Oleh Dr Jannus TH Siahaan
Pemerintah telah resmi menggolongkan kelompok kriminal bersenjata (KKB) atau Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) serta para pendukungnya sebagai teroris.
Untuk menindaklanjuti itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD langsung meminta Polri dan TNI segera menindak OPM. Menurutnya, aparat perlu segera bertindak lantaran OPM semakin brutal di Bumi Cendrawasih.
Memang keputusan pemerintah ini mendapat kritik dari sejumlah pihak. Kebijakan tersebut dianggap berlebihan dan berpotensi meningkatkan eskalasi konflik.
Selain itu, label teroris dianggap bisa menjadi legitimasi aparat untuk bertindak sewenang-wenang. Misalnya menurut Tim Kajian tentang Papua dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cahyo Pamungkas, yang mengatakan bahwa pemerintah mengambil langkah yang tak bijaksana dalam penyelesaian konflik di Papua. Menurutnya, cap KBB teroris merupakan skenario perang dari pemerintah.
Cahyo berpendapat cap teroris kepada OPM tak tepat lantaran kelompok tersebut tengah memperjuangkan kemerdekaan Papua. Menurutnya, label teroris tersebut justru mereduksi realitas perjuangan masyarakat di akar rumput. Cahyo mengatakan KKB atau OPM berbeda dengan teroris. Kekerasan yang mereka lakukan, katanya, memang tak bisa dibenarkan. Namun pemberian label teroris juga tak bisa diiyakan begitu saja.
Menurutnya, jika memang pemerintah mencap KKB sebagai kelompok teroris karena tindak kekerasan yang mereka lakukan selama ini, faktanya aparat Polri dan TNI juga melakukan hal serupa di Papua.
Dalam konteks inilah dilemanya sebenarnya. Selama ini, isu HAM menghantui setiap gerak-gerik militer Indonesia. Padahal jika berkaca pada sejarah dan aturan yang ada, Indonesia memiliki wewenang penuh untuk menyelesaikan persoalan OPM, baik secara jalur diplomasi maupun jalur militer, karena kategorinya dalam perspektif hukum Indonesia adalah separatisme.
Bahkan sejak Ketua United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) Benny Wenda, tanggal 1 Desember 2020, mengumumkan pembentukan Pemerintah Sementara Papua Barat, pemerintah sebenarnya sudah memiliki legitimasi politik untuk menunjukkan ketegasan soal langkah strategis apa yang harus diambil, karena pernyataan Ketua ULMWP tersebut sudah masuk kategori separatisme eksplisit.
Tapi sejarah aksi polisional dan militer pemerintah selama ini yang akrab dengan pelanggaran HAM di mata komunitas NGO nasional maupun global, membuat opsi tindakan yang tersisa menjadi sangat terbatas.
Akhirnya isu separatisme hanya menjadi isu kriminal, yang wewenangnya lebih banyak ada di kepolisian, bukan di pihak militer, bahkan bukan isu separatisme yang jelas-jelas telah mengancam keutuhan NKRI. Begitu juga dengan peningkatan status KKB menjadi kelompok teroris, yang sebenarnya domainnya lebih banyak ada di kepolisian ketimbang di pihak militer(TNI).
Kita tentu mahfum,bahwa sedari awal,sejarah Papua memang tak mulus.Penentuan status Papua Barat antara Indonesia dan Belanda sudah menjadi problema sejak lama, tepatnya setelah putusan Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 1949, dan terus berlarut-larut bahkan hingga terjadi pergantian rezim di tanah air.
Ketika Soeharto mengambilalih kekuasaan dari Sukarno dan menjabat sebagai Presiden RI ke-2 sejak 12 Maret 1967, ia langsung dihadapkan dengan persoalan ekonomi Indonesia yang merosot. Tak seperti Bung Karno yang cenderung antimodal asing, Pak Harto lebih pragmatis. Soeharto justru memandang modal asing adalah jalan keluar untuk mengurai carut-marutnya perekonomian Indonesia kala itu. Salah satu peluang yang paling terbuka adalah Papua yang sudah dilirik oleh Freeport, institusi bisnis Amerika Serikat.
Sebenarnya tuntutan pengulangan referendum bertentangan dengan prinsip utama dalam hukum internasional dan Piagam PBB yaitu territorial integrity dan uti possidetis yuris, yakni, pertama,pelaksanaan self determination di Papua melalui Pepera tahun 1969 telah sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional dan Piagam PBB.
Kedua, masyarakat Papua telah melakukan self determination, oleh karena itu status Papua sekarang adalah bagian NKRI. Tuntutan-tuntutan untuk melakukan pengulangan referendum bertentangan dengan hukum internasional dengan pertimbangan bahwa prinsip self determination dalam konteks dekolonisasi hanya dapat dilakukan satu kali dan tidak bisa berulang ulang.
Jadi rakyat Papua tidak bisa lagi menuntut referendum karena bukan lagi dalam konteks kolonialisme atau non governing territory.
Masyarakat Papua juga tidak memiliki dasar untuk menuntut pengulangan referendum berdasarkan pelanggaran HAM atau pelanggaran hak politik, ekonomi dan sosial mereka karena Indonesia telah memberikan hak-hak dasar tersebut, khususnya dengan memberikan Otonomi Khusus melalui UU No.21 Tahun 2001 yang memberikan kewenangan penuh bagi Papua dan Papua Barat untuk mengelola secara langsung kedua wilayah tersebut.
Resolusi Majelis Umum PBB 2524 (XXIV) yang mensahkan PEPERA 1969 merupakan keputusan final dari PBB dan tidak bisa dipertentangkan lagi untuk mengubah Resolusi tersebut.
Keputusan tersebut diterima secara mayoritas oleh anggota PBB. Dan dalam sejarah perkembangan PBB sejak berdiri sampai sekarang, belum pernah terjadi suatu Resolusi Majelis Umum PBB yang telah diputuskan dan disahkan, kemudian diubah atau dipertimbangkan kembali.
Jadi sebenarnya penetapan status teroris adalah langkah yang sangat minimal yang ditempuh pemerintah, karena memperlakukan kelompok separatis hanya sebatas pelaku kriminal tingkat tinggi, padahal tujuan aksinya sebenarnya bukanlah untuk membuat teror, tapi justru untuk memisahkan diri dari Indonesia.
Penetapan status teroris hanya menjadi “call for action” untuk menindak dan mengurangi aksi terror, bukan untuk membendung tuntutan pemisahan dari NKRI atau mengantisipasi ancaman persatuan dan kesatuan NKRI.
Dengan kata lain, bagaimanapun pemerintah harus tegas menentukan sikap apakah ingin menyelesaikan urusan separatisme atau hanya sekedar menangkap pelaku teror.
Dari berbagai sikap, keputusan, dan aksi dari OPM, jelas-jelas yang mereka tuntut adalah pemisahan diri dari Indonesia alias ingin merdeka dari Indonesia. Jadi itu bukanlah aksi kriminal secara hukum, tapi sebuah ancaman pemberontakan yang berisiko disintegrasi bagi kesatuan dan persatuan Indonesia.
Artinya, pemerintah boleh saja menetapkan status terorisme, tapi tujuannya harus jelas apakah ingin menumpas pemberontak yang ingin memisahkan diri dari Indonesia atau sekedar menghukum perilaku kriminal dari kelompok OPM.
Dari sejarah panjang hubungan Jakarta dan Papua, tentu persoalannya sudah sangat jelas sedari dulu, yakni separatisme. Jadi pemerintah harus menjelaskan kondisi ini secara gamblang kepada publik Indonesia dan dunia bahwa urusan Papua adalah urusan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan separatisme, agar Indonesia mendapat dukungan penuh untuk menyikapinya secara proporsional layaknya menangani pemberontakan separatis di belahan dunia lainnya.
Doa terbaik bagi kesejahteraan dan kedamaian warga bangsaku di Papua, dan kiranya konflik setempat bisa segera diselesaikan secara tuntas.
Dr Jannus TH Siahaan
Pengamat Pertahanan dan Keamanan