Jumat, Desember 20, 2024

Fakta bengkok Covid-19, glorifikasi kasus, tes kepemimpinan

Must read

Kolom Mohamad Cholid

Sometimes people don’t want to hear the truth because they don’t want their illusion destroyed,” Friedrich Nietzsche.

Seorang pahlawan dilarang terlelap tidur. Di negara totaliter seperti Uni Soviet masa kekuasaan Stalin, utamanya ketika tentara Nazi Jerman melakukan serangan besar ke Stalingrad, setiap orang harus tampak perfect — dilarang jadi manusia biasa yang bisa lelah dan takut — untuk membela penguasa. Anak-anak muda yang melarikan diri ketakutan dari front pertempuran, ditembaki oleh para koordinator, mungkin para perwira, mereka. Demi melaksanakan kemauan Stalin, semua cara ditempuh agar semua tampak beres, tanpa cela.

Sejarah mencatat, Jerman mengalami kekalahan di Stalingrad. Para perwira Jerman kewalahan menghadapi penembak jitu Uni Soviet – para snipers ini, yang direkrut dari pelbagai kalangan, oleh kalangan ahli militer dinilai berperan signifikan di Front Timur, Perang Dunia II.

Salah seorang penembak jitu yang tersohor dan memberikan inspirasi pemuda-pemudi Soviet adalah Vasily Grigoryevich Zaytsev – jika Anda sempat ke Moscow, dapat melihat senjata Vasily berikut kisahnya di museum.

Sebelum 10 November 1942, Vasily membunuh 32 tentara Axis (pasukan gabungan Jerman, Italia, dan Jepang) menggunakan senapan panjang standar. Antara 10 November sampai Desember 1942, dalam pertempuran di Stalingrad, Vasily membunuh 225 tentara musuh, termasuk 11 orang para sniper mereka.

Menurut kisahnya, yang ditembak Vasily utamanya para perwira. Kenyataan ini kemudian diglorifikasi oleh Komasaris Politik Danilov, pangkat resminya letnan senior tapi tidak jelas kemampuannya memegang senjata.

Atas persetujuan Nikita Khrushchev, yang bertugas sebagai koordinator pertahanan Soviet di Stalingrad, Komisar Danilov menggelembungkan fakta-fakta prestasi Vasily melalui koran tentara untuk menggelorakan semangat tempur melawan Jerman.

Vasily, pahlawan dalam realitas yang bersikap ugahari, diubah oleh Komisaris Politik Letnan Danilov menjadi seorang hero dan selebritas. Banyak pemuda ingin jadi sniper. Moral pasukan Soviet bangkit.   

Itu membuat para jenderal Jerman gusar, sehingga harus mengirimkan Mayor Erwin Konig, direktur pusat pelatihan penembak jitu Zossen, Jerman, untuk menghabisi Vasily, demi menjunjung kehormatan Adolf Hitler.

Di tengah pagutan musim dingin selama pertempuran Stalingrad, Mayor Konig dan Vasily (pemuda dari pegunungan Ural yang terlatih berburu binatang buas sejak remaja dan terbawa mobilisasi menjadi tentara), terlibat dalam battle of wit. Vasily menggunakan senapan Mosin-Nagant M91/30 rifle. Konig memegang Karabiner 98k Sniper. 

Dalam salah satu moment saling mengintai, Vasily sempat tertidur, setelah sekian belas jam waspada. Sehingga dia tidak melihat Konig menyeberangi tumpukan belerang ke balik reruntuhan gedung. Senapan dan buku log hasil tembakannya dicuri tentara Jerman, yang mengira dia sudah tewas tergeletak dihimpit mayat-mayat tentara Soviet lainnya. Senapan dan buku log Vasily oleh pihak Jerman dijadikan propaganda, bahwa pahlawan Soviet itu sudah tewas.

Di mata Danilov, dan juga bagi Khrushchev, realitas tersebut sangat tidak menyenangkan. Terutama ketika Vasily terbukti belum menemui ajal dan mengakui dirinya sempat terlelap saat mengintai Konig. Saat itu Danilov menganggap Vasily sudah cacat sebagai pahlawan pembela Uni Soviet Stalin.

