Oleh Mohamad Cholid
“I insist on a lot of time being spent, almost every day, to just sit and think. That is very uncommon in American business. I read and think. So I do more reading and thinking, and make less impulse decisions than most people in business.” – Warren Buffett.
Sekelompok manusia terpenjara — lebih tepat terpasung – di dalam gua. Kepala mereka tidak bisa menengok ke kanan, atau ke kiri, apalagi ke belakang. Mereka hanya bisa melihat satu arah, ke dinding gua dan bayangan-bayangan yang memintas. Di belakang mereka ada jalan tempat orang lain lalu-lalang, besama binatang-binatang dan bawaan mereka. Semua gerakan yang berlalu-lalang di jalan setapak terproyeksi ke dinding gua, karena jauh di arah belakang orang-orang terpasung itu tersembur cahaya dari api yang terus menyala.
Bertahun-tahun mereka terpasung dan hanya melihat ke satu arah, yaitu bayangan-bayangan yang berkelebatan di dinding gua.
Apa yang kemudian terjadi ketika sebagian orang terpasung tersebut mereguk udara bebas, melihat matahari dan mahluk-mahluk lain dalam keadaan yang sebenarnya? Mereka merasa kesakitan. Realitas dan fakta-fakta di alam bebas ternyata tidak sama dengan yang mereka yakini selama ini. Di antara mereka dapat menyesuaikan diri, sebagiannya lagi memilih balik ke dalam gua dan bahagia dengan melihat bayangan-bayangan yang memintas di dinding.
Itu cupilikan dari Allegory of the Cave. Bagian dari karya Filsuf Plato The Republic, sekitar 380 tahun sebelum Masehi. Mampu melihat realitas apa adanya dan berani menghadapinya merupakan hasil proses edukasi. Ini pemikiran Plato lebih dari 2.400 tahun silam tentang pentingnya edukasi dan golongan manusia yang menolak perubahan.
Ternyata di Abad XXI sekarang ini kita masih bisa mendapati kemiripan sebagian orang yang pola pikirnya seperti manusia-manusia yang digambarkan dalam Allegory of The Cave. Menjalani hidup berdasarkan gambaran semu.
Mereka mengenakan jam tangan, sepatu, cellphone, dan kelengkapan pakaian plus aksesoris terbaru zaman ini, dengan merek top. Tapi mindset mereka terpasung, menjalankan pekerjaan maunya sama seperti selama ini, menolak perubahan – “Kami fine-fine saja kok,“ begitu respon mereka ketika diajak mengelola fakta hari ini dengan perspektif berbeda. Buat mereka, yang mengaku sebagai para eksekutif dan pemimpin, re-edukasi agar dapat memimpin tim secara lebih efektif mereka anggap proses menyakitkan.
Di organisasi bisnis, lembaga nonprofit, dan institusi pemerintahan, hari-hari ini ada kecenderungan pula para eksekutifnya sangat memuja birokrasi dan hirarki bagaikan berhala. Tempat mereka berlindung dari tanggung jawab memberikan solusi terbaik atas realitas tantangan pelik yang dihadapi organisasi.
Ada juga yang bangga mengelola usaha dengan aset besar, puluhan triliun rupiah. Tapi, profitnya hanya sekitar Rp2 T – kurang dari 4%. Ini menyebabkan pemegang saham mempertanyakan efektivitas kepemimpinan direksi. Karena, organisasi lain di industri sejenis dengan aset senilai Rp10 T, berhasil meraih profit nyaris Rp2 T.
Transformasi bisnis? Upaya perbaikan mereka kerjakan secara normatif saja, menggunakan pendekatan dan cara lama yang sudah biasa dipakai. Perubahan perspektif kepemimpinan, ajakan untuk meningkatkan kompetensi berkelas global menggunakan metode yang sudah dipakai organisasi-organisasi multinasional, bagi mereka merupakan ancaman. Apakah ada kekhawatiran potensi mereka ketahuan belum dioptimalkan?
