Senin, November 18, 2024

Para pemimpin, juga Presiden, bercerminlah!

Must read

 Kolom Mohamad Cholid

Siapa di antara kita tega membiarkan diri hanya jadi isapan jempol dalam imajinasi agung bernama kehidupan ini? Survei: 65% manusia khilaf.

Nyali Anda apa sudah diuji dengan bercermin setiap pagi sebelum bekerja atau malam menjelang tidur, lalu bertanya kepada diri sendiri, “Sudahkah saya berupaya sungguh-sungguh untuk bahagia, menjadi pribadi yang efektif, dan bertindak positif dalam meraih goal?” Did I do my best to…

Kerjakan mulai hari ini, kalau memiliki courage dan sikap rendah hati. Atau mengaku berintegritas.

Pertanyaan tersebut berlaku untuk kita semua, dari level supervisor sampai CEO di organisasi. Kalau di pemerintahan, dari para Kepala Bagian sampai Menteri, bahkan seorang Presiden, sepatutnya melakukan self-assessment semacam itu. Kata para ulama, “Hisab dirimu sebelum engkau dihisab di alam abadi kelak.”  

Kenapa pertanyaan-pertanyaan tersebut penting? Menurut pelbagai survei, setiap hari jutaan dolar AS “dibakar” atau tidak terpakai sesuai tujuannya di kantor-kantor swasta, institusi nonprofit, dan pemerintahan.

Selain akibat incompetency dan perilaku kepemimpinan kurang efektif para key persons, “pembakaran uang” terjadi karena, sebagaimana masih dapat kita lihat, perilaku golongan manusia yang muncul ke tempat kerja sekedar mengisi daftar jam kedatangan dan kepulangan, tapi pikiran dan jiwa mereka tidak hadir sepenuhnya untuk menyelesaikan tugas – apalagi meningkatkan kinerja.

Mereka hanyut dalam arus hidup sia-sia. Mereka telah menyalahgunakan peralatan/ fasilitas institusi dan mengkorupsi aset yang tidak bisa ditabung, atau mustahil kita ambil kembali, yaitu WAKTU.

Hasil survei Dr. Marshall Goldsmith memperlihatkan syndrome yang melanda banyak organisasi/institusi di dunia.

Gambar oleh Annca dari Pixabay

Berdasarkan variasi perilaku golongan manusia yang maunya menang atau ingin selalu merasa unggul di semua urusan – antara lain memperlihatkan dirinya paling pinter di dunia, cenderung menganggap orang lain bodoh, atau suka mendengarkan orang lain membicarakan hal itu — Marshall Goldsmith mengajukan satu pertanyaan kepada 100 ribu orang, begini:

“Berapa persen komunikasi interpersonal dihabiskan demi: 1) seseorang bicara tentang betapa pinter dirinya atau mendengarkan seseorang melakukan itu? 2) mengatakan betapa bodoh orang lain atau mendengarkan orang lain mengatakannya?” Hasilnya? 65 persen.

Ya, 65% waktu dalam hubungan interpersonal –di organisasi dan dalam pergaulan sosial– terpakai untuk hal-hal yang tidak mengangkat harkat manusia. Dalam perspektif agama, perilaku semacam itu bahkan dapat dianggap sebagai kegiatan menumpuk dosa.

Kenyataannya, di kantor-kantor dagang dan jawatan-jawatan pemerintah, masih banyak orang khilaf. Kondisi menjadi lebih teruk karena di antara mereka sepertinya senang terjebak dalam monkey mind, pikiran loncat sana, lari ke hal lain, browsing hal-hal di luar kepentingan fungsi dan tugas masing-masing.  

Mereka pun tampak lincah dalam perdebatan yang tidak membangun nilai, engaged dalam gelimang aneka info di media sosial. Untuk kehidupan pribadi, perilaku begitu bisa merusak harmoni. Misalnya, pasangan suami istri sudah saling memberi isyarat untuk melakukan hubungan seks, tapi salah satu pihak mendadak distracted ke notifikasi sosial media. Ritme yang sudah terbangun jadi rusak. Akibatnya hanya terjadi hubungan badan, biologis, bukan making love.

Benar, kan?

Kondisi sebagaimana cerita di atas yang berkepanjangan bisa jadi bukti, sebagian golongan manusia cenderung menghancurkan diri sendiri, merusak organisasi, dan menciderai kehidupan bersama orang lain, plus mungkin saja kehidupan bermasyarakat.

Jati diri mereka, yang sebagiannya mengaku sebagai pemimpin itu, lumer dicengkeram oleh kecanggihan gadget di tangan. Mereka kehilangan kendali, tidak tahu lagi siapa diri mereka dan apa tujuan hadir di Bumi.

Ini dapat menimbulkan nausea, rasa mual. Manusia dalam kondisi seperti itu, jika berkelanjutan, kemungkinan hanya akan jadi isapan jempol belaka dalam imajinasi agung bernama kehidupan.

Kita tentunya ingin jauh lebih baik dari semua itu, kan?

Bagi para eksekutif profesional, atau yang mengaku pemimpin, agar sukses menghadirkan kinerja unggul, pilihan utamanya tentu melakukan transformasi diri, reinventing self. Kalangan eksekutif yang sudah berhasil membangun kehidupan, memberikan kontribusi positif bagi organisasi dan masyarakat, pada sepakat, everyone needs major mind shift and emotional intelligence training.

Sibuk, banyak kerjaan, montang-manting dalam angin puyuh urgent-urgent tapi not important –termasuk WhatsApp-an di luar kerjaan atau urusan keluarga? Bukankah itu alasan klise dari orang-orang yang belum sanggup menghargai kehidupan, gagap dalam self-management untuk menyikapi waktu?

Atau, sebagaimana sering terjadi, kesibukan luar biasa tanpa kendali itu ternyata kedok menutupi kemalasan melakukan transformasi diri, karena lebih betah dalam ketidaknyamanan yang sudah diakrabi ketimbang melakukan perubahan, membangun situasi baru, yang belum dikenal?

Ada juga orang-orang yang jadi sangat sibuk, merasa penting di semua events, untuk excuse menghindari kewajiban utama yang mereka anggap berat.

Untuk membuktikan kita jauh lebih baik dari gambaran tersebut, mulai sekarang biasakanlah secara rutin bercermin, cek siapa diri kita sesungguhnya.

Akan lebih baik melibatkan para stakeholder tim, kolega, atasan, termasuk keluarga– memberikan masukan, utamanya feedforward, perilaku apa yang perlu kita ubah agar menjadi lebih efektif. Kita perlu manufacture time, sungguh-sungguh mengalokasikan waktu untuk perbaikan diri dan kinerja.

Major mind shiftreinventing self, pada awalnya sering memerlukan energi sangat besar, ibarat menerbangkan roket – sebelum akhirnya terbangun momentum setelah launched. Selanjutnya momentum kita jaga dengan secara konsisten investasi 20% waktu melek kita untuk fokus pada improvement.

Ada tiga kebajikan untuk itu: courage (berani menghadapi realitas diri, siap memasuki dimensi baru); humility (rendah hati mengakui, diri ini tidak sempurna dan memerlukan bantuan pihak lain); dan discipline (konsisten melakukan evaluasi diri, menentukan tindakan-tindakan baru yang lebih baik).

Karena, pada saat kita mulai mengenali diri setelah bercermin secara mendalam, front pertempuran terbuka. Kita akan terus menerus melawan diri sendiri. Tugas mentor atau coach mendampingi Anda untuk itu, utamanya dalam menjembatani gap, dari realitas sekarang menuju dimensi baru.

Mohamad Cholid adalah Head Coach di Next Stage Coaching.

  • Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching
  • Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment
  • Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman
- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article