“Money is god” – spanduk di Guangzhou Trade Fair, China, musim gugur 1991.
Perjalanan Urumqi ke Tian Shan cukup lama, lewat kawasan padang pasir dan grassland. Dari Urumqi, induk kota Provinsi Xinjiang, daerah otonomi di Barat Laut China, kami berangkat pagi setelah matahari terbit, tiba di Tian Shan sekitar pukul 10.00. Bus kami terengah-engah menanjak ke kawasan lereng perbukitan setinggi 2.000 meter di atas permukaan laut. Itu perjalanan lebih dari 15 tahun silam, sebelum ada jalan baru dan sarana transportasi lebih bagus sekarang.
Tian Shan juga dikenal sebagai Tengri Tagh, artinya Gunung-Gunung Surga, the Heavenly Mountain. Dereten gunung-gemunung yang membentang di Asia Tengah, sisi barat dan utara Taklamakan Desert, persis di utara Lembah Tarim – kawasan perbatasan dengan Kazakhstan, Kyrgyztan. Di sisi selatan nyambung dengan Pegunungan Pamir, wilayah Himalaya. Di sisi utara dan timur ketemu Pegunungan Altai, Mongolia.
Puncak tertinggi di Tian Shan adalah Jengish Chokusu, 7.439 meter.
Kawasan wisata yang kami datangi di tepian Danau Surgawi. Memukau dan sejuk dengan biodiversity yang mengundang rasa ingin tahu, sembari melihat salju abadi dari kejauhan di puncak Jengish Chokusu dan gunung-gunung sebelahnya.
Daya pukau dan kesejukan itu belakangan ini apakah masih terasa atau meleleh, wallahualam. Karena di Urumqi atau Kashgar, mungkin juga Hotan, suasana semakin gerah akibat keresahan publik.
Suku bangsa Turkic Uyghur dan minoritas lain, orang-orang Muslim, makin galau. Sebagian dijebloskan ke kamp untuk “menjalani reedukasi politik” (bahasa resmi dari Beijing). Menurut berita bahkan mereka dipaksa untuk tidak menjalankan ajaran Islam, dilarang shalat dan puasa. Dari perspektif Beijing, itu kelompok minoritas yang anarkis, teroris, dan separatis.
Penguasa di Beijing tampaknya mengerahkan dana besar, persenjataan canggih, dan kamera pengintai dimana-mana untuk mengontrol masyarakat Xinjiang. Sementara itu pemerintah negara-negara yang sudah ada kerja sama ekonomi dengan China umumnya bungkam terhadap situasi di sana.
Xinjiang, seluas 1, 6 juta km2, menjadi kawasan penting Jalur Sutera, yang menghubungkan Timur Tengah dan China. Beberapa puluh tahun terakhir posisinya menjadi makin istimewa sejak ditemukannya minyak dan mineral di sana. Lebih dari seperlima cadangan batu bara, gas alam, dan minyak China ada di Xinjiang. Ekonomi Xinjiang 60% -nya ditopang sektor minyak dan petrokemikal.
Penguasa di Beijing memulai penguasaan wilayah Xinjiang sejak lebih dari 50 tahun lalu. Mao Zedong pada 1954 memerintahkan Wang Zhen membentuk Xinjiang Production and Construction Corps (XPCC)atau Bingtuan. Ini organisasi paramiliter untuk mengolah wilayah terpencil, memiliki sistem administrasi sendiri, menyediakan sarana pendidikan dan kesehatan mandiri, bebas dari campur tangan pemerintah daerah.
Tugas Bingtuan selain mengembangkan pertanian, memajukan ekonomi, juga memastikan stabilitas sosial dan keharmonisan etnis, serta konsolidasi wilayah perbatasan.
Dalam praktik, “keharmonisan etnis” tersebut adalah memperbanyak jumlah suku bangsa Han hidup di Xinjiang. Han merupakan etnis terbesar, 90%, di China. Suku bangsa Han pula yang paling banyak menikmati hasil dari perkembangan usaha Bingtuan, termasuk di antaranya sebagai pemasok kapas terbesar (60%) untuk kegiatan industri – beberapa garmen merek terkenal di dunia menggunakan kapas mereka. Suku bangsa Uyghur merasa terpinggirkan.
Terjadinya tekanan politik terhadap suku bangsa Uyghur di Xinjiang indikasinya bukan soal agama, tapi lebih karena kepentingan ekonomi. Penguasa di Beijing mau memastikan hasil bumi Xinjiang penting untuk memperkuat pemerintahan.
Kita bandingkan perlakuan penguasa di Beijing terhadap kaum Muslim di Xi’an.
Para pedagang Muslim tiba di Chang An melalui Jalur Sutera. Chang An, atau Eternal Peace, sekarang disebut Xi’an, merupakan ibukota Provinsi Shaanxi, China Tengah. Pernah jadi pusat pemerintahan Dinasti Tang (618 – 907). Kekaisaran Tang memberikan konsesi lahan untuk komunitas Muslim, berikut masjidnya.
