Jumat, November 15, 2024

China blues, Franz, dan popcorn brain

Must read

#SeninCoaching:

#Lead for good: Contentment, not happiness without meaning

Mohamad Cholid, Practicing Certified Executive and Leadership Coach

“Bunga cinta mekar ibarat lidah api. Getaran musim semi dikenang sampai akhir hayat nanti…..”

Itu penggalan lirik sebuah lagu yang menandai kebangkitan kembali musik pop versi Shanghai. Dinyanyikan oleh dua pekerja pabrik pemintalan kapas di sebuah pojok aula, pada satu Sabtu malam, tahun 1984. Diimbangi gitar dan sitar di tangan masing-masing, serta dua gelas jus di meja.

Musik pop Shanghai boleh dibilang seperti campur-sari, gairah lokal kadang dilantunkan seperti blues. Sebagai kota pelabuhan penting sejak ratusan tahun silam, Shanghai adalah pusat pergumulan ekspresi budaya dari pelbagai bangsa.

Pada awal 1980-an, kedua pekerja pabrik pemintalan kapas tersebut dan ribuan musisi lain dari semua genre — tradisional, klasik Barat, pop – mendapatkan kemerdekaan kembali setelah 10 tahun lebih sebelumnya kegiatan seni, termasuk musik, di seluruh China dibungkam dan dikendalikan oleh Gerakan Revolusi Kebudayaan, Wen hua da geming.

Saat itu pertunjukan yang dibolehkan hanya opera atau musik “revolusioner”, sesuai selera Gang of Four (sebutan untuk Jiang Qing, mantan artis istri Mao Zedong, dan tiga motor Revolusi Kebudayaan, yang sesungguhnya chaos ideologi, mimpi buruk peradaban China). Setelah Gang of Four ditumpas, seiring reformasi yang diinisiasi Deng Xiaoping, ekspresi seni diberi kebebasan.

Getaran akhir musim semi tahun 2021 ini di Shanghai tentu tidak lagi dilantunkan dalam irama blues. Pemintalan kapas sudah sekian tahun silam diganti dengan pabrik-pabrik tekstil berteknologi canggih, computerized.

Mobil-mobil paling mewah di dunia juga sudah lama leluasa melintasi simpang susun lima di perempatan penting. Pameran seni rupanya bahkan bisa menyaingi Museum of Modern Art di New York. Jaringan kereta bawah tanah melayani penumpang ke delapan penjuru angin. Sebagian dari Anda juga sudah merasakannya, kan?

Tapi, di kota penting dunia ini, salah satu pusat puncak-puncak prestasi dan hedonisme yang tetap ramai orang dalam suasana pandemi, bisa saja kita ketemu Franz – namanya boleh diganti Wu, atau Charles, juga Sudono. Franz di sini adalah tokoh minor dalam The Unbearable Lightness of Being (1984), salah satu novel Milan Kundera.

Franz merupakan contoh manusia yang dalam upayanya menerjemahkan dan menginterpretasikan gambaran dunia, telah membiarkan diri  terbelenggu oleh bias-bias pikirannya sendiri. Maunya bertindak heroik, memperlihatkan maskulinitas. Untuk itu Franz menampik menjadi otentik, tulus, dalam menghadapi eksistensi dirinya.

Dengan anggapan dapat melakukan tindakan yang memberinya makna, Franz memilih kegiatan superficial political activism, ke Kamboja ikut protes melebarnya Perang Vietnam. Pada akhirnya adalah obliterasi, kemusnahan identitas diri. Ia meninggal secara bodoh di Bangkok.

Takdir semacam itu mungkin menunggu bisa siapa saja, manusia yang menjalani hidup dengan menolak menjadi otentik, tulus, dalam engagement dan interaksi dengan sesama manusia — tentu dengan sejumlah pergulatan emosional yang menyertainya.

Mendapati realitas diri yang ternyata masih perlu pengembangan, kesadaran yang tentunya mulia, memang bisa terasa pedih, maka banyak orang denial, ngeles – lalu lebih memilih ilusi berkepanjangan. 

Di Shanghai, mungkin juga di Jakarta dan kota-kota lainnya, manusia seperti Franz hari ini masih bermunculan. Senang terjebak oleh bias pikiran masing-masing, mereka biasanya selalu berupaya menampilkan diri heroik, tampil bravado, termasuk merasa selalu benar, paling berjasa pada tiap proyek, mengumbar khayalan.

Selain itu, mereka, yang mungkin punya hubungan dekat dengan kita, juga ternyata diindikasikan terkena wabah popcorn brain. Akibat dalam kehidupan sehari-hari mereka membiarkan diri dihujani secara konstan informasi, stimulan elektronik, dari gadget masing-masing. Mereka seperti bahagia, tapi tanpa makna.

Stimulan yang terus menerus berkelebat di layar gawai, kalau dilayani tanpa kendali diri, mendorong otak “popping” – kata para peneliti, satu di antaranya Profesor David Levy, University of Washington.

Lebih jauh dari itu, sebagaimana kata Clifford Nass, psikolog sosial dari Stanford University, “Sejumlah studi memperlihatkan, multitasking di internet dapat menyebabkan Anda lupa bagaimana memahami emosi manusia.”

Bayangkan Anda memimpin tim, apalagi mengepalai satu divisi, atau direktur organisasi dengan ribuan karyawan, tapi masih sering tergoda pada stimulan elektronik, kilasan informasi terus-terusan di layar gawai, apa yang bakal dihadapi? Bukankah satu dari sederet tugas pemimpin termasuk mampu mengidentifikasi emosi manusia, meningkatkan kualitas interaksi antar personal?

Ini skill yang dapat dikembangkan dan sepatutnya tidak kita biarkan melemah akibat badai distraksi.

Dalam perjalanan hidup yang kita tidak tahu kapan akan berakhir, rasanya setiap hari akan lebih bermakna, kualitas engagement kita dengan para stakeholder meningkat, kalau kita mampu membebaskan diri dari bias-bias pemikiran sendiri dan lepas dari ancaman popcorn brain.

Mungkin kita bisa belajar dari dua pemusik karyawan pabrik pemintalan kapas di Shanghai itu. Dalam keterbatasan teknis, tapi tulus, genuine menyenandungkan kemerdekaan, China blues mereka terasa indah.

Mohamad Cholid is a Member of Global Coach Group (globalcoachgroup.com) & Head Coach at Next Stage Coaching.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article