Jumat, November 15, 2024

Lawan kebuntuan berpikir ala birokrat

Must read

Mohamad Cholid, Practicing Certified Executive and Leadership Coach

Don’t fooled by the fact,” Martin Lindstrom.

Remi mendadak menangis keras sekali. Dari kamarnya di lantai dua, raungan Remi sangat jelas terdengar sampai ke ruang keluarga di lantai satu. Kami kaget. Apa yang terjadi? Kata tantenya yang menemani Remi dengan iringan dongeng-dongeng menjelang tidur, Remi menangis marah karena tidak suka mendegar cerita anak-anak babi dimandiin jadi bersih dan lantas bersikap tertib.

Dalam buku cerita Petualangan di Peternakan oleh Isabella Camino dan Delphine Lacharron, ada episode Enam Babi Kecil yang Nakal. Babi di peternakan Pak Joni Sang Petani melahirkan enam anak.

Saat mulai tumbuh, keenam anak babi tersebut kelakuannya bengal, mengganggu ternak lainnya, membuat berantakan gudang, dll. Bu Babi, induk mereka, galau dan meminta bantuan Koko, ayam jantan, untuk mengatur keenam anaknya yang ngaco.

Ayam dibantu angsa dan lainnya berhasil mengatasi keadaan. Keenam anak babi yang bengal itu akhirnya bersedia badan mereka digosok jadi bersih dan mereka tidur tertib pula.

Tapi bagi Remi, balita berusia tiga setengah tahun, kenyataan tersebut tidak dapat diterimanya. Karena dalam persepsinya sesuai dengan cerita-cerita yang didengarnya selama ini, babi itu hidupnya jorok, berantakan, ngawur.  

pexels

Menurut anggapan Remi, anak-anak babi menjadi bersih, tertib, dan bersikap manis merupakan penyangkalan pada “realitas” – atau pembengkokan atas pemahaman terhadap narasi publik — yang selama ini jadi perspektifnya melihat kehidupan binatang. Perubahan perspektif baginya tidak nyaman. Maka Remi menangis sekeras-kerasnya.

Reaksi Remi, kalau kita mau jujur, bukankah sama seperti perilaku orang-orang yang secara biologis dianggap sudah dewasa, saat menghadapi kenyataan berbeda dengan yang selama ini ada di pikiran masing-masing? Hanya “cara menangisnya” yang berbeda.

Mereka yang betah dalam buaian pola pikir yang diyakini benar, bukankah selalu hanya mau mendengar yang ingin didengar atau melihat yang ingin dilihat sesuai dengan kesimpulan-kesimpulan yang sudah ada dalam benak?

Mereka marah-marah atau, yang dalam posisi pimpinan, bahkan memaki anak buah, jika realitas yang mereka hadapi tidak sesuai dengan kehendak mereka. Tanpa bersedia menahan diri, untuk melakukan penelahaan secara lebih mendalam mencari akar permasalahan apa penyebab prestasi tim belum memuaskan. Mereka terjebak symptom, alpa mengetahui problem utama.

Umumnya golongan yang mudah terpicu oleh events, symptom di permukaan, kurang rendah hati menggali inti masalah, menjalani hidup berdasarkan asumsi, bahkan kesimpulan-kesimpulan, yang sudah ada di pikiran mereka.

Dalam kehidupan pribadi, ini diindikasikan salah satu penyebab timbulnya keretakan hidup berpasangan. Di lingkungan organisasi, bos yang setiap meeting selalu sudah punya kesimpulan dalam benaknya menyebabkan tim merasa terintimidasi.

Akibatnya mereka bekerja keras hanya untuk compliance dengan kemauan bos, tanpa ketulusan, bahkan sering pula mereka juga tidak (mau) tahu big picture tujuan utama organisasi. Menurut survei, ini penyebab tingkat engagement rendah.

Di lingkungan para ahli, termasuk yang sudah menyandang gelar PhD, gejala berpaku hanya pada ilmu yang dipelajarinya dan cenderung menolak realitas dari dimensi keilmuan lain, sering dapat kita temui. Contoh kongkrit paling mutakhir ketika mereka berdebat menyangkut solusi mengatasai pandemi.

Di tingkat penyelenggaraan negara, rasanya hanya pemerintahan otoriter yang cenderung mengelola kepentingan publik berdasarkan asumsi sepihak dan kesimpulan-kesimpulan yang sudah ada di benak pejabat, sesuai kepentingan polit biro partai penguasa. Semua urusan seperti sudah ada jawabannya – atau dipaksakan sesuai dengan “solusi” yang tersedia di brangkas aparat.

Kecenderungan untuk melihat, memahami, dan mengatasi tantangan dan pelbagai persoalan hidup hanya berdasarkan yang sudah ada di benak masing-masing mempelihatkan kebuntuan berpikir. Mereka hidup berdasarkan ilusi.

Orang yang sudah sukses sering mengalami situasi ini, disebut success delusion. Manusia dengan perilaku kepemimpinan semacam ini biasanya cenderung memaksakan jawaban-jawaban di masa lalu untuk mengatasi problem sekarang.

Dalam perspektif spiritual, perilaku semacam itu bisa jadi indikasi menolak peran utama Tuhan Pencipta Alam Semesta dalam proses keberadaan kita, yang telah menganugerahkan pelbagai dimensi hidup untuk kita pelajari, kita pahami.

Gambar oleh Carla Burke dari Pixabay

Bukankah kalangan ulama, pendeta, rahib, dan para guru spiritual berwasiat, kesediaan diri mengembangkan segala potensi positif yang ada di dalam diri kita, tanpa batas, a continuous process — kecuali kalau sudah wafat – merupakan salah satu bukti nyata keyakinan kita atas kasih sayang Tuhan?

Dengan kata lain, kalau seseorang menyatakan beriman dan bertakwa, tentunya siap membuka hati dan pikiran mengembangkan diri. Bersedia mengembangkan otot-otot pemikiran, energi batin, dan bernyali menghadapi kemungkinan-kemungkinan baru.

Dengan begitu hidup menjadi lebih indah.

Mohamad Cholid adalah 

  • Head Coach di Next Stage Coaching
  • Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching
  • Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment
  • Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman
- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article