Di dalam film Enemy at the Gates, sutradara Jean-Jacques Annaud yang juga menulis skenario (bersama William Craig), sepertinya ingin menegaskan bahwa Vasily (diperankan Jude Law) sebenarnya manusia biasa yang bisa lelah, terlelap. Di mata Komisaris Politik Danilov dan Khrushchev yang sama-sama ambisius dan melihat Stalin sebagai dewa pujaan, pahlawan harus sempurna. Melebihi realitas.

Film tersebut berdasarkan buku nonfiksi Enemy at the Gates: The Battle for Stalingrad, ditulis William Craig (1973, Reader’s Digest Press dan 1974, Penguin Publishing).

Apa yang dapat kita pelajari untuk pengembangan kepemimpinan?

Di negeri-negeri totaliter, atau di organisasi-organisasi dengan kepemimpinan otoriter, dari masa Perang Dunia sampai hari ini, selalu ada kecenderungan dan upaya untuk membengkokkan fakta dan realitas, menjadi kemasan informasi yang menyenangkan presiden, ketua partai, atau bos. Selalu ada “komisaris politik” yang menghidangkan informasi yang sudah dipoles.

Kenyataan semacam itu menyebabkan Winston Churchill, saat menghadapi Jerman, lantas membentuk tim khusus, di luar tim formal di kantornya. Tim khusus Churchill bertugas menyajikan fakta apa adanya, sepahit apa pun, agar dia bisa bertindak efektif. Churchill berhasil memimpin Inggris memenangi Jerman karena selalu bertindak berdasarkan data dan fakta tanpa polesan. Realitas internal dan kenyataan ekternal, as it is.

Apakah Anda siap berperliku demikian? Siap menghadapi fakta pasar apa adanya?

Para pemimpin sejati yang berhasil membangun legasi, di lingkungan jabatan publik atau di organisasi (bisnis dan nonbisnis) umumnya selalu siap menghadapi the brutal fact(istilah Jim Collins, profesor pasca sarjana Stanford Business School). Atau selalu meningkatkan kompetensi agar sigap menghadapi dan mengelola VUCA (volatility, uncertainty, complexity, dan ambiguity).

Kalau ada yang mengaku diri pemimpin (karena jabatan formalnya) bertindak berdasarkan “realitas yang sudah melengkung” demi kepentingan jangka pendek (politik maupun uang), lantas mengabaikan kepentingan stakeholder, kita layak mempertanyakan niat baiknya, mungkin juga legitimasinya. Mereka hidup dalam ilusi, maka cenderung menghindari fakta apa adanya. Denial.

Dalam kasus wabah coronavirus (COVID-19), misalnya, publik beberapa kali tersedak dan kehilangan pertimbangan akal sehat karena pernyataan dan keputusan yang indikasinya dibuat berdasarkan fakta-fakta yang sudah dipoles para “political commissars” (yang umumnya bermental penjilat atau kroni).

Siapa yang mau kita pelajari untuk benchmarking kepemimpinan?

Tokoh semacam Winston Churchill, Nelson Mandela, atau Jack Welch (CEO legendaris GE yang baru saja meninggal), orang-orang yang kita kenal memiliki mental tangguh menghadapi realitas apa adanya?

Atau (zaman sekarang ini apa ada ya) mau mencontoh model Hitler dan Stalin, atau meniru seperti Kenneth Lay dan Berny Madoff (dalam bisnis), yang hidup dalam kebohongan besar, menimbulkan catastrophic change, demi ego menghamburkan energi umat manusia untuk merusak peradaban?

Pertanyaan tersebut penting, mengingat hari-hari ini masih saja ada eksekutif senior yang demi ego pribadi enggan membangun kolaborasi, malah menghambat proses bisnis. Termasuk merusak mekanisme kerja dengan para stakeholder (kolega, tim, atasan, vendors, dan customers). Akibatnya janji organisasinya kepada customers cidera. Manusia golongan ini khilaf, mereka sesungguhnya digaji oleh customers.  

Mohamad Cholid adalah Head Coach di Next Stage Coaching.

  • Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching
  • Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment
  • Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman
- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article