Komplek masjid dibangun lagi di bawah pemerintahan Honwu masa Dinasti Ming (1368-1644), kemudian ada pembangunan lanjutan saat Dinasti Qing (1644-1911). Di kawasan Muslim Xi’an sekarang ada 10 masjid, paling tersohor adalah Xian Da Qingzhenshi atau Masjid Raya Xi’an. Dan sampai hari ini kaum Muslim di Xi’an hidup berdampingan dengan damai bersama komunitas lainnya.
Mereka merupakan bagian dari suku bangsa Hui, minoritas (sekitar 10 juta orang) hasil campuran keturunan Arab, Persia, dan suku bangsa lain, termasuk Han. Kaum Muslim Hui termasuk minoritas yang relatif sukses di bidang ekonomi. Sebagian dari mereka mengandalkan pendekatan shariah untuk mengatasi problem internal di komunitas.
Penguasa di Beijing sampai hari ini memberikan toleransi untuk suku bangsa Hui. Barangkali karena mereka menjalankan Islam dengan perbedaan sunnah di sana-sini, dianggap tidak solid, maka belum dinilai sebagai ancaman.
Hui, tersebar di banyak wilayah, juga tidak sama dengan Uyghur, yang menempati wilayah kaya minyak dan mineral lainnya di Xinjiang.
Kenapa penguasa di Beijing diberitakan tega menembaki orang-orang Uyghur dan dengan sistematis membungkam Islam di Xinjiang — sama seperti yang mereka lakukan terhadap kalangan Buddhist di Tibet dan pengamal Kristiani di Zhejiang?
“… untuk mempertahankan kekuasaan seorang kaisar harus tega membunuh istri dan bahkan anaknya sendiri, jika mereka tidak patuh dan dianggap membahayakan kepentingannya.”
Bagi Anda yang sudah menonton film Curse of The Golden Flower (2006) akan dapat melihat dengan perspektif baru kenapa penguasa di Beijing ugal-ugalan terhadap kelompok yang dipersepsikan sebagai ancaman terhadap kekuasaan.
Curse of The Golden Flower adalah drama istana kekaisaran yang ditulis dan disutradari Zhang Yimou, sutradara tersohor. Judul film berdasarkan bait terakhir puisi karya rebel leader Kaisar Huang Chao (Dinasti Qi, 878 – 884), ceritanya berbasis pada drama Thunderstorm atau Leiyu, drama karya Cao Yu pada 1934 dan kisah King Lear, William Shakespeare.
Dalam Curse of The Golden Flower terlihat gamblang, untuk mempertahankan kekuasaan seorang kaisar harus tega membunuh istri dan bahkan anaknya sendiri, jika mereka tidak patuh dan dianggap membahayakan kepentingannya.
Ada omongan yang beredar dalam budaya China lama, “untuk jadi kaisar mesti jadi raja tega’’. Disokong keyakinan money is god, sebagaimana tertulis di spanduk Guangzhou Trade Fair Oktober 1991, “para kaisar” di Beijing demi penguasaan ekonomi memperlakukan suku bangsa Uyghur sekehendak mereka.
Di belahan dunia lain, semangat mempertuhankan uang, apalagi kalau jumlahnya sampai milyaran dolar AS, juga menyebabkan banyak orang jadi tega merusak diri dan keluarga mereka. Apa pun mereka tempuh.
Dalam sejarah sektor keuangan ada sederet skandal besar, dari sejak kasus Charles Ponzi 1919 di Boston, skandal Enron, “accounting error” Worldcom, sampai penipuan Bernard Madoff yang divonis 150 tahun penjara, plus kisah Lehman Brothers, lembaga keuangan yang sudah berusia 150 tahun dan terbukti melakukan cosmetic accounting tricks, lalu dinyatakan bangkrut.
Bagi orang beragama, apakah Buddha, kaum Kristiani, dan Islam, lazimnya ada kendali diri dalam mengelola kekayaan. Orang Muslim diingatkan dengan ini:
“Have you not seen how your Lord dealt with `Ad Iram of lofty pillars, the like of whom no nation was created in the lands of the world? And with Thamud…. And with Pharaoh….. These were those who had committed great excesses in the lands of the world and spread great mischief in them.” -The Dawn (QS Al Fajr [89]: 6-12).
Perilaku kepemimpinan yang menuhankan uang dan menempuh segala cara dalam menguasai aset merupakan sabotase terhadap diri sendiri dan peradaban.
Para pemimpin sejati umumnya bahagia, antara lain karena bersedia untuk sharing leadership — kebutuhan kepemimpinan Abad 21. Sedangkan kaisar, atau yang bermental bagaikan kaisar, adakah yang benar-benar bahagia dan tentram?