Ini terkait faktor keyakinan. Kalau pikiran sudah terpasung oleh kenyamanan sekarang, dengan insentif-insentif biologis (badaniah) yang tersedia, peluang untuk beranjak menjadi lebih baik, merdeka dari semua itu, mereka hindari.
Mengubah pola pikir dan perilaku kepemimpinan agar lebih efektif dan relevan dengan tantangan sekarang, merupakan jalan pendakian, perlu proses edukasi berkelanjutan. Ini tidak nyaman, bahkan makin berat bagi para eksekutif yang gemar menggendong ego, arogansi. Kata orang-orang bijak, di dalam proses perubahan selalu ada ketidaknyamanan, dalam kenyamanan tidak ada perubahan.
Selalu mawas diri, banyak membaca dan berpikir, sebagaimana dilakukan Warren Buffett (masuk kategori orang terkaya di dunia) merupakan kebutuhan mutlak, utamanya bagi para eksekutif dan orang-orang yang mengaku pemimpin. Di lingkungan organisasi bisnis, nonprofit, dan apalagi di institusi pemerintahan.
“… ketika kebanyakan orang cenderung maunya kelihatan heboh sibuk bekerja, kendati sering tanpa arah dan fokus yang jelas, yang sering kita lihat adalah keputusan-keputusan impulsif.”
Tokoh-tokoh hebat di dunia yang ikut mengubah sejarah, seperti John F. Kennedy, Nelson Mandela, Soekarno dan Mohammad Hatta, sampai John Lennon, Bill Gates dan Elon Musk, adalah orang-orang yang rajin membaca, mampu menggali pelbagai kemungkinan baru setelah mengolah fakta-fakta yang mereka hadapi.
Zaman sekarang, ketika kebanyakan orang cenderung maunya kelihatan heboh sibuk bekerja, kendati sering tanpa arah dan fokus yang jelas, belum mampu membedakan antara gejala (symptom) dan problem sebenarnya, yang sering kita lihat adalah keputusan-keputusan impulsif. Bahkan tanpa koordinasi dengan mitra kerja, departemen, atau divisi yang terkait. Maka terjadi dysfunctional organization, tidak ada clarity dan pemahaman mendalam tentang goal yang ingin dicapai bersama. Ini terjadi di lingkungan bisnis dan dalam pengelolaan negara.
Sesungguhnya, kalau saja para eksekutif dan pihak-pihak yang mengaku pemimpin tersebut terbuka hati dan pikirannya, bersedia keluar dari “gua kenyamanan” mereka, mau membaca — termasuk kesediaan “membaca” fakta dan realitas dengan pikiran jernih, menelisik trend yang disusun secara akurat, tukar pikiran secara terbuka dan sehat tanpa sekat jabatan — selalu ada solusi dan alternatif dalam menghadapi tantangan. Asal siap membangun paradigma baru.
Ini soal disiplin berpikir, agar mampu membedakan bayangan dengan fakta, memilah-milah mana symptom dan problem sebenarnya, menggali pertanyaan-pertanyaan yang lebih lugas atas asumsi-asumsi kita selama ini, dan disusul eksekusi. Dalam proses ini keabsahan kepemimpinan seseorang benar-benar diuji.
Metode-metode pengembangan kepemimpinan kelas dunia yang tersedia sekarang ini, utamanya yang sudah proven membantu peningkatan kinerja organisasi-organisasi multinasional, menjadi kebutuhan para eksekutif yang mau lebih bertanggung jawab, meningkatkan traction kepemimpinan masing-masing. Tinggal mereka terbuka dan berani menghadapi fakta-fakta baru di luar zona nyaman. Atau, apakah memang lebih senang mempercayai bayangan ketimbang fakta, hanyut dalam pusaran persaingan yang makin kencang? Ini soal pilihan hidup.
Mohamad Cholid adalah Head Coach di Next Stage Coaching
- Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching
- Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment
- Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman