekaligus impian yang telanjur membuncah. Skor akhir 0-1, atau berapa pun, telah menutup jalan menuju Olimpiade Paris (Perancis) 2024. Guinea, rangking empat Afrika. Mengalahkan Indonesia, rangking empat Asia. Di babak play off. Harapan itu, usai sudah.

Membuncah! Ya, membuncah. Membuncah, setinggi jarak Bumi dan Bulan, 435.000 Kilometer jauhnya. Antusiasme nonton bareng, yang lazimnya jadi model  publik untuk menyaksikan Timnas Argentina, Brasil, Jerman, Italia kala bertanding di semifinal dan final Piala Dunia, tidak menolong.

Padahal, tren yang mulai menghinggapi laga-laga Timnas Indonesia ini, mulai tumbuh. Kecintaan pada Tanah Air. Kebanggaan pada tumpah darah. Itulah yang mendorongnya.

Ketika Piala Dunia 1986, 1990, 1994, dan seterusnya, saya sering menertawakan teman-teman yang nonton bareng di berbagai sudut. Dari Gedung mewah, hingga perkampungan. Timnas Argentina vs Jerman di final World Cup 1986.

Bertanding di Mexico City, mereka bersorak sorai, kala Jose Louis Brown (Argentina) menciptakan gol. Mereka juga bersorak, ketika Andreas Brehme (Jerman) membalas gol Argentina. Sepakbola adalah “sihir” bagi siapa pun. Pesonanya inklusif, luas.

Saat itu sempat terpikir. Kapan ya, ada nonton bareng Timnas Indonesia bertanding. Timnas milik kita, kebanggaan kita. Tentunya dengan permainan indah. Seperti seniman tengah melukis. 

Titik balik antusiasme publik muncul, ketika Timnas mengalahkan Vietnam di Stadion My Dinh. Di Leg ke-2 Pra-Piala Dunia. Vietnam dihajar oleh Timnas Indonesia 0-3. Stadion My Dinh di Kota Hanoi, terkenal angker, untuk anak-anak “Merah-Putih”. Nyaris tak pernah menang saat melakukan “away” di sini. Bukan hanya itu, gol-gol yang diciptakan Jay Idzes, dan Ragnar Oratmangoen, punya kelas bagus. Permainan Timnas, enak ditonton.

Menjadi Tim yang tak diunggulkan, lalu melibas Aussie (Australia 1-0), dan “menghina” Timnas Yordania dengan 1-4 di Piala Asia U-23, pekan lalu. Mengagetkan. Tak berhenti di situ. “Untouchable”, “Ksatria Taegeuk” (Korea Selatan) pun dipulangkan di delapan besar, dengan skor 11-10 (adu penalti). 

Pokok pangkal inilah yang mengubah ekspektasi publik Indonesia. Target pun berubah. Dari sekadar masuk delapan besar, menjadi lolos Olimpiade. Beban psikologis pemain muda ini, tak mampu ditanggung  secara ‘mendadak’. Perubahan ‘harapan’ publik, menjadi hal yang sulit. Membebani.

Kekalahan demi kekalahan pun ditanggung oleh Witan Sulaeman dkk, setelah itu. “Kemenangan memiliki seratus Ayah. Tetapi, kekalahan adalah Anak Yatim”. Demikian ungkapan Presiden ke-35 Amerika Serikat, John Fitzgerald Kennedy (1917-1963). Diksi JFK ini, bermakna simbiosa kesedihan.  

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article