Banjir informasi di masa pandemi mengajak warga digital untuk lebih waspada. Sebab, salah memilah informasi bisa menimbulkan kepanikan dan ketakutan dalam menghadapi pandemi.
Hal tersebut masuk dalam tema diskusi literasi digital yang ditujukan untuk masyarakat Kabupaten Blora, Jawa Tengah, dengan mengangkat tema ”Infodemik Pemetaan Komunikasi Publik terkait Covid-19 Melalui Transformasi Digital”, Rabu (30/6/2021). Literasi digital merupakan program nasional yang diluncurkan pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informasi untuk mewujudkan masyarakat yang cakap menggunakan teknologi digital.
Materi seputar literasi digital disuguhkan oleh sejumlah narasumber: Rifqi Fairuz (dosen IAIN Salatiga), Yonathan Dri Handarkho (Kaprodi magister informatika UAJ), Monica Sri Yuliarti (dosen Universitas Sebelas Maret), dan Nuralita A. Safitri (Kaizen Room). Kegiatan dipandu oleh entertainer Triwi Dyatmoko serta hadir juga key opinion leader Cindy A. Endge yang juga seorang konten kreator.
Menyinggung seputar infodemik, Monica Sri Yuliarti, mengutip dari WHO bahwa saat ini masyarakat selain harus waspada dengan kondisi pandemi juga harus waspada dengan infodemik atau informasi yang melimpah. Membanjirnya informasi membuat masyarakat sulit memastikan mana informasi benar dan mana yang hoaks.
“Komunikasi publik menjadi penting untuk menyeimbangkan infodemik. Salah satunya pada kondisi saat ini bisa dilihat dari komunikasi pemerintah kepada masyarakat tentang informasi sebaran kasus Covid-19 dengan menyediakan platform informasi yang dapat diakses semua masyarakat,” ujar Monica.
Sedangkan bicara tentang digital culture yang menjadi salah satu pilar literasi digital, Monica menjelaskan adanya tiga bentuk budaya yaitu praktik, produk, dan perspektif. Penerapannya dalam literasi digital serta dalam konteks infodemik adalah bagaimana dalam berkomunikasi di media digital tetap berpegang pada nilai Pancasila.
“Kondisi geografis Indonesia memiliki budaya yang beragam, jadi dalam bermedia sosial kita perlu mengamalkan nilai Pancasila. Kita pegang Pancasila dan mewujudkannya dalam bentuk kata, video atau visualnya. Kita upayakan berkomunikasi dengan mengangkat nilai Pancasila,” imbuh Monica.
Membludaknya informasi di dunia maya menuntut para penghuninya mampu menganalisis informasi dengan baik dan menyebarkan informasi dengan bijak.
Widiasmorojati menyebut, informasi di media sosial memiliki snowball effect yang bisa menyebar dengan cepat dan tidak terkendali. Penyebaran informasi itu bisa berdampak positif juga negatif tergantung para penggunanya.
Sebab, pengguna media digital di Indonesia cenderung menilai kualitas informasi bukan berdasarkan isi tetapi siapa yang menyampaikan informasi. Akibatnya popularitas informasi, ikatan emosional, dan aspek kedekatan dengan sumber pemberi informasi membuat orang lebih percaya info yang diterima. Padahal info tersebut belum tentu kebenarannya.
“Untuk menangkal risiko negatif yang mungkin terjadi dalam menyebarkan informasi kita perlu introspeksi, apakah kita yakin info yang didapat itu pasti kebenarannya? Di sini kita bisa menilai kualitas informasi, jika meragukan mungkin perlu ditanyakan kepada orang yang lebih paham dengan topik tersebut.”
“Kemudian, jika disebar, apakah informasi yang didapat akan berdampak buruk pada orang lain atau berpengaruh pada jejak digital kita. Hal ini yang perlu kita lakukan sebelum memutuskan membagikan informasi,” pungkas Asmorojati.