#Leadership Growth: Do the Right Thing Right, Please
Mohamad Cholid, Practicing Certified Executive and Leadership Coach
“Transparency may be the most disruptive and far-reaching innovation to come out of social media,” — Paul Gillin.
Hari-hari ini rasanya kita perlu mengingat Connie Dieken dan hasil risetnya, utamanya terkait dengan urusan influencer, yang belakangan ramai di media dan sempat menggoyang kredibilitas staf Istana Kepresidenan dalam mengelola komunikasi publik. Connie selama 20 tahun berkarier sebagai wartawan broadcast ABC dan NBC, memperoleh lima Emmy award, dua Telly award, dan masuk the Radio/Television Broadcasters Hall of Fame. Dua bukunya, Talk Less, Say More dan Become the Real Deal, keduanya diterbitkan Wiley, masuk bestsellers.
Menurut hasil riset Connie, pemahaman kita tentang apa itu influencer perlu kita tengok ulang – utamanya jika dikaitkan dengan adab memimpin seseorang.
Apa sesungguhnya influencer itu? Kalau kita googling, influencer sebagai kata benda artinya: a person or thing that influences another — “he was a champion of the arts and a huge influencer of taste“. Di lingkungan marketing, sering diartikan seperti ini: “a person with the ability to influence potential buyers of a product or service by promoting or recommending the items on social media.”
Pemahaman semacam itu yang belakangan ini memicu kegundahan publik. Sebagaimana diceritakan oleh Liston Siregar, mattan wartawan BBC yang membuat narasi video Kontem (Plasi), Juru Bicara Kepresidenan mengatakan, pemerintah tidak menggunakan buzzer, tapi influencer. ICW menyebutkan sejak 2017 sampai 2020 pemerintah mengeluarkan anggaran Rp90 miliar untuk membayar influencer.
Ada dua persoalan yang muncul, pertama menyangkut tata-krama di media sosial; kedua, terkait pemahaman yang lebih pantas tentang influencer dalam kaitan kepemimpinan.
Pertama, sampai hari ini belum ada keterbukaan siapa saja para influencer yang menerima bayaran dari anggaran yang kabarnya Rp90 miliar tersebut. Sebagian orang yang merasa pantas disebut sebagai influencer ada yang mengakui dapat bagian sekian juta.
Dalam urusan ini, juga ketika ada perusahaan swasta yang membayar para influencer (kata benda, sebagaimana diartikan di lingkungan pemasaran), transparansi belum ada. Ini soal adab. Di Inggris, para influencer dalam pengertian tersebut diminta mengakui, bahwa mereka dibayar oleh perusahaan atau institusi pembuat produk/jasa yang disarankannya ke publik. Ini soal etika di media sosial.
Demikian pula pihak yang membayar mereka, mesti transparan menyebutkan berapa besar dana untuk para influencer dan siapa sajakah mereka yang dapat bagian.
Pemerintah Inggris, melalui Department for International Development, UKaid, sejak Maret 2020 mengandalkan influencer untuk menebar informasi akurat tentang Covid-19 demi melawan pesan lancung (hoax) di media sosial, utamanya untuk generasi muda, di beberapa negara Asia. Dananya setara Rp10 miliar. Para penerima bayaran disebutkan, termasuk @KlikDokter – blog Kesehatan di Indonesia, pengikutnya di Facebook ada empat juta lebih.
Sekarang urusan kedua, menyangkut interpretasi yang lebih pas tentang influencer sebagai sebutan untuk memperlihatkan peran penting dan kemampuan kepemimpinan seseorang. Ini sama sekali berbeda dengan influencer yang dikaitkan dengan bayaran (monetasi).
Berdasarkan hasil riset sekitar 20 tahun yang dikerjakan Connie Dieken sebagai ilmuwan sosial, bersama tim yang terdiri dari para sosiolog dan psikolog, ada empat golongan perilaku manusia (eksekutif) dalam soal membangun pengaruh.
Dilihat dari tabiat masing-masing, apakah pengaruhnya untuk keuntungan diri sendiri atau dinikmati bersama pihak lain (mutual), apakah hasil interaksi itu sesaat saja atau jangka panjang, Connie membagi mereka sebagai dominators, manipulators, persuaders, dan influencers.
Dalam matrik yang dibuat Connie, dominators berada di sisi kanan bawah. Mereka berupaya membangun hasil jangka panjang untuk diri mereka sendiri, dengan memaksakan kehendak agar orang-orang lain (masyarakat) menuruti kemauan mereka. Ini dapat menimbulkan perubahan yang katastropis alias bencana.
Contoh tokoh yang masuk kategori ini antara lain Kenneth Lay (kasus rekayasa akutansi Enron) dan Bernie Madoff (terhukum 150 tahun di penjara federal North Carolina, akibat kasus Ponzi scheme). Orang macam mereka biasanya terjungkal oleh para whistle blower, yang membuka kedok pat-gulipat mereka.
Di posisi kiri bawah pada matrik Connie adalah para manipulators. Anda sudah dapat membayangkan, manusia golongan ini akan menggunakan segala cara, kelicikan, memanipulasi info, merengek kalau perlu, untuk mendapatkan keuntungan bagi diri mereka sendiri. Biasanya dalam waktu singkat, sebelum akhirnya mereka terhempas oleh kebenaran fakta.
Contoh kongkretnya antara lain Elizabeth Holmes (kasus Theranos) atau Billy McFarland (penipuan, terkait Fyre Festival).
Kuadran kiri atas, diisi para persuaders. Mereka menggunakan daya tarik retorika, karisma, dan apa saja untuk mengajak orang lain melakukan suatu tindakan yang mereka kehendaki dalam waktu segera. Mungkin saja ada manfaat untuk kedua pihak, tapi hanya singkat.
Orang-orang yang tengah berada pada posisi pimpinan, punya pengaruh karena jabatan — mungkin juga dikenal banyak orang — cenderung lengah di sini. Merasa seolah-olah sudah jadi influencers, padahal persuaders. Kelalaian ini membuat mereka rentan, mudah tergeser oleh orang yang lebih cerdas. Batin mereka sesungguhnya lelah, selalu ngoyo cari pengaruh.
Lantas, siapakah para influencers sesungguhnya dan bagaimana perangai mereka? Dalam matrik posisinya di sisi kanan atas, merekalah yang berupaya sungguh-sungguh membangun benefit untuk semua pihak dalam jangka panjang. Mereka memiliki dan mengembangkan adab memimpin lebih dapat diandalkan.
Kepemimpinan seperti ini, dalam istilah Connie, ”Elevating others.” Mereka membangun masa depan bersama para stakeholders.
Adab memimpin seseorang — menurut perspektif Kitab Suci, para guru spiritual, dan kalangan thought leader — selalu akan diukur antara lain berdasarkan kemampaunnya mengangkat harkat orang lain, memuliakan kepentingan bersama, dan melahirkan para pemimpin baru. Kalau bisa juga membangun legacy terhormat untuk anak-cucu.
Sekarang Anda bebas memilih – yang akan menilai adalah hati nurani, para stakeholders, dan keimanan masing-masing: Mau berperan sebagai seolah-olah influencer (sebagai kata benda) yang menggunakan pengaruh atau popularitas untuk mempertebal kocek pribadi dan demi kepentingan sesaat; atau menjadi influencer yang sesungguhnya, membangun kemuliaan dan masa depan lebih baik bersama para pemangku kepentingan?
Mohamad Cholid adalah
- Member of Global Coach Group (globalcoachgroup.com) & Head Coach di Next Stage Coaching.
- Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching
- Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment
- Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman (mohamad-cholid, coach/mcholid1)