“There is nothing noble in being superior to your fellow man; true nobility is being superior to your former self.” – Ernest Hemingway
Yogyakarta memiliki daya pikatnya sendiri. Beda dengan kota-kota lain yang kemudian berkembang karena ekonominya maju dan universitas/perguruan tinggi berdiri pula di kota-kota tersebut, rasanya Yogya yang paling mampu menebarkan pesona khas. Di samping karena pernah jadi ibukota Republik Indonesia di masa perang menegakkan kemerdekaan, di sana banyak cerita menarik.
Satu di antaranya tentang Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan rakyatnya.
Pagi-pagi saat jalanan masih berkabut, dalam perjalanan turun ke kota setelah istirahat di Kaliurang, daerah perbukitan di bawah lereng Gunung Merapi, kendaraan Sri Sultan dihentikan oleh seorang nenek yang tampak kepayahan menggendong bakul berisi dagangannya. Sri Sultan turun dan membukakan pintu belakang mobil hard top-nya, membantu mengangkat barang dan memapah si nenek naik. Kelihatannya si nenek mengira yang dinaikinya kendaraan umum.
Ketika sampai depan Pasar Beringharjo, di tengah kota, si nenek minta diturunkan. Sri Sultan pun membantu menurunkan barang. Pagi itu cerah di kota dan saat itu pula si nenek baru menyadari telah nebeng mobil Sri Sultan, yang bergegas naik lagi ke mobil, menuju Kraton Yogyakarya, jaraknya sekitar dua kilometer dari Pasar Beringharjo. Konon si nenek langsung lemes nyaris pingsan.
Cerita itu saya dengar saat masih sekolah menengah di Yogya dulu.
Kharisma Sri Sultan sangat terasa di setiap sudut wilayah DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta), dari pantai selatan Jawa sampai lereng Gunung Merapi – Merbabu. Kepemimpinan Sri Sultan IX dibangun lewat tindakan kongkrit menciptakan manfaat (creating value), satu dua di antaranya, berperan signifikan dalam mendirikan Indonesia, mengikhlaskan sebagian lahan milik Kraton Yogyakarta untuk Universitas Gajah Mada, sampai sejumlah manfaat lain lagi bagi bangsanya.
Harkat dan martabat kepemimpinan Sri Sultan sebagai salah satu founding father Indonesia dan ketulusan pengabdian beliau untuk bangsanya kemudian dibukukan: Tahta Untuk Rakyat: Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX.Penyusun buku ini adalah Mohamad Roem, Mochtar Lubis, Lustiniyati Mochtar, S. Maimoen. Disunting oleh Atmakusumah.
Kepemimpinan yang berorientasi pada kepentingan rakyat tersebut oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X, sebagai pewaris tahta, disampaikannya dengan kalimat lugas: “Buat apa sebuah Tahta dan menjadi Raja apabila tidak memberi manfaat bagi masyarakat.”
Penegasan ini diucapkan saat Jumenengan Sri Sultan HB X pada 7 Maret 1989. Sri Sultan HB X adalah salah satu tokoh reformasi. Penyatuan rasa antara raja dan rakyatnya membuat Yogya aman, terlindung dari kerusuhan proses reformasi.
Sri Sultan HB IX dan Sri Sultan HB X sama-sama telah menempatkan nobility dengan perspektif lebih lurus. Mereka mengubah persepsi tentang keturunan raja, kebangsawanan, aristokrasi, yang sering dianggap enggan bersintuhan dengan kepentingan rakyat, menjadi para noble sejati, antara lain dengan memiliki generosity dan courage dalam kemerdekaan RI (HB IX) dan melawan represi politik (HB X)
Ketika perang menegakkan kemerdekaan, HB IX lebih dari menyediakan aset kerajaan untuk menopang kekuatan militer dan pemerintahan Sokarno-Hatta, tapi juga langsung menentukan langkah (courage) berpihak kepada RI – sementara saat itu raja-raja di wilayah lain masih bersikap menunggu.
Saat proses reformasi genting pada 1998, HB X memiliki courage berpihak pada kepentingan masyarakat luas dalam menghentikan kepemimpinan Orde Baru. Diperkirakan saat itu ada sejuta orang — terdiri dari mahasiswa, pelajar, guru, pegawai, dan masyarakat umum — berkumpul di Alun-Alun Utara Yogya dalam sebuah Pisowanan Agung. Ini boleh dipersepsikan sebagai penyatuan rasa antara rakyat dan raja.
HB IX dan HB X telah mengatasi ilusi dunia berupa status kebangsawanan, aristokrasi, dan simbol-simbol lain yang menyertainya, lantas menjadi bagian dari kepentingan publik. Mereka membebaskan diri dari belenggu statusnya sebagai raja, engaged dengan rakyat yang mereka pimpin. Sebagaimana kata Ernest Hemingway, “true nobility is being superior to your former self.”
Ketika raja-raja yang sebenarnya, seperti HB IX dan HB X, berhasil merdeka dari belenggu kebangsawanan, belakangan ini di lingkungan organisasi bisnis dan non-profit, serta di institusi-institusi pemerintahan, para pimpinannya malah cenderung ingin jadi raja/ratu. Memenjarakan diri dalam jabatan dan perks (fasilitas dan kemewahan) yang menyertainya. Mereka seperti membangun feodalisme baru.
Indikasinya: Tim harus melalui jenjang birokrasi untuk menyampaikan pendapat. Para pimpinan organisasi akhirnya dikelilingi para yes-men, selalu menyampaikan apa yang ingin didengar bos, bukan memberikan apa yang sesungguhnya mereka butuhkan. Informasi fakta-fakta lapangan dan realitas pasar sampai ke tangan para bos telah melalui saringan dan polesan yang pada akhirnya dapat menimbulkan salah persepsi. Bos pun merasa sangat superior di atas tim.
Bukankah masih jarang kita dapati pimpinan (ditakuti karena jabatan) yang memiliki courage meraih true nobility, sungguh-sungguh mau memenangi diri sendiri dan mind-set lama, untuk menjadi pemimpin sejati (dihormati karena melakukan hal-hal benar secara tepat, doing the right thing right)?
“… perilaku kepemimpinan tidak efektif tersebut masih menjangkiti banyak organisasi bisnis dan nonprofit di pelbagai negara.”
Dalam rapat-rapat organisasi setiap kuartal atau townhall meeting, para bos/pimpinan (yang ditakuti karena jabatan dan mungkin juga sebagai pemilik saham mayoritas) dengan mind-set lama biasanya akan mengatakan, “Jangan datang ke saya dengan persoalan, tapi bawa solusi.” Atau, “Kita akan melakukan perubahan mendasar, saya minta semua orang bekerja lebih baik,” dll. Tiga bulan kemudian si bos akan marah-marah lagi karena banyak orang masih bekerja dengan cara lama. Organisasi mengalami stagnasi.
Kenapa? Karena sebagai pimpinan dia masih berperilaku sering berang, mudah menyalahkan anak buah, serta tidak konsisten jadualnya untuk memimpin rapat. Di tengah meeting tangannya juga aktif membuka notifikasi di smartphone-nya, atau menghabiskan waktu sampai 15 menit mengungkit-ungkit masa lalu, mencari kambing hitam, anak buah menyampaikan fakta-fakta di pasar dianggap sebagai orang bingung, dll. Anda kenal situasi ini?
Pimpinan berperilaku seperti itu menjadikan dunia yang indah dan maha luas ini menyempit, menjadi penjara baginya. Ia terpenjara oleh ego, arogansi, success delusion (meyakini cara sukses sebelumnya bisa dipakai mensiasati situasi sekarang), mungkin juga stigmatized.
Orang dengan perilaku seperti itu memang belum jadi pemimpin sejati, walaupun jabatannya tinggi. Jiwanya terbelenggu oleh kenyamanan lingkungan dan ilusi yang diciptakannya sendiri.
Mohon diingat dengan baik. Para bos dengan perilaku kepemimpinan sebagaimana diceritakan di atas – sering marah, selalu merasa superior di atas tim dst. itu — sesungguhnya orang-orang baik hati, punya keahlian teknis hebat (makanya jadi bos), sebelumnya berprestasi terpuji (sehingga dipercaya pemegang saham), bahkan mereka juga rajin ke tempat peribadatan. Mereka hanya terkena wabah leadership blind spot, mengalami problem hubungan interpersonal dalam organisasi – sebagiannya ada juga yang bahkan punya masalah relationship di rumahnya, karena anaknya menilai dia “jerk”.
Bisa saja mereka tidak menyadari dampak perilakunya. Mungkin juga belum ada yang memberitahu perangai negatif tersebut. Atau bisa jadi mereka sudah menyadari tapi masih menolak berubah. Kelihatannya benar, “Everyone thinks of changing the world, but no one thinks of changing himself,” kata Leo Tolstoy, novelis Rusia penulis War and Peace dan Anna Karenina.
Menurut catatan kami, institusi pengembangan kepemimpinan Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching (MGSCC), perilaku kepemimpinan tidak efektif tersebut masih menjangkiti banyak organisasi bisnis dan nonprofit di pelbagai negara. Jika dibiarkan berkepanjangan menyebabkan organisasi dirugikan, proses kerja menjadi sangat tidak efektif, banyak resources (waktu, kecerdasan, dan mungkin juga uang) terpakai hanya untuk meladeni mood bos.
Kita tentu punya pemahaman yang sama, bottleneck organisasi selalu terjadi di leher botol, di level pimpinan. Kebanyakan akibat success delusions, menganggap bisa memaksakan cara lama untuk menghadapi tantangan hari ini.
Apakah kita sepakat, untuk melaksanakan continuous improvement agar organisasi bergerak lebih progresif, menghasilkan bottom line lebih baik, mesti dimulai dari para eksekutifnya?
Jika sungguh-sungguh ingin memantaskan diri sebagai noble, sudah waktunya sekarang para eksekutif dan leader mengembangkan nobility, menjadi superior atas diri sendiri sebelum hari ini. Menjadi lebih efektif memimpin.
Nobility, kemampuan memenangi diri sendiri, menentukan harkat dan martabat setiap pemimpin. Di sini pentingnya mempraktikkan tiga virtues Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching: courage, humility, dan discipline.
Oleh Mohamad Cholid adalah Head Coach di Next Stage Coaching – Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching – Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment – Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman