Kolom Farid Gaban
Kerusakan alam serta ketimpangan ekonomi (dan kemiskinan) merupakan masalah paling mendesak dihadapi manusia, baik di tingkat global, nasional maupun lokal (daerah).
Bencana akibat kerusakan alam membuat kemiskinan dan ketimpangan makin parah. Sementara orang kaya bisa lari dan mengungsi, orang miskin adalah korban utama dari setiap banjir, longsor, kebakaran hutan serta pencemaran air.
Lingkaran setan kemiskinan dan ketimpangan akan bertambah parah; dengan risiko konflik sosial serta politik yang makin mencekam.
Kerusakan alam dan bencana adalah buah dari kekeliruan utama kita selama ini: mengejar pembangunan (pertumbuhan ekonomi) dengan mengabaikan alam.
Kita memandang sumber daya alam terbatas hanya minyak, gas dan tambang (emas, nikel, batubara dan pasir) yang alih-alih mensejahterakan justru menimbulkan banyak konflik.
Bahkan hutan hanya kita lihat kayunya, untuk dieksploitasi dengan cara menggundulinya, seperti yang sudah terjadi di Sumatra dan Kalimantan.
Lahan yang subur kita perkosa untuk pertanian dan perkebunan yang cenderung monokultur skala besar (seperti sawit) dengan segala pupuk dan pestisida kimia yang merusak ekosistem. Itu pada akhirnya justru memperkecil produktivitas pertanian kita, serta memicu ketergantungan kita pada pangan impor.
Mungkinkah mencapai kemakmuran tanpa merusak alam? Jawabannya bukan hanya sangat mungkin, tapi juga harus. Kita memerlukan pendekatan baru dalam pembangunan.
SUSTAINABLE DEVELOPMENT
Kita tidak sendirian. Pada 2015, Indonesia ikut menandatangani deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Sasaran Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals). Deklarasi itu mencakup 17 sasaran.
Tapi bisa disarikan menjadi tiga sasaran utama (tripple bottom-line) yang harus dicapai secara seimbang: pembangunan ekonomi yang ramah sosial dan sekaligus ramah alam. Intinya adalah mengakui ketergantungan kita terhadap alam, tak hanya sebagai sumber ekonomi, tapi juga sebagai ruang hidup yang sehat dan membahagiakan.
Manifestasi kongkritnya: mengelola modal alam (natural capital) dengan lebih baik; membangun manusia (invest in people); memperkuat sektor bisnis dan industri ramah alam.
Secara global, model pembangunan yang bertumpu terhadap kemakmuran ekonomi semata (pada ukuran GDP) sudah banyak ditinggalkan.
Banyak negeri mencari ukuran baru untuk menakar sukses pembangunan, seperti indeks kebahagiaan atau gaya hidup jejak-karbon rendah (low carbon-footprint).
Kita perlu menengok ke alam lebih serius dan melihat potensinya secara holistik. Tak hanya melakukan riset yang relevan, tapi juga menjalankan program kebijakan pembangunan ekonomi yang ramah alam.
Dengan kembali ke alam, kita tidak perlu malu disebut terbelakang atau primitif di tengah gemuruh orang membicarakan Revolusi Industri 4.0 dan kecerdasan buatan. Kita justru harus bangga dengan apa yang kita punya; bangga menjadi diri-sendiri dan bangga menjadi mandiri.
SUMBER DAYA ALAM (SDA) TAK CUMA TAMBANG
Kita perlu membatasi praktek ekonomi yang tidak ramah lingkungan, seperti tambang dan pertanian monokultur. Tapi, itu juga harus dibarengi dengan memperluas jenis-jenis bisnis atau industri ramah alam.
Potensi alam kita di luar sektor pertambangan masih sangat luas. Indonesia adalah salah satu Megadiversity dunia; negeri dengan keragaman hayati terbesar. Jika Amerika itu superpower militer dunia; Indonesia adalah superpower keragaman hayati dunia.
Beberapa tahun lalu, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia menerbitkan buku kecil “Sains untuk Biodiversitas Indonesia”.
Intinya bagaimana membangun kesejahteraan bangsa lewat keragaman hayati. Hutan kita dihuni oleh ribuan jenis tanaman dan satwa; yang sebagian merupakan sumber ekonomi secara langsung (dalam bentuk pangan). Selebihnya belum banyak diketahui karena kurangnya riset dalam bidang ini.
Hutan dan kebun bukan cuma berisi kayu dan tanaman besar. Ada jamur, ganggang dan lumut; yang sebagian merupakan sumber protein potensial. Sebagian besar lain belum diketahui; lagi-lagi karena kurangnya riset.
Hutan dan kebun tak hanya berisi satwa besar. Tapi juga serangga dan mikroba. Mereka membantu penyebaran tanaman dan menyuburkan tanah. (Meski belakangan berkurang akibat pemakaian insektisida dan herbisida kimiawi berlebihan).
Bakteri tak hanya penting dalam industri pengolahan pangan (fermentasi). Riset-riset mikrobiologi mutakhir menunjukkan bahwa bakteri punya peran besar dalam industri hi-tech: mengolah limbah logam berat maupun membentuk biomaterial yang penting.
Hutan dan kebun/taman, di luar itu semua, memiliki peran ekologis yang tak ternilai: sumber air dan udara bersih; mengendalikan banjir serta longsor; dan sumber energi terbarukan (hidro, biogas, biomassa).
Nikel penting dalam industri baterai mobil listrik. Tapi, kita bahkan punya sumber yang melimpah dari apa yang selama ini kita pandang limbah. Riset mutakhir menunjukkan limbah sekam padi dan tempurung kelapa bisa diolah menjadi GRAPHENE, bahan yang penting dalam bidang elektronika, semikonduktor, serta pembuatan baterai (yang sangat ringan, cepat di-charge, bertahan lama).
Hutan dan taman juga punya peran lain yang tak ternilai: spiritualisme, inspirasi seni dan budaya. Alam yang lestari, pertanian yang sehat dan manusia yang berbudaya adalah modal utama wisata yang makin diminati. Dan itu baru hutan.
Kita belum bicara laut kita yang luasnya dua per tiga negeri. Intinya, ada banyak potensi bisnis yang ramah alam: yang dengan melestarikannya justru membuat kita makin sejahtera.
NATURE-BASED ECONOMY
Dalam beberapa dasawarsa terakhir kita sudah mendengar orang mempromosikan ekonomi hijau (greenomics) atau gayahidup ramah lingkungan (green lifestyle). Tapi, belum menampakkan hasil cukup nyata. Kerusakan alam dan lingkungan masih terjadi. Sampah, khususnya plastik, makin menggunung.
Kegagalan tadi merangsang orang untuk mencari pendekatan “kembali ke alam” yang lebih radikal, serta mengkombinasikannya dengan pendekatan sosial-budaya. Belakangan, orang memperkenalkan konsep ekonomi biru (blue economy).
Meski sering diasosiasikan dengan pengembangan kelautan, ekonomi biru berlaku lebih luas dari itu: ekonomi yang berbasis pada alam (pada Planet Bumi yang biru), lebih radikal dari sekadar ekonomi hijau.
Gagasan blue economy, yang belakangan diperkenalkan oleh ekonom Belgia bernama Gunter Pauli, sebenarnya tidak sepenuhnya baru.
Konsep ini bisa kita temukan dalam cara hidup nenek moyang di desa-desa atau suku-suku tradisional seperti Dayak dan Baduy. Mereka menerapkan konsep hidup ramah alam: memenuhi kebutuhan dengan menjaga keragaman hayati tanpa merusak alam.
Kita mungkin tidak bisa hidup sepenuhnya dengan cara orang Baduy atau orang Dayak hidup, tapi kita bisa mengambil prinsip-prinsip kearifan tradisional mereka untuk menghadapi tantangan baru. Alam sendiri tidak statis. Alam menginspirasi kreativitas, imajinasi dan inovasi-inovasi baru.
Apa saja prinsip-prinsip ekonomi biru?
MEMPERKUAT EKONOMI LOKAL. Alam hanya bekerja dengan apa yang tersedia secara lokal. Ekonomi berangkat dari apa yang kita punya; “work with what we have”; dengan bahan baku lokal yang murah dan melimpah. Bisnis yg berkelanjutan tumbuh dengan menghargai tak hanya sumberdaya lokal, tapi juga budaya dan tradisi lokal.
MUDAH, YANG PALING MARJINAL BISA TERLIBAT. Alam itu efisien dan hemat. Bisnis berkelanjutan memaksimalkan penggunaan bahan baku dan energi yang tersedia; selalu berpikir “do more with less.” Hampir tanpa prasyarat, ekonomi ini bisa dipraktekkan oleh siapa saja, termasuk petani miskin dan marjinal desa, dengan investasi yang minimal.
MENCARI NILAI TAMBAH LEWAT INOVASI BERBASIS ALAM. Perubahan selalu terjadi di alam. Inovasi berlangsung setiap saat. Di alam, hal negatif diubah mejadi positif. Setiap problem dipandang sebagai peluang. Ekonomi ini menerapkan inovasi sains dan teknologi yang diilhami oleh alam sekitar. Sains dan teknologi yang selaras dengan alam, bukan merusak dan menentangnya.
MELESTARIKAN DAN MENDORONG KERAGAMAN HAYATI. Alam tumbuh berkembang dari sedikit spesies menuju keragaman hayati yang sangat kaya. Kemakmuran adalah keragaman. Alam menyediakan ruang untuk wiraswastawan melakukan banyak hal dari keterbatasan. Ekonomi alami bertentangan dengan monopoli dan penyeragaman. Sebaliknya justru menghargai keragaman model bisnis dan ekonomi.
KOOPERASI: BERBAGI RISIKO DAN BELAJAR BERSAMA. Alam mengajarkan kita untuk berbagi risiko; semua hal terhubung dan tumbuh menuju simbiosis. Ekonomi alami mendorong kerjasama dan kolaborasi; bukan persaingan. Inovasi dan efisiensi menuntut kerjasama banyak pihak. Koperasi tak hanya tentang pengembangan ekonomi, tapi juga penguatan sosial-budaya, serta kepedulian pada lingkungan, untuk maju bersama.
HOLISTIK; ECONOMIES OF SCOPE. Di alam, satu inovasi membawa berbagai manfaat untuk semua. Alam bersifat holistik, tiap unit dan proses membawa manfaat yang luas dan saling terkait. Ekonomi alami menolak konsep “kacamata kuda” dan spesialisasi yang berlebihan. Ekonomi ini tidak mencari keuntungan maksimal lewat produksi massal model monokultur atau lewat mesin-mesin yang akhirnya meminggirkan manusia; tapi mendorong penciptaan berbagai manfaat dan penghasilan dari sebuah kegiatan produksi.
ZERO-WASTE, RECYCLE, UPCYCLE. Alam tidak mengenal sampah; yang terbuang dari sebuah proses dimanfaatkan oleh proses yang lain. Ekonomi alami adalah ekonomi terpadu dan sirkular (integrated farming). Ekonomi ini memanfaatkan hal-hal yang nampaknya mubazir atau dibuang percuma. Tidak hanya daur-ulang untuk mengurangi limbah; tapi nir-limbah. Memanfaatkan sampah dan limbah sebagai sumber ekonomi.