#SeninCoaching
#Leadership Growth: Test of Will for the New Horizons
Oleh Mohamad Cholid, Practicing Certified Executive and Leadership Coach
“You cannot swim for new horizons until you have courage to lose sight of the shore.” – William Faulkner
Saat ke Hamburg, Jerman, sebaiknya Anda menyempatkan ke Elbphilharmonie Concert Hall, di semenanjung Grasbrook, Sungai Elbe. Bangunan anggun yang diresmikan Januari 2017 ini telah menjadi landmark Hamburg, kota terbesar kedua di Jerman dan pelabuhan yang sangat sibuk di Eropa. Eksistensi Elbphilharmonie penting lebih karena merupakan proyek ini dinilai spektakuler ibarat Kekaisaran Romawi membangun coloseum, ia juga menghadirkan sejumlah pembelajaran, menyangkut manajemen dan kepemimpinan, penggunanaan uang masyarakat, akuntabilitas publik, dan perspektif memandang sejarah.
Pejabat kotapraja Hamburg memulai proyek Elbphilharmonie pada 2003 dengan dana mendekati 80 juta Euro, ditargetkan bisa diresmikan 2009. Tapi pada 2009 itu bukannya proyek rampung, anggarannya malah membengkak jadi 789 juta Euro dan penyelesaiannya pun mundur tujuh tahun kemudian, akhir 2016. Ini menyebabkan perdebatan publik, kemelut hukum, investigasi pihak parlemen, dan protes masyarakat.
Dalam pelatihan project management Antonio Nieto Rodriguez, Chairman of the Project Management Institute, yang saya ikuti, kasus Elbphilharmonie menjadi salah satu contoh tidak baik dalam implementasi strategic project. Menurut perpektif project canvas, Elbphilharmonie minimal telah menyimpang dalam soal time dan cost.
Setelah melewati sederet pergulatan pemikiran, tekanan dari pelbagai pihak, serta dinamika sikap sponsor proyek, Elbphilharmonie berhasil bermetamorfose dari proyek yang sempat mempermalukan banyak pihak menjadi karya hasil kolaborasi — arsitek, akustisian, dan para eksekutor di lapangan — yang sangat prestisius. Menjadi kebanggaan masyarakat.
Di Elbphilharmonie, Arsitek Jacques Herzog dan De Meuron seperti mendaratkan dengan anggun kapal kaca bertingkat di atas bangunan tua berwarna merah marun bekas gudang cocoa, teh, tembakau – bangunan tahun 1960-an itu tampak luarnya mereka pertahankan, hanya bagian dalam strukturnya mereka bangun ulang.
Bagaimana mengatasi kebisingan terompet kapal-kapal yang berlalu-lalang di Sungai Elbe? Akustisian Yasuhisa Toyota, yang sudah menghasilkan sejumlah karya hebat di pelbagai gedung konser penting di dunia, melahirkan prestasi baru. Elbphilharmonie lebih dari sekadar bebas gangguan suara luar, di bagian dalamnya tersaji kualitas akuistik yang sangat istimewa. Para musisi kelas dunia memuji kehebatan sistem akuistik Yahusia Toyota. Teknik parametric design menghasilkan 10.000 panel akuistik mirip kerang laut terbalik, menghasilkan suara jernih terdengar di setiap lekuk gedung pertunjukan. Amazing.
Dua bulan sebelum dibuka resmi seluruhnya, November 2016 plasa Elbphilharmonie sudah boleh dikunjungi publik – total yang datang 400.000 pengunjung. Grand opening pada 11 dan 12 Januari 2017 dihadiri Presiden Jerman Joachim Gauck, Chancellor Angela Merkel, Walikota Hamburg Olaf Scholz dan sejumlah tokoh nasional maupun internasional.
Pada sambutannya, Presiden Joachim Gauck antara lain mengatakan tentang Concert Hall Elbphilharmonie sebagai “sebuah impian dan mimpi buruk sekaligus, a world star and a joke, an embarrassment, and a miracle.”
Itu terkait dengan kontroversi akibat mega project tersebut penyelesaiannya molor lama dan anggarannya juga membengkak 10 kali lipat..
Rasa sakit berkepanjangan yang dialami para pemangku kepentingan di Hamburg atau barangkali seluruh Jerman (karena sempat disebut telah jadi “beban perasaan” secara nasional), akhirnya terbayar. Elbphilharmonie kemudian berhasil memicu rasa takjub dari para arsitek, musisi kelas dunia, dan pelbagai kalangan lain dari mancanegara.
Dalam sejarah peradaban umat manusia, sejumlah mega project yang menghasilkan legacy dan manfaat signifikan (bagi ekonomi, ilmu pengetahuan, dan teknologi) bertahun-tahun atau bahkan berabad-abad kemudian nyaris tidak lepas dari kontroversi dan kepahitan dalam proses pelaksanaannya. Contohnya, Piramid di Mesir, pembangunan Great Wall China, pendaratan manusia pertama di Bulan, pembuatan Candi Borobudur, memiliki dinamikanya masing-masing, kontroversi, dan sebagiannya juga menimbulkan kepedihan.
Pada akhirnya yang akan dinilai adalah akuntabilitas para sponsor proyek dan para leader yang terlibat di setiap bagian atau yang bertanggungjawab seluruh aspeknya. Pada level organisasi, ketika melakukan akuisisi atau merger, misalnya, para CEO atau Presiden Direktur sepatutnya berperan aktif sebagai executive sponsor – lebih dari sekedar seremonial, ia mesti “hadir” melakukan update berkala, bisa setiap pekan atau minimal setiap bulan. Project leader dan manager sepantasnya pula berkomitmen mengalokasikan waktu dengan bijak dan fokus.
Ada sejumlah kasus proyek berskala nasional, bahkan internasional, yang gagal dan memalukan karena executive sponsor hanya hadir saat peresmian – selebihnya sulit ditemui oleh project leader untuk tukar pikiran, antisipasi kemungkinan muncul hal di luar skenario.
Di sini pentingnya kontribusi pihak luar – sering disebut konsultan – untuk memberikan perspektif baru atau pendekatan yang lebih to the point, karena tidak terhambat hirarki dan birokrasi. Kehadiran konsultan tidak menghilangkan kewajiban executive sponsor mengalokasikan waktu khusus untuk update secara berkala, selama proyek berlangsung.
Bagaimana kalau UU Cipta Kerja kita lihat berdasarkan perspektif project management? Undang-undang ini dapat kita anggap sebagai mega project, mengingat rationale dan business case-nya diasumsikan dapat meningkatkan serapan tenaga kerja secara nasional melalui kehadiran lebih banyak lagi investor baru, utamanya dari luar negeri. Entah tebusannya apa.
Kontroversi dan keriuhan yang ditimbulkannya, serta peluang bagi pihak-pihak yang tidak setuju mengajukan keberatan ke Mahkamah Konstitusi, apakah dapat mendorong lahirnya rationale baru dan menjadikan undang-undang tersebut bermetamorfosa menjadi produk hukum yang memiliki legacy positif bagi kehidupan berbangsa dengan cakrawala baru?
Undang-undang tersebut dapat bergerak ke dua arah yang berbeda.
Menjadi seperti proyek John F. Kennedy mendaratkan manusia di Bulan — dengan segala benefit perkembangan teknologi serta stimulus ekonomi yang ditimbulkannya (karena ada ribuan pemasok ikut di dalamnya). Atau akan menjadi seperti proyek Great Wall China, yang melindungi kekaisaran Qin Shi Huang, kemegahan yang dibangun dengan kepedihan rakyat yang menyertainya?
Sejarah menyebutkan, sejak Kaisar Qin Shi Huang menitahkan konstruksi Tembok Besar, yang tercatat ada 400.000 orang meninggal selama proyek berlangsung dan banyak dari mereka dikuburkan di dalamnya.
Ke arah mana undang-undang tersebut akan bergerak, tergantung pada kecerdasan dan keberanian emosional pihak yang sedang berkuasa di pusat pemerintahan dan pihak-pihak yang berkeberatan untuk melakukan dialog secara produktif. Ini memang tidak nyaman, counterintuitive. Tapi dengan cara itu kita dapat membuka horison baru. “You cannot swim for new horizons until you have courage to lose sight of the shore,” kata William Faulkner.
Apa masih belum puas juga menghamburkan resources nasional kita (pikiran, waktu, dan uang publik) di erena pertikaian semu? Bukankah kita semua ini hanya bayangan yang berkelebat sebentar di layar, untuk kemudian ditarik oleh Maha Dalang Kehidupan sesuai kehendak-Nya untuk dimasukkan ke peti?
Di sini ujian kepemimpinan – dan keimanan — dari masing-masing kelompok untuk lebih berkeadaban. Berani melampui cakrawala dan perspektif masing-masing yang tentu saja memiliki keterbatasan.
Mohamad Cholid
- Member of Global Coach Group (globalcoachgroup.com) & Head Coach di Next Stage Coaching.
- Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching
- Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment
- Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman (linkedin.com/mohamad-cholid), (sccoaching.com/coach/mcholid)