#SeninCoaching:
#Lead for Good: Beware of narrative fallacy
Mohamad Cholid, Practicing Certified Executive and Leadership Coach
“Soalnya bukan pesimistis atau optimistis, melainkan bagaimana kita menjaga momentum pertumbuhan itu dengan kebijakan yang tepat.” – Muhamad Chatib Basri.
Kalimat penutup tulisan Chatib Basri Keluar dari Resesi (Kompas, 11 Agustus 2021) tersebut sepatutnya mengusik kita semua. Paparannya terkait dengan kabar yang menyemangati dari Badan Pusat Statistik (BPS), ekonomi Indonesia tumbuh 7,07 persen di triwulan II-2021 (y on y). Tulisan itu juga memberikan insight penting, didukung hasil penelitian, cerita fakta-faka yang terjadi di masyarakat, serta pilihan perubahan kebijakan pemerintah.
Ada pertanyaan krusial yang diajukan Chatib Basri (Menteri Keuangan 2013 – 2014), “Apakah lompatan pertumbuhan ini berkelanjutan?” Menurut dia, ada satu variabel yang tidak bisa diprediksi sepenuhnya: pandemi.
Angka-angka statistik menurut perspektif BPS — juga data Office Chief Economic Bank Mandiri tentang indeks belanja – selama ini bisa kita andalkan. Proyeksi Dana Moneter Internasional (IMF) juga merupakan sumber penting untuk melakukan interpretasi ulang setiap peristiwa ekonomi dan sosial, serta kebijakan publik yang mengiringinya.
Problem muncul bukan dari informasinya, apalagi jika datanya merupakan produk dari badan dan institusi yang kredibel. Tapi persoalan timbul justru di diri kita sendiri saat meresponnya. Dalam situasi dilanda ketidakpastian, ada baiknya kita selalu mewaspadai diri sendiri untuk, utamanya, tidak terjebak ke dalam narrative fallacy.
Ahli statistik dan mantan pialang pasar uang Nassim Nicholas Taleb mempopulerkan istilah ini di satu bukunya, The Black Swan (2007). Kecenderungan hanya fokus pada rentetan kejadian yang menonjol, melupakan pelbagai kemungkinan lain yang tidak terjadi, penalaran kita pun tertutup tabir. Dalam lingkup behavioral finance, narrative fallacy adalah satu bentuk keterbatasan dalam mengevaluasi informasi secara obyektif.
Dengan kata lain, biasakanlah untuk tidak mudah silau oleh kecermalangan analisis para pakar dan data meyakinkan hasil olahan lembaga-lembaga hebat, termasuk bahkan dari IMF (International Monetary Fund) sekalipun.
Buku Has Asia Lost It? Dynamic Past, Turbulent Future (2021) ditulis Vasuki Shastry, tentang cerita kenyataan sehari-hari dilengkapi analisis yang jeli serta tambahan wawasan, dapat kita jadikan salah satu rujukan untuk mengetahui keterbatasan lembaga-lembaga kredibel dan para pakar hebat dalam menerjemahkan problem ekonomi dan sosial. Kesenjangan sosial, hipokrisi para pejabat, beban yang tak tertanggungkan akibat wabah, telah membuat sejumlah negara Asia, termasuk Indonesia, perlu melakukan sejumlah koreksi dalam berpolitik, mengelola ekonomi, dan public health.
Sekiranya kita terbuka untuk menafsirkan ulang profil ekonomi dan politik nasional saat ini dari perspektif yang lebih bervariasi, utamanya terkait dengan kepentingan “menjaga momentum pertumbuhan” sembari mengatasi pandemi, bisa jadi ada sejumlah variabel lain – mungkin juga pertanyaan — yang layak kita perhitungkan. Utamanya bagi kalangan eksekutif, leaders, dan para pengambil kebijakan di lingkungan bisnis, korporasi, sektor publik, dan bahkan nonprofit, perlu selalu memaknai kembali setiap narasi yang kita hadapi dengan perspektif alternatif, apalagi di saat volatile seperti sekarang.
Apakah selama ini kita konsisten selalu mengecek ulang setiap asumsi, kesimpulan, dan perencanaan yang sudah dibuat? Apakah kita sudah terbiasa waspada, bahwa “data” dan “fakta” serta proyeksi yang terbaca dan terekam dalam benak tidak selalu mencerminkan realitas sebenarnya?
Proses pengambilan keputusan dalam upaya berpartisipasi “menjaga momentum pertumbuhan” perlu selalu diolah ulang dan dikerjakan secara cermat. Sebagai bagian mewaspadai diri sendiri dalam memasuki hari esok, kita perlu juga mengingat, ternyata selain pandemi ada juga variabel lain yang (sesungguhnya) juga tidak bisa diprediksi sepenuhnya, yaitu politik dan ekonomi.
Daniel Kahneman, peraih Nobel 2002 bidang Behavioral Economic, mengingatkan urusan tersebut dengan menuliskan “the illusions of pundits”. Dari risetnya dan mengutip hasil eksplorasi selama 20 tahun yang dikerjakan Psikolog Philip Tetlock, University of Pennsylvania, Daniel Kahneman mendapati kenyataan bahwa prediksi para pakar hanya lebih baik sedikit dibanding kerjaan non-specialists.
Bedanya, para experts cenderung menolak disebut melakukan kekhilafan saat prediksi mereka meleset; kalaupun mengakui keteledoran tersebut, biasanya disertai sederet excuses. Kesalahan prediksi para pakar (political scientist, economists, dst.nya) tidak dapat dielakkan. Karena dunia memang unpredictable, katanya (Thinking, Fast and Slow, 2011).
Sekarang perihal momentum. Menjaga momentum pertumbuhan ekonomi di tengah pandemi sepertinya mustahil dikerjakan oleh satu dua pihak saja, tapi memerlukan kolaborasi semua pemangku kepentingan, yaitu penentu kebijakan (utamanya di bidang fiskal dan kesehatan), regulator, BUMN, sektor swasta, LSM, dan para juru wabah (epidemiologist).
Bukankah kita umumnya sudah juga mengetahui, agar momentum bisa terbentuk dan terjaga memerlukan konsistensi, mental endurance, tindakan-tindakan yang terukur secara berkesinambungan? Hal itu perlu partisipasi aktif semua pihak. Sampai hari ini belum terdengar kabar transparan tentang kolaborasi efektif dari para pemangku kepentingan tersebut.
Kolaborasi semua pemangku kepentingan penting. Lebih dari itu, barangkali perlu juga melakukan adjustment model matematika yang selama ini kita pakai dalam mendeteksi pelbagai events yang bakal terjadi dan yang diperkirakan tidak muncul. Saat ini para juru wabah memiliki model matematika sendiri, yang bisa berbeda dengan model matematika para economic pundits, berbeda pula dengan metode pendekatan pejabat publik.
Mungkin di antara Anda ingat, krisis finansial 2008 tidak ada yang memprediksi sebelumnya, termasuk kalangan ekonom hebat dan Federal Reserve AS. Menurut hasil evaluasi di kemudian hari, diketahui bahwa peristiwa tersebut akibat para penentu kebijakan menggunakan model matematika lama untuk diandalkan dalam melakukan interpretasi realitas baru yang sudah jauh berbeda.
Selain perlu kolaborasi efektif para pemangku kepentingan dan kemungkinan memperbaiki model matematika, satu hal yang juga penting adalah perubahan perilaku kepemimpinan.
Para pengambil keputusan sebelum mengeluarkan kebijakan (policy) baru sesungguhnya memerlukan tiga kebajikan (virtues) yang selalu patut dikerjakan day in day out: berani melihat realitas apa adanya dari perspektif baru (yang bisa saja sangat tidak nyaman); rendah hati dalam membangun kolaborasi efektif di antara pemangku kepentingan; dan disiplin follow up mengukur dan mengevaluasi setiap langkah.
Apakah para eksekutif, leaders, di sektor publik, bisnis, bahkan di kalangan organisasi nonprofit sudah siap atau terlatih untuk melakukannya?
Mohamad Cholid is Member of Global Coach Group (www.globalcoachgroup.com).
- Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching
- Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment (GLA 360)
- Certified Global Coach Group Coach & Leadership Assessment.
Alumnus The International Academy for Leadership, Germany.
Books: https://play.google.com/store/search?q=senincoaching&c=books