Oleh: Natsir Kongah*
Sudah saatnya Pemerintah Indonesia mengatur untuk melakukan pembatasan transaksi tunai ditengah masyarakat. Hal ini dilakukan guna menghindari atau pun menurunkan angka kejahatan penyuapan, korupsi dan tindak pidana pencucian uang yang kian waktu kian hari terus membengkak.
Menurut data statistik yang dikeluarkan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) trend korupsi dan penyuapan mengalami kenaikan secara signifikan.
Sampai dengan Mei 2012 hasil analisis yang disampaikan oleh PPATK kepada penyidik sebanyak 877 kasus korupsi dan 75 kasus penyuapan yang modusnya antara lain menggunakan uang tunai dalam bentuk rupiah, uang tunai dalam bentuk mata uang asing dan cek perjalanan.
Trend transaksi tunai semakin meningkat yang antara lain dilakukan dengan maksud untuk menyulitkan upaya pentrasiran/pelacakan asal usul sumber dana dan memutus pelacakan aliran dana kepada pihak penerima dana (beneficiary).
Contoh penggunaan uang tunai untuk penyuapan dapat dilihat dari kasus yang paling gress dengan tertangkap tangannya oknum petugas pajak Tomy Hendratno, Kasi pelayanan dan konsultasi di Kantor Pealayanan Pajak (KPP) Sidoarjo.
Tomy tertangkap setelah kedapatan menerima uang senilai Rp 285 juta yang diduga dari James Gunarjo, seorang pengusaha. Sebelumnya, Dharnawati, Kuasa Direksi PT Alam Jaya Papua yang diciduk petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setelah mengantarkan duit Rp 1,5 miliar yang dibungkus kardus durian. KPK juga menangkap tangan I Nyoman Suisnaya dan Dadong Irbarelawan beserta kardus durian di kantor Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Duit itu adalah bentuk ucapan terima kasih PT Alam Jaya karena terpilih sebagai kontraktor Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPPID), di empat kabupaten Papua, yakni Keerom, Teluk Wondama, Manokwari, dan Mimika, senilai Rp 73 miliar.
Pemerintah perlu pula mengatur peredaran mata uang asing di Indonesia, khususnya mata uang yang nilainya kuat seperti dolar Amerika dan dolar Singapura. Mata uang ini kerap kali dipakai sebagai transaksi korupsi dan penyuapan baik di lingkungan eksekutif, legislatif maupun judikatif.
- Tren transaksi tunai semakin meningkat yang antara lain dilakukan dengan maksud untuk menyulitkan upaya pentrasiran/pelacakan asal usul sumber dana dan memutus pelacakan aliran dana kepada pihak penerima dana (beneficiary).
- Peningkatan tren ini diduga dilakukan dalam rangka melakukan tindak pidana pencucian uang.
- Transaksi secara tunai mempersulit PPATK dalam melakukan analisis transaksi keuangan mencurigakan.
- Tidak sejalan dengan tujuan ”less cash society” karena dilakukan dalam jumlah besar (biasanya di atas Rp 500 juta), kurang aman, mempersulit pelacakan transaksi, serta mengarah kepada ”non-bank channel”