Oleh Mohamad Cholid
Sampai pertengahan Oktober 2019 ini, Volkswagen dikabarkan mesti membayar denda total lebih dari US$ 49 miliar di seluruh dunia. Di Amerika, Australia, dan di Jerman, serta di wilayah penjualan VW lainnya, jutaan customers mengajukan class action atas kasus “kesalahan” perangkat lunak sistem pengontrolan emisi di mobil-mobil diesel VW. Efektivitas sistem tersebut tidak sesuai dengan yang disampaikan kepada masyarakat. Kasus ini muncul sejak 2015.
Kejadian yang dialami Volkswagen –dan indikasinya juga menimpa organisasi-organisasi lain di industri berbeda yang bersikap sembrono, tidak konsisten menjalankan prinsip-prinsip kerja profesional– sepantasnya jadi pembelajaran penting. Ini menyangkut perilaku kepemimpinan para eksekutif mereka.
Banyak pihak sudah mendengar, kepemimpinan dan budaya di Volkswagen (pada suatu periode) dikenal sangat brutal dalam memaksakan pencapaian goals. Kalau diungkapkan dengan bahasa gaul, barangkali para bosnya sering berujar seperti ini: “Gua kagak mau tahu bagaimana caranya, yang penting lu memenuhi target.” Perilaku agresif dan tekanan kerja semacam itu diindikasikan ikut berperan menimbulkan pemalsuan data, kebohongan, dan upaya-upaya tidak terpuji demi menghindari punishment akibat dianggap gagal.
Itu memperlihatkan kepemimpinan yang kurang kuat menjaga nilai-nilai organisasi. Sehingga mereka mudah dibekuk oleh keadaan lingkungan (politis) atau bersikap kompromistis demi kepentingan-kepentingan jangka pendek.
Kebanyakan dari kita memang cenderung mengkompromikan diri dengan perilaku orang-orang di sekeliling, kata Peter Bregman, CEO Bregman Partners, Inc., perusahaan yang membantu para senior leaders jadi lebih akuntabel. “If your colleagues are messy, you’ll become more messy, too.”
Dalam kasus muslihat perangkat lunak di Volkswagen, dengan asumsi bahwa yang mengetahui urusan tersebut sesungguhnya banyak orang (bukan sekedar segelintir orang teknis), kemungkinan mereka tersandung oleh salah satu dari tiga pasal. Pertama, tidak memiliki komitmen kuat untuk bersikap benar dan jujur dalam bisnis. Kedua, mungkin juga mereka belum paham soal itu. Atau, ketiga, di antara mereka tidak punya nyali untuk mengungkapkan kebenaran.
Bagi golongan yang selalu ikut arus, memang cenderung berat untuk berkata benar, bersikap jujur, dan menjunjung tinggi etika. Karena takut dikucilkan oleh rekan kerja atau bahkan kehilangan pekerjaan, jika bos ternyata juga menyetujui patgulipat proses bisnis (dalam kasus software scam di Volkswagen).
Di level korporasi, kita dapat melihat indikasi kebiasaan mengikuti arus massa atau masih bahagia dalam tekanan lingkungan budaya kolonial, antara lain, seperti ini: Mereka mengaku customers focus, tapi nyatanya memberhalakan kebiasaan lama, birokratis, dan kurang lihai menerjemahkan “aturan main” yang selama ini dijalankan. Sehingga kepentingan customers belum diutamakan.
Management Guru Peter Drucker menjabarkan perilaku kepemimpinan semacam itu: “Instead of asking ‘Does it deliver value to our customers?’, they ask ‘Does it fit our rule?’. Ini selain menghambat kinerja unggul, juga merontokkan visi dan dedikasi.” (Peter Drucker’s Five Most Important Questions, Enduring Wisdom for Today’s Leaders, 2015).
“… Hidup mereka sangat dipengaruhi event-event, selalu merasa dipentingkan di setiap acara seremonial, padahal kewajiban mereka yang utama adalah membuat langkah-langkah yang lebih strategis.”
Anda tentunya tahu, perilaku kepemimpinan seperti itu juga dapat membahayakan sustainability dan eksistensi usaha. Karena hari ini pihak-pihak lain sudah banyak yang makin progresif menjadikan customers sebagai poros utama bisnis. Customers hari ini cenderung ingin mendapatkan produk dan pelayanan sesuai term, waktu, dan kondisi mereka.
Uber, Airbnb, dan bisnis-bisnis yang didukung aplikasi lainnya, dengan interaksi customers feedback secara segera, adalah sebagian dari realitas hari ini. Mereka masuk usaha terobosan baru. Di luar mereka, perusahaan-perusahaan yang usia biologisnya kita anggap tua, seperti GE (General Electric) dan di Indonesia ada KAI (Kereta Api Indonesia), nyatanya berhasil melakukan metamorfosa dan merangkul pelanggan dengan baik.
Sekarang sudah banyak penyedia produk dan jasa juga tidak lagi terikat jam kerja 8 am – 5 pm seperti dulu dalam melayani pelanggan. Mereka juga telah merdeka dari kungkungan feodalisme dalam korporasi.
Pertanyaannya, kenapa sampai sekarang masih saja dapat kita temui organisasi-organisasi yang mengalami inertia untuk melakukan perubahan, menjadikan bisnis mereka lebih atraktif –- utamanya bagi para pelanggan dan investor?
Apa yang menyebabkan para eksekutif, dari supervisor sampai direktur, masih saja belum konsisten mengimplementasikan niat (omongan) mereka melakukan perubahan, menjadi lebih proaktif menghadapi tantangan pasar hari ini?
Dari pelbagai interaksi dengan mereka, dapat kita ketahui mostly mereka sebenarnya sudah sangat memahami apa yang harus dikerjakan. Planning juga sudah mereka buat. Tantangan mereka umumnya adalah mengisi gap antara rencana kerja yang hebat dengan eksekusi, action, doing.
Kondisi ini tentu mengkhawatirkan, mengingat menurut survei 70% usaha yang mengalami kesulitan (bahkan gagal) adalah akibat tidak melakukan eksekusi efektif, bukan karena planning kurang cemerlang.
Untuk menang melawan godaan ikut arus kebanyakan orang dan memastikan diri teguh bertindak benar (“doing the right thing right” agar tidak kesandung kasus seperti Volkswagen di atas), serta mampu melakukan eksekusi efektif, langkah yang lazim dikerjakan para eksekutif di organisasi-organisasi yang berhasil tumbuh secara sehat adalah: Memperkuat nilai-nilai dan prinsip kerja setiap pribadi. Membangun Authentic Leadership Model. Lalu konsisten mengerjakan Monthly Action Plan (mengendalikan perilaku sehari-hari secara lebih efektif). Ini soal adab dan perilaku kepemimpinan.
Tampaknya sederhana. Tapi bagi sebagian orang sulit melaksanakannya. Bisa karena ego kelewat gede, bisa juga akibat mereka mudah terjebak oleh distraksi hal-hal yang tidak relevan untuk kemajuan pribadi dan organisasi.
Distraksi tersebut, sebagaimana sudah sekian kali disampaikan dalam serial blog ini, antara lain berupa kegemaran ikut gosip membicarakan artis atau tokoh politik di grup WhatsAp, padahal artis atau tokoh politik tersebut tidak kenal, apalagi memperdulikan, mereka. Atau mereka masih betah berenang dalam tsunami informasi yang misleading/bias dari media massa. Serta duduk lebih dari dua jam per hari di depan televisi, atau pikirannya tersedot oleh layar gadgets masing-masing untuk self-entertaining berkepanjangan.
Penyebab distraksi lainnya, sehingga banyak eksekutif kehilangan fokus dan kurang berprestasi, adalah karena mereka selalu bersikap reaktif. Hidup mereka sangat dipengaruhi event-event, selalu merasa dipentingkan di setiap acara seremonial, padahal kewajiban mereka yang utama adalah membuat langkah-langkah yang lebih strategis.
Banyak orang pintar, cerdas, menjadi tidak efektif bekerja, bahkan gagal — akibat sulit memperkuat fokus, masih senang hidup dalam pelukan ilusi-ilusi tersebut di atas.
Karena kita bukanlah wayang dari lakon bernama “takdir” atau, apalagi, korban keadaan, kita bisa dan seharusnya menentukan pilihan. “Fate is the hand of cards we’ve been dealt. Choice is how we play the hand,” kata Marshall Goldsmith.
Mohamad Cholid adalah Head Coach di Next Stage Coaching.
- Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching
- Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment
- Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman