Laporan Untung Widyanto
Emil Salim sarankan minus karbon, agar tak terjadi neraka di dunia.
Profesor Emil Salim langsung menggebrak acara Indonesia Net-Zero Summit 2021 yang diadakan secara daring oleh Foreign Policy Community of Indonesia pada Selasa, 20 April 2021. Menteri Lingkungan Hidup yang pertama itu mengusulkan Indonesia menerapkan net-zero emission (NZE) yang negatif atau negative zero emission atau minus karbon.
Emil mengutip prediksi para ilmuwan yang menjelaskan bahwa jika tidak dilakukan upaya luar biasa saat ini untuk menurunkan emisi gas-gas rumah kaca (GRK) maka tahun 2050 suhu Bumi akan naik antara 1,5 hingga 3 derajat Celsius. Lalu pada tahun 2100 suhu Bumi bakal naik 4-8 derajat Celsius.
Berarti anak, cucu kita yang kini berusia 5 tahun saat itu berumur 80 tahunan akan menghadapi kenaikan suhu Bumi yang luar biasa.
“Mungkin ini neraka di dunia. Banyak makhluk hidup bakal mati. Tumbuhan dan hewan tak bisa bertahan, manusia tak punya kemampuan untuk melakukan substitusi alam dengan teknologi. Ini semacam kiamat di muka Bumi. Jadi zero dan negatif emisi pada saat ini merupakan keharusan,” kata Emil, mantan Menteri Lingkungan Hidup pada 1978 sampai 1993.
Menurut Emil Salim, Presiden Joko Widodo dan para pemimpin di dunia harus memutuskan target penurunan emisi jangka panjang. Putusan dari pilihan yang ada bakal berakibat fatal bagi penduduk yang hidup di masa depan.
“Jika salah mengambil keputusan, generasi 2050 akan menderita dan berhak meminta pertanggungjawab kita. Ilmu pengetahuan mesti dipakai untuk menerapkan kebijakan pertumbuhan emisi yang negatif.”
Emil mengingatkan bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang terkena dampak perubahan iklim yang mengerikan. Karena kita negara kepulauan dan berada di khatulistiwa.
Dia berharap Presiden Jokowi yang diundang oleh Presiden Joe Biden pada acara Leaders’ Summit on Climate (22- 23 April 2021) mesti memelopori perubahan pola berpikir bagi pimpinan partai politik, pengusaha dan masyarakat sipil di Tanah Air, serta pemimpin dunia.
Pernyataan Prof Emil Salim itu merespon paparan yang sebelumnya disampaikan Menteri PPN/ Kepala Bappenas, Suharso Monoarfa pada acara Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) bertajuk “Selamatkan Indonesia Emas 2045 dari Ancaman Darurat Iklim.”
Suharso, yang pengusaha dan politikus berdarah Gorontalo, ini memaparkan tentang Pembangunan Rendah Karbon (PRK) dan Net Zero Emission (NZE) menuju ekonomi hijau.
Suharso memaparkan dampak perubahan iklim berupa bencana hidrometeorologi dan lainnya serta aksi ketahanan iklim yang dilakukan pemerintah. Lalu transformasi ekonomi menuju ekonomi hijau dan rendah karbon pasca Covid-19.
Selain itu paparan tentang empat skenario NZE untuk tahun 2025, 2050, 2060 dan 2070 melalui PRK. Di dalamnya termasuk estimasi emisi GRK pada sektor energi dan lahan. Serta keuntungan ekonomi dari NZE melalui PRK.
“Empat skenario ini sudah kami kirim ke Presiden untuk dipilih,” ujar Suharso, yang tahun 1994 kuliah di EDP University of Michigan.
Pendiri dan Ketua FPCI, Dino Patti Djalal meminta Menteri Suharso untuk menyampaikan kepada Presiden Jokowi untuk memilih skenario NZE di tahun 2045 atau 2050.
“Kalau memilih tahun 2070 sudah terlambat, taruhannya sangat besar bagi bangsa,” kata Dino yang pernah menjadi Wakil Menteri Luar Negeri di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Pada sesi kedua Indonesia Net-Zero Summit 2021 membahas tentang bagaimana NZE 2050 direalisasikan.
Untuk sesi ketiga mendengarkan paparan Generasi Z yang diwakili oleh Susana (mahasiswi di Merauke), Syaharani (21 tahun, aktivis Jeda Iklim), Melati Wisjen (20 thn, Bali), Gusti Ramadhan (Youth Act Kalimantan), Salsabila (17 thn, Jaga Rimba, Jakarta), Nur Anisa Puteri (17 tahun, Kalsel), dan Chloe Ramadhyana (13 thn, Jakarta).
Pada sesi terakhir dibacakan pernyataan sikap oleh Dino Patti Djalal dan Adhityani Putri (Dhitri), Direktur Eksekutif Yayasan Indonesia Cerah.
Mereka berpandangan bahwa jangka waktu untuk mencapai net zero yang paling tepat adalah 2050 dan bahkan 2045. Dengan perhelatan Indonesia Net Zero Summit ini, ujar Dino, kami berharap konsep net zero dapat menjadi suatu jargon publik dan politik yang merakyat.
“Sudah waktunya kita mengusung nasionalisme iklim (climate nationalism), yaitu di mana kecintaan dan kebanggaan kita terhadap bangsa Indonesia bersatu padu dengan perjuangan kita yang gigih untuk mencegah ancaman perubahan iklim terhadap masa depan Indonesia.”
Pada 24 Maret 2021, Kementrian Lingkunan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menggelar konsultasi publik untuk dokumen bertajuk Long-term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience 2050 (LTS-LCCR 2050) atau Strategi Jangka Panjang Penurunan Emisi Karbon dan Ketahanan Iklim 2050.
Ada paparan dari pejabat eselon dari tujuh kementrian, yang memberikan masukan. Yaitu Kementrian Perindustrian, Kementrian Kelautan dan Perikanan, Kementrian Kesehatan, Kementrian Perhubungan, Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral, Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, dan Kementrian Pertanian. Anehnya, tidak ada masukan dari pejabat Bappenas dalam acara itu.
Pada saat membuka konsultasi publik, Menteri LHK Siti Nurbaya Bahar menyebut Indonesia diproyeksikan mencapai net-zero emissions atau nol emisi pada 2070.
“Kita memproyeksikan Indonesia dengan skenario ambisius dan diproyeksikan mencapai net-zero emission pada 2070,” ujar Siti Nurbaya yang tahun 1998 lulus dari International Institute for Aerospace Survey and Earth Science (ITC), Enschede, Belanda.
Pernyataan Menteri Siti Nurbaya mendapat respon dari Menteri Koordinator Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan. “Indonesia harus dapat mencapai net-zero emission di tahun 2050,” kata Luhut pada rapat dengan Menteri ESDM Arifin Tasrif, Dirjen EBTKE, Dirjen Ketenagalistrikan ESDM, Wakil Direktur Utama PLN Darmawan Prasojo, Direktur Mega Proyek PLN Ikhsan Saad, Ketua METI Surya Darma, dan Ketua-ketua Asosiasi Energi Terbarukan, pada 12 April 2021.
“Bahkan kami minta di daerah tertentu sudah bisa mencapai net-zero emission pada tahun 2045, bersamaan dengan Indonesia Emas, seperti di Bali,” ujar Luhut, pensiunan jenderal bintang tiga dan mantan Duta Besar Indonesia untuk Singapura.
Dino Patti Djalal ditanya wartawan tentang adanya perbedaan target antara pejabat. Dia kecewa dengan sikap Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
“Seharusnya badan yang menangani perubahan iklim adalah yang paling berani dan ngotot. Bukan badan yang paling konservatif. NZE di tahun 2070 itu pandangan yang konservatif, tidak sesuai dengan pandangan global. Tiongkok saja sanggup. Ini menyangkut masa depan bangsa ke depan. Kenapa masa depan harus ditetapkan oleh sekelompok birokrat yang tidak sesuai dengan cita-cita masa depan Indonesia. KLHK harus mendengarkan aspirasi anak-anak muda,” kata Dino Patti Djalal, yang pernah menjadi Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat.
Untung Widyanto, dari Indonesia Net-Zero Summit, 20 April 2021