Kamis, Oktober 31, 2024

Waspadai politik popcorn dan bahayanya

Must read

#SeninCoaching

#Leadership Growth: Beware of the popcorn politics

Mohamad Cholid, Practicing Certified Executive and Leadership Coach

Anda pernah membuat popcorn? Seonggok biji jagung di panci (atau di mesin pembuat popcorn, jika punya), setelah dapat tekanan dan dipanaskan akan berletupan. Bagian luar setiap biji jagung mekar. Suaranya menjadi riuh ketika yang meletup bersamaan makin banyak. Belakangan ini problem sosial, politik, dan ekonomi berkembang biak hiruk pikuk seperti pembuatan popcorn dalam panci yang tertutup.

Tekanan krisis akibat pandemi, suhu politik yang memanas karena banyak pihak senang mengumbar selera bergesekan ketimbang membangun dialog, dengan tambahan olesan glorifikasi masalah (oleh media dan sumbernya), maka mantaplah untuk memunculkan letupan beruntun yang sangat riuh.

Akumulasi masalah yang meletup berkesinambungan terjadi di beberapa tempat, di Amerika Serikat, di Hong Kong, dan di Indonesia – mungkin ada di tempat lain juga, tapi paling tidak di tiga lokasi ini ada sejumlah kemiripan. Kesamaannya: demonstrasi mahasiswa/pemuda (yang menyuarakan aspirasi) telah ditambah “demo-demo siluman” melakukan perusakan sarana-sarana publik, dan munculnya sejumlah aparat yang kehilangan kendali diri.

Saat para pihak yang memiliki pengaruh politik, sosial, dan ekonomi memaksakan kehendak masing-masing, saat ada pemicu yang bisa diglorifikasi oleh media, para petualang dengan dana besar mengerahkan bromocorah merusak fasilitas umum – tujuannya: untuk menghancurkan citra kelompok yang benar-benar berdemo menyuarakan aspirasi, sekaligus mengacaukan tatanan bermasyarakat. Target mereka: membuat negara gagal.

Itu tampaknya merupakan pola kerja “the invisible hands” di mana-mana, di Hong Kong (dalam demo anti Beijing) dan juga di AS. “The invisible hands” bisa bagian dari alat penguasa, bisa juga dari “kontraktor” pihak-pihak yang menginginkan pemerintahan digantikan oleh penguasa baru yang lebih menguntungkan mereka. Peristiwa-peristiwa yang diberitakan seperti political affairs tersebut pada galibnya merupakan serial business story. Itulah “popcorn politics”.

Di Indonesia sendiri, sejak peristiwa Malari 1974 sampai hari ini, nyaris tidak ada demo mahasiswa/pemuda yang tanpa intervensi “the invisible hands”.

Apakah termasuk demo-demo anti UU Cipta Kerja? Tampaknya ya. Jika Anda termasuk golongan muda yang hatinya bergemuruh ingin ikut demo, karena terpengaruh info kesimpangsiuran pembuatan undang-undang yang mempengaruhi hajat hidup jutaan orang, mohon pertimbangkan ulang.

Kenapa? Karena Anda akan selalu ketinggalan beberapa langkah jika ikut arus demo. Semua demo di pelbagai daerah sebagaimana diberitakan media itu praktis sudah diantisipasi oleh tim khusus – apakah itu mitra strategis penguasa atau kategori “the invisible hands”, wallahu a’lam.

Demo-demo tersebut sesungguhnya sudah “diolah” oleh mereka, maka “manageable”, mau dijadikan tertib, mau diubah anarkis, skenarionya sudah disiapkan – termasuk kemungkinan terjadinya penyimpangan di sana-sini.

Di antara anak muda, sebut saja Jon, ada yang bilang: “Tapi ‘kan keren kalau kita kelihatan digebuki polisi dan diliput wartawan tivi. Heroic Bro, heroic …”.  Temannya, kita namai Jane, menambahkan, “Aku juga ikut geregetan lihat situasi. Aku juga merasa seksi loh berdiri di depan keramaian dan diliput media.”

Jon dan Jane dalam Bahasa Inggris bisa disebut punya “a very slippery relationship with the truth and reality.” Coba kita cek, apa yang sesungguhnya jadi beban mereka dengan undang-undang tersebut? Apakah mereka sudah mendalami betul isinya atau sekadar dapat info dan gosokan ketua kelompok?

Orang-orang yang tidak dapat melihat dengan gamblang garis batas antara kebenaran dan ketidak-benaran, antara realitas dengan gambaran seolah-olah fakta (yang pada dasarnya dipaskan dengan yang sudah ada di pikiran masing), indikasinya juga ada di mana-mana. Bahkan di level pimpinan organisasi bisnis, nonprofit, di lingkungan aktivis politik, dan di institusi-institusi pemerintahan.

Sekarang Anda bisa paham jika ada pejabat publik yang dituding berbohong, sementara yang bersangkutan santai saja. Si pejabat memang tidak ngibul, ia hanya “has a very slippery relationship with the truth and reality” (istilah ini saya pinjam dari Michael Bungay Stanier, penulis The Coaching Habit, salah satu Wall Street Journal bestseller).

Dalam kenyataan sehari-hari, sindrom tersebut bisa menimpa siapa saja, setinggi apa pun jabatannya. Apalagi orang-orang yang karena jabatannya merasa sudah jadi pemimpin, padahal baru pimpinan – lantas bersikap sebagai pemegang kebenaran karena posisinya itu. Dengan perilaku semacam itu, mereka akan mudah terkena leadership blind spots, tidak mampu melihat realitas atau inti persoalan yang sesungguhnya; hanya melihat symptoms, dan akhirnya upaya-upayanya sekadar mengatasi gejala, bukan menyelesaikan masalah yang sebenarnya.

Ciri-cirinya antara lain: merasa paling benar, selalu menyalahkan pihak lain atau situasi, menolak dialog karena tidak memiliki keberanian emosional menghadapi perbedaan perspektif, berkonspirasi melawan pihak-pihak yang tidak mengikuti kemauannya. Ini membahayakan para stakeholder. Kalau orang tersebut pejabat publik, tinggi pula posisinya, maka perilaku tersebut dapat membahayakan jutaan umat manusia.

Dalam situasi ketika politik dan ekonomi sudah seperti dua sisi tim pendayung dalam satu perahu yang sama, pada akhirnya real politics juga merupakan peristiwa ekonomi, sederet transaksi bisnis. Pada perkembangannya, seorang presiden, contohnya Donald Trump, dengan seenaknya melakukan intervensi pribadi dalam perkara bisnis – contoh terakhir menyangkut deal Tik Tok.

Presiden Trump memperlihatkan dirinya tidak mampu membedakan kebenaran dan ilusi, terkena leadership blind spots. Di AS ia dianggap telah menyangkal science, tidak menggubris data dan fakta-fakta, berselingkuh dengan para diktator dan ekstrimis, mismanagement dalam mengatasi pandemi, dan menjauhi para talenta yang bekerja di lingkungannya. Bagi kalangan CEO dan para pemimpin usaha, Trump merupakan antithesis dari kepatutan seorang pemimpin. Menurut mereka, Trump telah gagal.

Apa ada di sekitar kita yang tega pada diri sendiri dan keturunannya dengan coba-coba meniru perilaku kepemimpinan Trump?

Mohamad Cholid adalah

  • Member of Global Coach Group (globalcoachgroup.com) & Head Coach di Next Stage Coaching.
  • Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching
  • Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment
  • Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman (mohamad-cholid) (coach/mcholid)
- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article