Mau wafat sebagai orang merdeka atau terpenjara?
Kolom Mohamad Cholid
“This world is a prison for the faithful, but a paradise for unbelievers.” – Muhammad SAW
Nelson Mandela dapat kita pilih sebagai satu contoh dari sedikit pemimpin yang benar-benar merdeka, jiwa dan pikirannya.
Ia dipenjara selama 27 tahun oleh pemerintah yang menerapkan apartheid. Pada 1990 Mandela dibebaskan. Karena Presiden Afrika Selatan F.W. de Klerk dapat tekanan dunia internasional dan menghadapi situasi dalam negeri yang terancam perang saudara antar ras.
Kita juga tahu, Mandela ternyata mebebaskan diri dari dendam terhadap de Klerk. Keduanya sepakat berunding untuk mengakhiri sistem apartheid dan pada 1994 menyelenggarakan pemilu multirasial.
Mandela memimpin ANC (African National Congress) memenangi pemilu, menegakkan pemerintahan koalisi, memberlakukan undang-undang baru, serta membentuk Truth and Reconciliation Commission, melakukan investagasi pelanggaran HAM yang terjadi.
Mandela juga tidak terkungkung oleh pandangan politiknya yang sosialis. Perekonomian nasional dijalankan sebagaimana pemerintahan sebelumnya, liberal. Penambahan agenda pemerintahan Mandela adalah land reform, mengatasi kemiskinan, dan meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat.
Lebih jauh lagi, jabatan presiden juga tidak menjadi penjara bagi Mandela. Peluang menjabat lagi untuk periode kedua ia tolak. Pada 1999 ia mendukung wakilnya, Thabo Mbeki, menjadi presiden.
David Packard contoh lain manusia yang berjiwa merdeka dari penjara ilusi dunia. Pada 1938 David Packard bersama Bill Hewlett sepakat mendirikan Hewlett–Packard Company, kita kenal sebagai HP kemudian hp. Produk awalnya perkakas tes dan pengukuran elektronik, kemudian komputer, printer, dan seterusnya.
Mereka membangun bisnis dengan ideologi atau alasan hidup: Memberikan kontribusi untuk kemajuan dan kesejahteraan manusia melalui teknologi.
Ketika perusahaan tumbuh dan mesti membangun tim manajemen baru, yang diutamakan dari internal, David Packard menanamkan ideologi organisasi kepada timnya antara lain seperti ini: “Why a company exist, kenapa kita berada di sini? Banyak orang berasumsi secara salah, bahwa perusahaan eksis hanya untuk menghasilkan uang. Itu memang penting, tapi, ‘Profit is not the proper end and aim of management – it is what makes all of the proper ends and aims possible.”
David Packard (lahir 7 September, 1912) konsisten dengan sikap hidupnya sampai akhir hayat. Saat meninggal (26 Maret 1996) ia mewariskan saham miliknya di HP senilai US$ 4,3 milyar (billion) untuk yayasan sosial (charitable). Lebih dari itu, bersama istrinya, Lucile Packard, ia menyumbangkan $40 juta mendirikan Lucile Packard Children’s Hospital, di Palo Alto, diresmikan 1991–belakangan, 1996, menjadi bagian dari the Stanford Medical Center.
Plus sejumlah donasi lagi untuk Stanford University, antara lain bersama mitranya, Bill Hewlett, menyumbangkan US$ 77 juta untuk fasilitas pendidikan. Belum lagi dana-dana lain untuk mendukung konservasi lingkungan, kegiatan olah raga dan sciences.
Sesungguhnya, dengan kekayaan yang berhasil dia kumpulkan, sangat bisa Packard membangun mausoleum hebat untuk alamat terakhirnya. Tapi, David Packard – penerima berbagai bintang jasa, antara lain Presidential Medal of Freedom, National Medal of Technology and Innovation — memilih dikuburkan biasa, dengan penanda batu bertuliskan hanya nama, tanggal lahir dan kematian, di pemakaman umum.
David Packard tampaknya menyadari betul, kepemilikan harta dan sukses hebat di dunia sepantasnya tidak jadi penjara–apalagi diboyong sampai mati, sebagaimana dilakukan sejumlah orang kaya raya (biasanya politikus merangkap pedagang), yang membangun istana pemakaman di gunung-gunung.
Apakah David Packard bisa dikatakan telah mempraktikan salah satu ajaran Nabi Muhammad SAW, bahwa “dunia adalah penjara bagi orang beriman”. Wallahu alam. Itu rahasia batin dia.
Apakah di Indonesia tidak ada orang-orang berperilaku seperti itu, sukses hebat tapi bersikap biasa dan memberikan kontribusi luar biasa bagi kemanusiaan?
Tentu ada, barangkali puluhan, ratusan orang, atau lebih. Hanya mereka umumnya tidak terkenal atau menghindari publisitas.
Salah satu di antara mereka, seorang pedagang dan pemilik sekian belas (atau sekian puluh) kios di Pasar Tanah Abang, Jakarta. Sekian tahun silam, ketika transaksi masih didominasi uang kas, tokoh pemilik kios ini tidak harus setor hasil dagangnya ke bank, tapi petugas bank mendatanginya dengan membawa mesin penghitung uang.
Ia berangkat kerja dan melakukan aktivitas lain kebanyakan menggunakan kendaraan umum/taksi, makan siang sering bawa dari rumahnya. Ia punya mobil mewah, produk Eropa, yang dia pakai sekali-sekali utamanya saat acara keluarga. Hanya beberapa kawan dekatnya yang mengetahui, tokoh kita ini ternyata telah menggelontorkan puluhan miliar rupiah untuk membangun pusat pendidikan untuk anak yatim di wilayah Sukabumi, Jawa Barat.
Harta yang dimiliki tidak jadi penjara baginya. Sukses dan kekayaan dia jadikan hanya alat agar bisa berkontribusi positif untuk meningkatkan harkat manusia.
Sebaliknya, di dimensi dunia yang lain belakangan ini justru bermunculan orang-orang yang mengaku pemimpin, tapi malah memenjarakan jiwa mereka sendiri. Mengkerdilkan eksistensi diri.
Di negeri-negeri yang sedang belajar maju, termasuk di dalamnya kelihatannya Indonesia, atribut-atribut dunia seperti jabatan sebagai direktur organisasi, kepala daerah, kepala pemerintahan, diperebutkan dengan pelbagai cara, bahkan dengan cara berindikasi ilegal.
Ketika sudah memperoleh posisi tersebut, untuk mempertahankannya mereka tega pula menggadaikan jiwa mereka–berkolaborasi dengan “kuasa gelap”, menipu, menggerogoti aset perusahaan (profit anjlok, para pimpinannya malah minta tantiem naik dibanding tahun silam – by the way, para pemegang saham, termasuk Kementrian BUMN, bisa melakukan pengecekan, mana saja perusahaan yang setelah diaudit ketahuan profit turun 50%, tapi para direksinya minta tantiem naik).
Ada pula bupati di Jawa yang secara keji mendepak tim pendukung utama saat dia naik jabatan, karena mau melayani kelompok oportunis yang melakukan tekanan dan ancaman. Kelompok ini menjanjikan massa lebih banyak untuk pemilu memperebutkan jabatan periode kedua. Sejatinya ia telah terkecoh ilusi, karena rakyat bisa marah.
Apa jadinya kalau suatu wilayah dipimpin oleh orang-orang dengan jiwa terpenjara, hidup dalam kemunafikan demi jabatan dunia? Pangkat, jabatan, fasilitas, dan kekuasaan yang hanya beberapa tahun mereka sembah sebagai berhala baru. Padahal mereka saat pidato kerap mengutip ayat-ayat Tuhan.
Setelah 75 tahun proklamasi kemerdekaan, Indonesia makin memerlukan pribadi-pribadi berjiwa merdeka. Bebas dari prasangka sempit agama (banyak yang mengaku beragama, tapi tidak menyembah Tuhan).
Anda mestinya setuju, pemimpin sepantasnya mampu melepaskan diri dari kepentingan sementara kelompok sendiri, tidak terpenjara oleh ilusi kekuasaan, dan bisa merdeka dari asumsi-asumsi sempit yang tidak pernah diuji. Belakangan banyak orang mengaku pemimpin tapi indikasinya membiarkan jiwa dan pikiran mereka terjajah oleh semua itu – terbaca dari pernyataan dan tindakan mereka.
Bagaimana dengan Anda sendiri, apakah sudah menyiapkan diri menjadi renaissance person, mengoptimalkan segala potensi yang dianegerahkan Tuhan untuk sukses di dunia, membangun legacy, dan sebagai orang merdeka menabung persiapan lebih baik untuk memasuki dimensi hidup pasca kematian nanti?
Tentu tidak perlu menunggu sekaya David Packard, atau menjadi presiden. Bukankah Tuhan menilai setiap mahluknya sesuai dengan upaya masing-masing?
Ketuk diri sendiri setiap hari dengan pertanyaan aktif, “Apakah saya sudah berupaya sebaik-baiknya untuk bahagia, berupaya optimal meraih tujuan hidup? Apakah saya sudah bekerja sebaik mungkin untuk membangun makna?”
Mohamad Cholid adalah Head Coach di Next Stage Coaching.
- Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching
- Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment
- Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman