(Bagaimana mau memperbaiki?)
Oleh Adian Napitupulu
Arya Sinulingga selaku Staf Khusus Menteri BUMN menyatakan bahwa saya tidak mengerti tentang korporasi. Ia juga mengatakan bahwa dalam budaya korporasi tidak pernah ada lowongan direksi dan komisaris yang dipublikasikan terbuka. Kira kira demikianlah pernyataan Stafsus Menteri BUMN.
Karena itu pernyataan Stafsus Menteri BUMN maka saya akan menganggap nya juga sebagai pernyataan atau setidaknya arahan dari Menteri BUMN.
Apakah ada korporasi yang mengumumkan lowongan untuk mengisi jabatan komisaris dan direksi secara terbuka melalui media?
Ada! Dan itu sebenarnya bukan hal baru bahkan sering di lakukan. Jadi kalau dikatakan itu tidak pernah ada atau hanya satu dua maka jangan jangan memang dia tidak pernah membaca. Tidak pernah baca, bukan berarti itu tidak pernah ada. Ini saya kutipkan beberapa contohnya:
1. Perusda Pasar Surya Surabaya pada April tahun 2017 pernah umumkan secara terbuka untuk lowongan sebagai direktur utama dan direktur administrasi keuangan.
2. PT Patralog pada 12 hingga 20 Juni 2019 membuka lowongan kerja sebagai direksi.
3. PT Bank Jatim pada 18 Desember 2019 membuka lowongan untuk direktur utama dan direktur konsumer ritel dan usaha syariah.
4. PT Jateng Petro Energi membuka lowongan kerja untuk direksi dan komisaris pada 6 Mei 2020.
Sebenarnya masih banyak contoh lainnya, tapi tidak mungkin saya tuliskan semua di sini. Dari contoh di atas maka pernyataan bahwa tidak pernah ada lowongan direksi atau komisaris korporat yang diumumkan terbuka tentu sebuah kesalahan besar atau sok tahu yang sangat akut.
Kenapa saya katakan bahwa ada 6.200 komisaris dan direksi titipan di BUMN?
Logikanya sederhana saja, yaitu karena semua rekrutmen, seleksi dan keputusan untuk posisi direksi dan komisaris dilakukan secara tertutup maka biasanya titipan titipan akan terjadi.
Bukankah titipan-titipan itu konsekuensi dari tidak adanya sistem rekrutmen yang transparan. Kalau dikatakan bahwa saya tidak mengerti budaya korporasi maka saya perlu bertanya, budaya yang mana?
Setahu saya budaya korporasi yang tertutup itu adalah budaya korporasi yang lahir dari mind set Orde Baru.
Mengapa membongkar siapa saja yang mengisi 6.200 direksi dan komisaris dan bagaimana rekrutmennya menjadi sangat penting? Karena uang yang dikeluarkan negara bukanlah uang kecil.
Coba kita andaikan rata-rata direksi dan komisaris itu dari gaji, transportasi, tunjangan ini itu dll nya di kisaran Rp50 juta per bulan dikalikan 6.200 orang berarti Rp310 miliar tiap bulan atau Rp3,7 triliun setiap tahun.
Lucu dan aneh bagi saya kalau negara mengeluarkan Rp3,7 triliun setiap tahun untuk 6.200 orang yang rakyat tidak tahu bagaimana cara rekrutmennya dan dari mana asal usulnya.
Rakyat hanya diyakinkan bahwa ada head hunter, ada talent pool tapi rakyat tidak tahu siapa orangnya, bagaimana kerjanya dan kenapa Masyarakat umum tidak bisa ikut melamar secara terbuka? Apa yang ditutupi? Apa yang dirahasiakan? Apa yang disembunyikan?
Kenapa harus tertutup jika bisa terbuka. BUMN itu bukan Badan Intelijen Negara selayaknya CIA atau M16 yang proses rekrutmennya dirahasiakan. Berhentilah bermain-main seolah BUMN itu film Mission Impossible.
Rakyat berhak tahu, relawan pendukung Jokowi juga perlu tahu bahkan mungkin partai pendukung Jokowi juga perlu tahu berapa orang dari 6.200 orang itu yang tidak setuju dengan Ide dan tujuan Jokowi, membenci Jokowi tapi menikmati buah keringat mereka yang jungkir balik memenangkan Jokowi.
Lebih jauh lagi apa mungkin mereka yang tidak setuju dengan ide dan tujuan Jokowi mau berjuang di BUMN induk, anak dan cucu untuk memastikan ide, program dan tujuan Jokowi tercapai? Lalu dari 6.200 bagaimana kalau ada yang anti terhadap negara ini? Kalau ada berapa banyak dan di mana?
Pernyataan kedua dari stafsus BUMN yang saya anggap juga sebagai pernyataan Menteri atau setidaknya sesuai arahan Menteri, adalah bahwa “direksi dan komisaris BUMN itu bukan pejabat publik”.
Nah, menurut saya itu adalah pernyataan yang tidak berlandaskan pengetahuan tapi nafsu bicara saja.
Mari kita cek fakta-fakta nya. Dari beberapa undang-undang yaitu: Pasal 1 angka 1 UU No 28 tahun 1999, lalu pasal 1 ayat 2 dan 4 dari PP No.61 tahun 2010, kemudian Pasal 14 UU No.14 tahun 2008 dan Pasal 1 angka 1 jo pasal 1 angka 10 UU 19 tahun 2003.
Dari 3 UU dan 1 PP ternyata menjelaskan bahwa direksi dan komisaris BUMN adalah pejabat publik dan karena mereka pejabat publik maka mereka juga harus dan wajib mengisi lembar LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara). Kalau sudah isi LHKPN maka jelas dia adalah pejabat publik.
Semoga informasi ini bermanfaat agar kesalahan data tidak berulang seperti waktu Kementrian BUMN bicara tentang utang BUMN yang ternyata selisih lebih dari Rp4.500 triliun dengan data utang BUMN versi Departemen Keuangan.
Perbedaan data sebesar Rp4.500 triliun tentunya sangat memalukan dan menunjukan bahwa kementrian benar benar tidak tahu situasi yang sedang di hadapi hari ini di tubuh kementrian sendiri.
Perlu saya akui secara jujur bahwa memang saat ini ada perubahan “besar” di BUMN yang sudah dilakukan seperti mengganti slogan dan logo walaupun saya tidak tahu apa manfaat penggantian logo itu dengan upaya BUMN menghadapi krisis multidimensi yang sedang terjadi.
Setahu saya logo tidak menyelesaikan virus, tidak bisa membuat orang menjadi kenyang dan tidak akan mampu mencegah PHK massal.
Perubahan lebih besar lagi adalah penambahan rangkap jabatan dari 222 di periode sebelumnya menjadi 564 orang di periode sekarang. Secara angka lebih besar tetapi secara etika bernegara merosot jauh dari prinsip dan nilai keadilan.
Mungkin benar cerita bahwa pemilik modal bisa mengatur berita media, tapi saya yakin mengubah kebenaran tidak semudah mengedit tanda baca. Akhir kata, sesungguhnya siapa sebenarnya yang tidak mengerti korporasi? Siapa yang tidak paham korporasi? Siapa sesungguhnya yang membuat blunder?
Adian Napitupulu – Sekjen PENA 98