Kamis, Desember 19, 2024

Leadership Growth: New Way of Being

Must read

Cara Sukses dalam Kondisi Berbahaya, Terisolasi dan Tekanan Berat

Oleh Mohamad CholidPracticing Certified Executive and Leadership Coach

Di angkasa luar, selepas dari atmosfer, apakah waktu tetap berdetik? Apakah ada kehidupan untuk diinterpretasikan sebagaimana layaknya kita di Bumi?

Bagi umumnya kita yang belum pernah menjadi astronot, jawaban atas pertanyaan tersebut barangkali bisa diperoleh dari penggalan salah satu puisi Subagio Sastrowardoyo, …  “Aku kini melayang di tengah ruang. Di mana tak berpisah malam dan siang …” (Manusia Pertama di Angkasa Luar).

Di bagian lain, Subagio menggambarkan astronot sebagai manusia yang juga punya hati dan kecemasan, “Angkasa ini bisu. Angkasa ini sepi. Tetapi aku telah sampai pada tepi. Darimana aku tak mungkin lagi kembali. Ciumku kepada istriku, kepada anak dan ibuku.”

Perjalanan manusia ke angkasa luar, ditafsirkan musisi top Mendiang David Bowie lewat Space Oddity seperti ini: “This is Major Tom to Ground Control. I’m stepping through the door. And I’m floating in a most peculiar way. And the stars look very different today. For here. Am I sitting in a tin can. Far above the world. Planet Earth is blue. And there’s nothing I can do.”

Penyair Subagio Sastrowardoyo dan musisi David Bowie sama-sama menceritakan, para astronot adalah manusia, bukan sederet mesin yang dilontarkan ke angkasa luar untuk misi eksplorasi segala kemungkinan di luar Bumi.

“Faktanya memang kami bukan mesin. Kami adalah manusia-manusia yang menunaikan tugas mengembangkan kemampuan adaptasi, kemampuan memahami, dan mengembangkan persepsi kami di lingkungan baru,” kata Chris Hadfield, astronot Kanada pertama yang beberapa kali mengangkasa, berjalan di awang-awang di luar atmosfir Bumi, dan pada 2013 selama lima bulan memimpin International Space Station (ISS) – stasiun buatan manusia terbesar di ketinggian 408 km dari Bumi, proyek kolaborasi mulitinasional badan-badan antariksa NASA, Roscosmos, JAXA, ESA, dan CSA.

Hari-hari ini kita, utamanya yang masih melakukan isolasi diri dan disiplin mengikuti aturan social distancing, perlu mengingat Chris Hadfield.

Selama lima bulan memimpin para astronot di ISS, Kolonel Chris Hadfield menghasilkan banyak pembelajaran. Pensiun sebagai perwira penerbang jet tempur Royal Canadian Air Force, Chris Hadfield sibuk mengajar, juga menulis buku, antara lain An Astronaut’s Guide to Life on Earth; You Are Here, dan satu buku untuk anak-anak The Darkest Dark.

Dalam perspektif leadership, Chris Hadfield dipuji banyak kalangan berhasil mengembangkan team management yang luar biasa. Selama lima bulan tinggal di luar orbit Bumi, hidup tanpa gravitasi, enam orang atronot dengan latar belakang kebangsaan, budaya, dan usia berbeda tersebut berhasil membangun kerja sama optimal, tidak pernah sekalipun di antara mereka bicara dengan nada tinggi. Apalagi berdebat keras.  

Padahal mereka hidup dalam tekanan tugas yang berat, dengan standard operating procedure sangat ketat – meleset sedikit taruhannya nyawa mereka sendiri. Misi mereka menyangkut kepentingan ratusan juta orang dari pelbagai bangsa. Mereka diminta menafsirkan peradaban dari perspektif baru.

Salah satu cara yang dikembangkan para astronot di ISS selama kepemimpinan Chris Hadfield adalah melakukan hal-hal sederhana yang bermanfaat bagi orang lain. Seperti, membersihkan peralatan yang dipakai bersama setelah seseorang menggunakannya. Mereka dibiasakan untuk saling menghormati, diekspresikan dalam belbagai kegiatan sehari-hari, service each other. Masing-masing berbuat baik buat sesama minimal sekali dalam sehari.

Spirit mereka adalah membangun team of humanity. Selain kompetensi teknis mereka luar biasa – terbukti lulus seleksi sebagai astronot atau kosmonot untuk bertugas berbulan-bulan di ISS – mereka juga berhasil mengembangkan soft skills, mampu berinteraksi dengan sesama manusia dengan ego terkendali.

Dalam berinteraksi dengan manusia di Bumi, Chris Hadfield, yang tampangnya seperti guru biologi di SMA atau petugas pemadam kebakaran, setiap malam mengalokasikan waktu sharing (melalui twitter) kegiatan-kegiatan di ISS. Antara lain bagaimana membuat sandwich, gunting rambut, atau mencuci kaos di ketinggian tanpa gravitasi. Jutaan orang menyimak foto-foto tersebut. Chris Hadfield menjadi astronot terpopuler setelah Neil Armstrong.     

Hidup di stasiun angkasa luar, selain terisolasi dan jauh dari kehidupan normal, juga dalam kondisi selalu diminta ektra hati-hati. Jadi, kita sekarang yang tengah menjalani isolasi, rasanya malu kalau baru dua bulan mulai mengeluh. Bukankah jalur internet saat ini memungkinkan kita berinteraksi dengan semua pihak, termasuk relasi kita di New York, San Jose, atau di London, di Paris, di Hongkong?

Gambar oleh Gu Hyeok Jeong dari Pixabay

Berdasarkan pengalamannya memimpin tim dalam keadaan terisolasi dan di lingkungan yang sangat berbahaya, namun tetap produktif dan berprestasi, Chris Hadfield sharing bagaimana di masa isolasi akibat pandemi kita tetap bisa thriving.

  1. Ketahui dengan mendalam resiko aktual di depan mata. Gali informasi dari sumber terpercaya apa sebenarnya resiko yang Anda hadapi bersama keluarga, teman, dan orang-orang yang Anda sayangi.
  2. Tentukan apa yang Anda ingin raih. Apa sasaran Anda. Apa misi Anda sekarang? Sebaiknya semuanya sudah jelas siang ini, atau dalam waktu seminggu, atau bulan depan.    
  3. Tentukan apa saja yang menghalangi Anda. Siapa yang memberitahu apa yang perlu Anda lakukan? Bagaimana sumber keuangan Anda? Apa saja kewajiban Anda?
  4. Take action. Setelah Anda ketahui resikonya, apa misi Anda, apa saja kewajiban Anda, mulai kerjakan. Tidak harus sama dengan tindakan Anda selama ini, karena saat ini Anda perlu melakukan hal berbeda. Dalam merawat keluarga, berlatih hal baru, baca buku, dan berkreasi.

Menurut Chris, manfaatkan dengan baik periode isolasi sekarang. Dengan internet, dunia ada di ujung jari kita. “Take care of your family, take care of your friends, take care of your spaceship, and I wish everyone happy landings,” katanya. Ia memang terlatih melakukan banyak hal dalam keadaan terisolasi, di dalam stasiun angkasa luar yang mengelilingi Bumi 16 kali sehari.

Spaceship Anda adalah organisasi, keluarga, dan komunitas yang Anda pimpin.

Menurut saya, sekaranglah saatnya bagi para eksekutif dan leaders di organisasi melakukan peningkatan ketrampilan tim. Selain makin membiasakan hidup dalam dunia digital, perlu juga meningkatkan kapasitas kognitif, emosi, dan ketrampilan beradaptasi. Untuk memastikan organisasi menjadi lebih ligat, berdaya tahan tinggi, dalam menghadapi kondisi pasar yang bisa sangat berbeda dalam waktu dekat ini.

Anda tentunya tidak mau mengalami paralysis by analysis ‘kan?

Karena di Bumi waktu masih terus berdetik. Usia umat manusia makin berkurang setiap hari. Bertindak benar dan secara tepat sekarang, tidak perlu menunggu mengalami, seperti astronot dalam puisi Subagio Sastrowardoso itu, “aku telah sampai pada tepi”.

Mohamad Cholid adalah Head Coach di Next Stage Coaching.

  • Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching
  • Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment
  • Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman
- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article