Sebagai negara merdeka, dalam pergaulan internasional Indonesia sejak dulu dikenal sebagai bangsa yang ramah, toleransi terjaga, berbudaya luhur dan disegani banyak negara lain lintas benua. Inilah identitas yang mestinya dijaga sebagai jatidiri bangsa yang membanggakan.
Namun, sejak jagad digital Indonesia disesaki 202 juta warga netizen yang riuh, pengguna internet di Indonesia justru mendapat penilaian sebagai negara tidak sopan. Berdasarkan survei Microsoft 2020, netizen Indonesia bukan hanya tidak menjaga tatakrama netiked, tatakrama berinternet, dan (parahnya) rangking nomor satu sebagai negara dengan netizen paling tidak sopan se-Asia Tenggara.
”Jelas, ini bukan cuma memalukan, tapi butuh kerja kolaboratif semua pelaku dan pengguna dunia digital untuk memulihkan.” Keprihatinan ini disampaikan Muhammad Adnan, konten kreator senior saat tampil dalam Webinar Literasi Digital yang digelar Kementerian Kominfo dan Debindo untuk warga Kabupaten Grobogan – Jawa Tengah, 9 Juni lalu.
Padahal, lanjut Adnan, Indonesia sejak dulu kaya ragam budaya yang memesona. Topeng-topeng dan tarian tradisi yang cantik, juga kegiatan budaya yang cantik untuk diolah menjadi bahan konten positif yang mestinya membanjiri dunia digital dari pelaku yang cerdas dan berselera seni istimewa.
Tetapi, jutaan warganet kita justru berlomba memproduksi hoaks. Berita tanpa rechek dan saling menebar kebencian sesama warga netizen. Bahkan, banyak warganet Indonesia gampang mengumpat dan memaki. Ini memang sungguh tidak sopan.
”Padahal, pranata dunia maya sebenarnya sama saja dengan dunia nyata. Ada sopan santun dan tatakrama sosialnya,” papar Adnan dalam webinar yang mengusung tema ”Masyarakat yang Berkebudayaan Melalui Literasi Digital”. Webinar berlangsung semarak, diikuti 388 peserta, mulai dari pelajar, guru dan pengusaha, juga aktivis kepemudaan seantero Kabupaten Grobogan.
Mengapa netizen Indonesia begitu jelek citranya di mata netizen dunia?
Berjubelnya netizen di jagad digital Indonesia, mengutip amatan konsultan safety digital dari Kaizen Room, Ismita Saputri, bukan hanya tidak mempraktikkan netiked. Netizen Indonesia kebanyakan belum memahami lima aspek tangkas berinternet yang meliputi kemampuan Cerdas, Cermat, Tangguh, Bijak dan Berani.
”Kalau mau sharing, biasakan saring dan checking sumbernya dulu. Cuma, kebanyakan justru abaikan dan rame-rame jadi produsen berita bohong tanpa pembanding sumber lain,” ujar Ismita, dengan nada geram.
Tetapi, menarik juga dicermati fenomena Siskamling Netizen, di mana banyak netizen Indonesia masih peduli dan melakukan patroli konten-konten negatif dan melaporkan konten negatif ke Kominfo yang kemudian banyak direspon lanjut.
”Semoga langkah terobosan siskamling ini bisa memperbaiki citra ndak sopan agar citra bangsa kembali disegani sebagai bangsa yang berperadaban adiluhung,” harap Muh. Mustafed, pengajar Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta, pembicara lain yang juga tampil dalam acara yang dimoderatori Bella Ashari itu.
Sementara itu, Joko Priyono, fasilitator diskusi literasi Jawa Tengah, menyebut bahwa kunci untuk bisa meraih nilai positif warga netizen dunia, yakni harus bisa mempertahankan tradisi budaya lama dan bisa mengambil serta menyaring informasi baru yang baik. ”Hal itu bisa disinergikan kalau para produsen dan penikmat konten memahami literasi digital yang bernilai positif,” kata Joko.
Namun, yang terjadi saat ini adalah paradoks. Revolusi digital yang mestinya membantu meningkatkan penggunaan nalar berpikir, justru malah realitas ketidaknalaran yang melahirkan banyak ujaran kebencian dan berita bohong melalui ruang-ruang baru dunia digital.
”Itu bukan semata ketidakbernalaran, tapi tidak adanya budaya etika dalam merespons informasi. Selalu ingin buru-buru berbagi konten yang belum jelas kebenarannya,” tegas Joko Priyono.