Minggu, November 24, 2024

Dangdut

Must read

Catatan Idrus F. Shahab

Hati serasa bersorak mendengar berdirinya sebuah kafe dangdut, Indonesian Dangdut Coffee House, di New York, pekan lalu. Ada kebanggaan, tatkala dangdut pelan-pelan jadi bagian dari negeri yang berpuluh tahun disebut-sebut sebagai kiblat industri musik pop itu.

Ada harapan tinggi ketika kedai ini juga diniatkan menjadi wahana forum diskusi untuk mempromosikan musik dangdut –juga kopi— Indonesia. 

Dangdut telah berjalan jauh. Tujuh belas tahun silam, majalah TEMPO mencatat fenomena menghebohkan tentang musik yang satu ini dari sebuah suasana, pada Februari 2003. 

Ya, kepedihan dan kegembiraan itu satu. Tentu tidak dalam artian dialektika di mana panas dan dingin, pahit dan manis, dipandang sebagai dua hal yang saling membutuhkan, saling mengisi. Tapi dalam goyang dangdut. Inul Daratista, waktu itu 23 tahun, menyanyikan lagu “Merana” karangan H. Ukat dengan senyum yang tak kunjung lepas dari bibirnya dan tubuh yang menggeliat lentur.

Lirik lagunya bercerita tentang penderitaan seorang gadis yang hatinya remuk ditinggalkan kekasih, tapi gerak panggung sang penyanyi memantulkan suasana hati yang renyah. 

Inul Daratista bukan spesialis lagu-lagu sedih, juga bukan diva yang piawai membawakan lagu-lagu dinamis. Baris pertama “Merana” terdiri atas beberapa nada yang dirangkai turun-tangga, dan melodi pada baris kedua hampir merupakan pengulangan jalinan nada-nada sebelumnya– dengan sedikit variasi.

Dalam video CD yang banyak beredar, tampaklah “Merana” sebuah lagu tanpa banyak tuntutan terhadap penyanyinya. Tapi bukan itu yang sesungguhnya penting. Inul meramu goyang, gitek, dan geol secara khusus. Tubuh bagian perut ke atas kerap diputar mengikuti arah angin siklon, sedangkan bagian perut ke bawah searah antisiklon. 

Erotisme dangdut memang mencemaskan pihak-pihak yang hendak melindungi masyarakat dari “kerusakan” moral. Tapi, dari waktu ke waktu, kita pun melihat, pintu toleransi tetap terbuka lebar. Kostum para penyanyi tetap memperlihatkan anatomi tubuh, dan goyang tetap erotis, tapi suara mengecam cuma terdengar sayup.

Para pemangku nilai-nilai ketimuran ribut mengecam penampilan tidak senonoh dalam rock ‘n’ roll yang berangkat dari erotisme boogie-woogie dengan ciri-ciri interlude 12 bar. Tapi itu tak ditembakkan ke arah dangdut. 

Inul, wanita kelahiran Pasuruan, tak terbendung. Bibir yang basah terkena lighting dan mata yang mengerling menjadi bagian yang sangat “hidup” manakala si superstar berdesah di antara dua ketukan. Permainan sinkopasi dilanjutkan dengan atraksi babak kedua: penyanyi membelakangi penonton tanpa menghentikan gerakan siklon-antisiklon.

Tepukan gendang menggila, seolah kacau, tapi bukan karena lepas kendali, melainkan mempermainkan ketertiban, bercanda dengan peraturan tentang irama. Begitu pula gerakan Inul Daratista seakan bergerak ke luar rel ritme, tapi sebenarnya bermain-main dengan gerakan-gerakan pinggul, perut, dan pundak. 

Dangdut adalah musik yang dicintai para produser rekaman, disukai pejabat, dan –tentu saja– disayangi masyarakat luas. Khusus menjelang pemilu, politikus sibuk menghafal lirik lagu-lagu dangdut populer di luar kepala. Dan masyarakat yang memang lebih bernafsu berjoget ketimbang mendengarkan pidato kampanye biasanya menyambut aksi di panggung dangdut dengan sukacita. 

Pengaruh asing meresap ke dalam dangdut, tapi musik ramuan Melayu Deli, orkes gambus, dan gendang India ini tetap diproklamasikan sebagai musik made in Indonesia.

Bagaimanapun kerasnya jazz, rock, ataupun klasik mengukuhkan diri sebagai musik universal, musik milik semua orang, status mereka tetap “barang impor”. Sebaliknya dangdut: sekalipun penjiplakan dari lagu asing (India dan Timur Tengah) merupakan bagian dari rutinitas dangdut, musik ini tetap dianggap sebagai milik kita. 

Seiring dengan perjalanan waktu, dangdut memang semakin disayang, mendapat perlakuan yang istimewa, tapi mungkin juga semakin manja. Pasar begitu terbuka, tapi kita semakin sering mendengar bahwa aktivis dangdut kerap menempuh jalan pintas. Dan apa boleh buat, ketika persaingan yang sangat ketat berlangsung, muncullah seniman dangdut macam Inul Daratista. Dia bisa Inul, Ina, Icha, atau Anu.

Musik tidak utama, karena yang paling penting adalah goyang. Tak ada yang patut disesalkan memang, kecuali macetnya kreativitas pada sebuah musik yang istimewa. Wajar, tapi memprihatinkan.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article