Kolom Mohamad Cholid
“The riskiest moment is when you think you’re right,” Peter Bernstein.
Di kalangan investor dan penggerak pasar modal, utamanya di AS, Peter Bernstein memiliki posisi istimewa. Ia bahkan sering diibaratkan sebagai Yoda, tokoh unik dalam Star Wars yang demikian bijak, awet (selalu mengasah ketajaman berpikir) sampai usia lanjut, dan mampu menembus batas jalur ke keabadian.
Peter Lewyn Bernstein (22 Januari 1919 – 5 Juni 2009) adalah ekonom, ahli sejarah finansial, yang berperan sangat penting dalam memberikan edukasi publik jadi makin melek tentang seluk-beluk investasi dan keuangan. Bagi orang-orang Wall Street yang pola pikirnya sempit sehingga mudah terbawa arus dan gagap, Peter Bernstein menjadi sumber inspirasi, personifikasi kearifan.
Sampai usia 85 tahun, ia sepertinya tidak pernah kendur untuk mengolah energi hidup, pengetahuan, dan kedisiplinan menguji keyakinan-keyakinannya sendiri – dua kali sebulan ia tetap menulis untuk Economics and Portfolio Strategy. Salah satu bukunya yang terkenal adalah “Against the God” (1998), sejarah komprehensif tentang upaya-upaya manusia memahami resiko dan menyikapi propabilitas.
Riwayat hidup, profesionalisme, dan dedikasinya membuat Peter Bernstein memang layak kita simak. Ia teman sekelas John F. Kennedy di Harvard, menjadi perwira intelijen selama Perang Dunia II, periset ahli di Federal Reserve Bank, profesor ekonomi, manajer keuangan (pernah punya perusahaan di bidang ini), pionir dalam bidang analisis keuangan, serta ahli manajemen resiko.
Apa kaitannya dengan pengembangan kompetensi kepemimpinan Anda?
Paling mendasar terkait dengan upaya menambah kemampuan kita mengendalikan pikiran, sikap ugahari untuk selalu menguji asumsi-asumsi kita.
Dari Peter Bernstein kita dapat juga belajar menyikapi pelbagai perubahan tak terduga, mengantisipasi resiko, memilah-milah antara gejala (symptom) dan persoalan yang sesungguhnya dialami dalam proses pengembangan organisasi bisnis, nonprofit, dan pemerintahan.
Seringkali suatu organisasi mengerahkan resources (uang, waktu, dan energi pikiran) demikian besar untuk mengatasi situasi yang dipersepsikan sebagai “persoalan”, yang sebenarnya bukan problem utama. Mereka merasa sudah bergerak maju, tapi sesungguhnya justru mundur. Terbuai oleh asumsi dan khayalan sendiri.
Ungkapan yang pas untuk kondisi seperti itu bisa kita pinjam dari Keith Cunningham, yang pernah bangun-jatuh-dan bangun lagi dalam bisnis dan telah 40 tahun lebih menjadi mentor bisnis bagi ribuan organisasi. Katanya: “Building a machine for the problem that isn’t and expecting forward progress is delusional.”
Coba kita cermati kalimat ini, yang bisa saja datang dari seorang direktur atau relasi Anda: “Kinerja keuangan tahun 2019 masih rugi. Kami masih konsolidasi ke pencapaian target melalui peningkatan sales dan efisiensi biaya.”
Bagaimana menurut pendapat Anda? Mudah-mudahan Anda sepakat, bahwa “Kinerja keuangan tahun ini merugi” sesungguhnya symptom, bukan problem yang sebenarnya. Betul, kan? Itu hanya gejala yang tampak di permukaan dari persoalan lain yang lebih mendasar di organisasi.
Jika “kinerja keuangan tahun ini merugi” dianggap problem utama, biasanya “solusi” yang sering ditempuh oleh para pengelola organisasi adalah: “Menggenjot sales dan efisiensi”.
Apakah langkah tersebut tidak menyebabkan kita terjebak dalam semangat “one fit for all solutions”? Atau, bukankah itu mirip “band aid solution” (a temporary solution that does not deal with the cause of a problem)?
Situasi akan makin mengkhawatirkan jika para pengambil keputusan di organisasi tersebut berpikir telah bertindak benar. Maka kita selalu perlu mengingat kata-kata Peter Bernstein, “Momen paling beresiko adalah ketika Anda merasa benar.”
“… budaya organisasi merupakan faktor tunggal terbesar, 35%, yang berpengaruh pada organizational performance, terbaca pada Profit & Loss, Balance Sheet, dan people engagement.”
Kesediaan untuk selalu menguji asumsi-asumsi kita dan kemampuan memilah-milah antara symptom dengan the real problem(s) dapat menentukan keputusan yang tepat, menyelamatkan resources (uang, waktu, dan energi pikiran) kita.
Untuk itu para eksekutif di organisasi tersebut perlu bersikap rendah hati, berani terbuka dan lugas melakukan asesmen ulang atas perilaku kepemimpinan mereka. Sebagaimana hasil survei Hay Group, leadership behavior para eksekutif memberikan pengaruh 50–70% pada budaya organisasi. Dan budaya organisasi merupakan faktor tunggal terbesar, yaitu 35%, yang berpengaruh pada organizational performance, terbaca pada Profit & Loss, Balance Sheet, dan people engagement.
Faktor-faktor lainnya, sebesar 65%, yang mempengaruhi kinerja usaha merupakan gabungan dari pelbagai unsur yang tidak berkaitan dengan perilaku para pengelola dan tim. Seperti brand yang kuat, jaringan luas, hak cipta, modal yang memadai, faktor lingkungan, dan regulasi pemerintah.
Terkait dengan cerita tentang “target sales yang tidak tercapai dan bisnis merugi” sebagaimana disebutkan di atas, kalau mau memilih solusi lugas demi kepentingan jangka panjang adalah segera lakukan asesmen, utamanya Sales Director dan Operations Director. Lebih baik menggunakan assessment tools yang sudah proven dan dipercaya oleh organisasi-organisasi multinasional. Asesmen normatif, yang selama ini sudah dianggap baku, terbukti belum memadai untuk membantu melahirkan eksekutif efektif.
Siapkah para eksekutif tersebut diukur ulang? Di antaranya, menyangkut caranya berkomunikasi (dengan tim, kolega, customers, stakeholders); kemampuannya membangun tim (memberikan pelatihan dan melakukan mentoring); bagaimana pula kompetensinya dalam menggalang kemitraan; bagaimana caranya menyikapi perubahan; kemampuannya merespon perkembangan teknologi, globalisasi, etc.
Masih sering pula dapat kita temui para eksekutif, dan yang mengaku sebagai leader, mengalami kerancuan dalam mengatur tindakannya sehari-hari. Mereka masih belum mampu membedakan antara “sibuk luar biasa” dengan produktivitas. Kerancuan semacam ini yang berkepanjangan merupakan ganjalan serius, bisa jadi sabotase, dalam upaya meraih sukses. Apalagi ditambah perilaku kepemimpinan yang tidak efektif – antara lain selalu merasa diri paling benar.
Untuk mengatasi perilaku seperti itu, kita mesti berani bercermin secara lebih jernih, melibatkan para stakeholders untuk memberikan masukan dan saran apa saja yang perlu kita lakukan agar menjadi pemimpin lebih efektif, demi kepentingan bersama.
Mohamad Cholid adalah Head Coach di Next Stage Coaching.
- Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching
- Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment
- Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman