Catatan Bayu Krisnamurthi
Minggu 15 November 2020 menjadi hari yang bersejarah, hari disepakati selesainya perundingan kesepakatan 15 negara yang dikenal sebagai Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP). Ke 15 negara itu adalah 10 negara ASEAN (Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, Vietnam, Myanmar, Laos, Kamboja, dan Brunei) dan 5 negara mitra China, Korea, Jepang, Australia, dan New Zealand.
Ke 15 negara RCEP itu – ‘ASEAN plus 5’ – mencakup kekuatan ekonomi yang sangat besar: sekitar 40% dari penduduk dunia, 30% dari pendapatan domestik bruto (GDP) dunia, 30% nilai perdagangan dunia, dan 30% nilai investasi langsung (FDI) dunia. Orang dapat berargumentasi bahwa RCEP-15 itu sekarang menjadi kesepakatan kerjasama ekonomi terbesar di dunia. Nilai ekonominya akan lebih besar jika India yang sebelumnya terlibat dalam perundingan ‘RCEP ASEAN plus 6’ tidak mengundurkan diri dalam beberapa bulan terakhir.
Indonesia memegang peranan sentral dalam kesepakatan kerjasama ini. RCEP dicetuskan di KTT ASEAN tahun 2011 di Bali, ketika Indonesia memegang kepemimpinan ASEAN. Ketua perundingan RCEP juga dipegang oleh Dirjen Kerjasama Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Indonesia. Kepentingan Indonesia pun sangat jelas. ASEAN plus 5 itu adalah pasar dari sekitar 60% ekspor Indonesia, atau mencapai nilai antara USD 85 miliar sampai USD 100 miliar; dan 65% dari total impor Indonesia juga berasal dari wilayah tersebut.
Kesepakatan RCEP yang ditandatangani oleh para Menteri Perdagangan tentu masih membutuhkan proses ratifikasi perundang-undangan untuk bisa sepenuhnya berlaku. Namun, RCEP membuka peluang dan kesempatan yang sangat besar. Selain nilai perdagangan yang besar, kesepakatan RCEP membuka kesempatan investasi antar negara yang bersepakat. Hal perdagangan dan investasi yang telah disepakati untuk dimudahkan dalam RCEP adalah perdagangan barang, ketentuan asal barang, prosedur kepabeanan dan fasilitasi perdagangan, standar dan kesesuaian, SPS, pengamanan perdagangan, jasa, investasi, kekayaan intelektual, niaga elektronik (e-commerce), kerja sama ekonomi dan teknis, pengadaan barang pemerintah, penyelesaian sengketa, finansial, dan telekomunikasi.
Peluang dan kesempatan besar itu ibarat “pintu yang dibuka lebih lebar” – sebenarnya selama ini pintunya juga sudah terbuka, sekarang menjadi lebih lebar terbukanya – tergantung para wirausaha, perusahaan-perusahaan, eksportir, dan pemilik modal untuk memanfaatkan ‘pintu yang lebih terbuka’ itu. Pemerintah dapat membukakan pintu, tetapi pelaku usahalah yang harus melangkah memasukinya.
Yang pertama kali bersemangat tentu adalah mereka yang telah melakukan kegiatan bisnis di negara-negara yang bersepakat. Tapi mereka saja tidak cukup. Peluangnya terlalu besar untuk hanya diisi oleh pemain lama. Diperlukan pebisnis-pebisnis baru yang bersemangat, dan memiliki kemampuan untuk memanfaatkannya. Dan dalam format ekonomi dunia saat ini yang semakin diwarnai oleh ekonomi digital, ekonomi-berbagi (sharing economy), e-commerce, person-to-person atau peer-to-peer trade, hal ini juga berarti kesempatan terbuka untuk para usaha kecil, usaha pertanian, individu-individu kreatif dari pelosok manapun.
Kata kuncinya tetap daya saing. Meskipun ‘pintu telah dibuka lebih lebar’, pasar ke 15 negara itu adalah pasar yang kompetitif, pasar yang telah matang, dan pasar yang mampu menyeleksi produk dan jasa yang berkualitas dan bersaing. Tanpa adanya putra-putri Indonesia yang menjadi pebisnis internasional yang bersemangat dan kreatif serta produk dan jasa Indonesia yang berdaya saing maka kerja keras para perunding Indonesia yang luar biasa, hanya akan dimanfaatkan pelaku usaha negara lain, mengingat Indonesia adalah pasar terbesar kedua setelah China dalam RCEP.
Di sisi lain RCEP membuka kesempatan untuk kerjasama antar negara bagi penyelesaian berbagai permasalahan yang memang masih ada dalam ekonom Indonesia. Disamping kebutuhan PMA, transfer teknologi dan kerjasama teknis akan menjadi lebih mudah. Demikian juga dengan kerjasama pendidikan dan penelitian, kerjasama untuk mengatasi masalah kesehatan masyarakat dan menghadapi pandemi, meningkatkan ketahanan pangan dan gizi, dan berbagai kerjasama lain di masa yang akan datang.
Hal lain yang juga penting dikemukakan adalah bahwa RCEP merupakan kesepakatan ekonomi multilateral besar pertama yang disepakati dalam Abad 21. Menjadi semakin berarti setelah Trans Pacific Partnership (TPP) praktis telah ‘nyaris bubar’. Terselesaikannya RCEP telah mengirimkan sinyal harapan yang positif dalam pergaulan dunia. Multilateralisme memang masih sangat dibutuhkan untuk membuat hubungan ekonomi dan perdagangan dunia yang terbuka dan adil, dan dengan RCEP multilateralisme masih hidup dan bersemangat. Dunia yang tengah menghadapi ‘pandemi dobel resesi’ dengan Covid19 sangat membutuhkan harapan itu, bahwa perdagangan dan hubungan ekonomi global masih akan tetap berkembang.
Pintu 15 negara memang telah lebih terbuka lebar. Selamat dan terima kasih kepada tim perunding – para pahlawan diplomasi ekonomi – yang telah bekerja keras luar biasa selama sembilan tahun. Tetapi pekerjaan belum selesai. Kita harus bersiap menyambut para tamu yang akan datang, dan juga harus bersemangat memasuki negara lain. Semoga semua itu membawa manfaat bagi kesejahteraan rakyat Indonesia.