Kolom Mohamad Cholid
“Sekali berarti. Sudah itu mati” – Chairil Anwar (“Diponegoro”, 1943).
Peradaban manusia di dunia lazim berkembang di dekat sungai-sungai besar. Lembah Sungai Nil membentang sepanjang sekitar 4.100 mil dari Tanzania, Uganda, Rwanda, Burundi, Democratic Republic of Congo, Kenya, Ethiopia, Eritrea, South Sudan, Sudan, dan Mesir.
Hari ini, peninggalan penting dari peradaban puluhan abad lalu yang dapat kita lihat antara lain Beranda Trajan (Kiosk of Trajan), gerbang masuk dari Sungai Nil menuju kuil pemujaan yang dibangun Trajan (salah sorang Kaisar Romawi, berkuasa periode AD 98 – 117). Ini dekat dengan Bendungan Aswan, Mesir.
Sungai Yangtze atau Yangtze Jiang, sekitar 3.915 mil, bermata air di Dataran Tinggi Tibet Utara (wilayah Qinghai) dan bermuara di Laut China Timur, selama ribuan tahun telah melimpahkan manfaat bagi peradaban. Sebagai sumber air, irigasi, sanitasi, transportasi, industri, sebagai marka wilayah dan peperangan.
Kegiatan ekonomi yang ditopang oleh Yangtze Jiang memberikan kontribusi 20% GDP China. Three Gorges Dam di Yangtze merupakan pusat hydro-electric power terbesar di dunia.
“… Membiasakan diri bercermin, selalu melakukan evaluasi diri, sigap membuka hati dan pikiran menerima perspektif baru, dapat menyelamatkan kita dari ancaman terjerembab ke dalam kubangan kehidupan.”
Sungai Amazon, 4000 mil, berhulu di Pegunungan Andes dan bermuara di pantai timur laut Brazil, Samudera Atlantik. Amazon mengalirkan energi membangun kehidupan di Peru, Bolivia, Venezuela, Colombo, Ecuador, dan Brazil.
Simaklah sungai-sungai besar di wilayah Anda, semua lazimnya telah menjadi bagian –dan penopang– perkembangan ekonomi, sosial, dan budaya kawasan-kawasan yang dilewatinya.
Itu bedanya sungai dengan rawa-rawa. Sungai mengalirkan kehidupan. Sedangkan rawa-rawa nyaris selalu menjadi potret teritori yang terbengkalai, muram, tidak menjanjikan kegairahan hidup, bahkan di beberapa wilayah jadi tempat bersembunyi predator. Rawa-rawa menggambarkan hidup yang stagnan.
Sungai memiliki batas-batas yang jelas, kendati berkelok-kelok dan sesekali meluap, tetap selalu memperoleh air segar dari hulu dan memiliki outlet untuk dimanfaatkan mengolah dan mengembangkan kehidupan.
Sedangkan rawa-rawa sulit ditentukan batas-batasnya, menjadi genangan yang tidak mendapatkan air segar, kecuali saat hujan yang di sejumlah wilayah sangat jarang, dan airnya pun tidak tersalurkan pula dengan baik untuk manfaat.
Rawa-rawa sering dipakai untuk menggambarkan golongan manusia yang sulit atau cenderung menolak masukan-masukan dari pihak lain, menampik perspektif baru untuk meningkatkan value diri mereka.
Bisa saja mereka bergelar sarjana, berpakaian mengikuti mode terakhir, menggunakan gadget keren, tapi perilakunya kurang terpuji. Jiwanya mengalami stagnasi, sulit sekali bekerja sama untuk memperbaiki kinerja organisasi – bahkan ada yang berperilaku destruktif. Mereka seperti hidup tanpa nilai dan tujuan jelas, perilaku mereka akhirnya malah jadi predator bagi benih-benih kebaikan.
Apakah di antara Anda ada yang mengenal orang semacam itu? Adakah di sekitar kita manusia dengan indikasi berjiwa stagnan, keruh, dan ruhnya membeku?
Membiasakan diri bercermin, selalu melakukan evaluasi diri, sigap membuka hati dan pikiran menerima perspektif baru, dapat menyelamatkan kita dari ancaman terjerembab ke dalam kubangan kehidupan –- amit-amit, seperti rawa-rawa.
Coba simak, apakah pola pikir, cara kerja kita sama seperti selama 10 tahun terakhir atau perilaku kita cenderung menutup diri (congkak), dengan barbagai dalih? Kalau itu terjadi, sepantasnya mohon ampun kepada Tuhan yang telah menganugerahkan kecerdasan dan kelebihan lain, tapi telah Anda sia-siakan.
Sedangkan ciri-ciri manusia yang selalu bersyukur atas segala anugerah dari Pencipta Langit dan Bumi beserta isinya, lazimnya secara konsisten meningkatkan value diri, terbuka atas ide-ide segar dari sumber yang valid dan proven, berperilaku lebih efektif, lalu membagikan pengetahuan dan ketrampilan baru tersebut kepada orang-orang lain, para stakeholders. Ibarat sungai yang selalu menjaga mata air dan mengalirkan manfaat bagi kehidupan.
Sekarang kita cek ulang balance sheet (neraca) diri kita sendiri. Cermati sisi aset: bisa berupa kecerdasan, ketrampilan, kesehatan, jabatan, peluang berbuat baik, amanah dan profesi/ pekerjaan terhormat yang kita jalani, dan inventori lainnya, serta waktu yang dipinjamkan Tuhan kepada kita.
Berapa persen semua aset tersebut telah kita pakai secara optimal, sehingga kita menjadi pribadi-pribadi yang efektif? Di lingkungan kerja dan kehidupan pribadi.
Asset yang velocity-nya rendah (lambat sampai kepada pelangggan, akibat perilaku tidak efektif), atau yang kurang dimanfaatkan dengan baik atau belum dikembangkan secara terukur untuk meningkatkan kualitas hidup, apalagi jadi aset mandek, akan menimbulkan beban. Asset tersebut jadi liability.
Maka tidak sepantasnya seseorang membanggakan diri memiliki atau menguasai aset besar, jika tingkat efektivitasnya rendah.
Di dunia usaha, bagi para pengelola bisnis profesional, tujuan utama memiliki (menguasai) aset adalah menghasilkan sales, yang jika efisien pengelolaannya menelorkan laba signifikan, dan laba tersebut baru diangap produktif kalau berhasil jadi cash.
Apa jadinya kalau para eksekutif, yang diharapkan jadi leader sejati, punya kecenderungan hidup berkubang dalam ketidakpedulian, arogan, tampil gaya tapi jiwanya keruh, berperilaku seperti rawa-rawa?
Dalam ajaran agama-agama besar kita selalu diingatkan, bahwa aset yang mandek akan jadi genangan (rawa-rawa). Tugas utama manusia adalah mengembangkan aset-aset yang dipercayakan Tuhan. Para pemimpin sejati sepantasnya akuntabel untuk itu dan berperilaku seperti sungai-sungai yang mengalirkan manfaat bagi peradaban manusia. Mereka selalu memberikan makna bagi kehidupan.
Mohamad Cholid adalah Head Coach di Next Stage Coaching.
- Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching
- Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment
- Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman