Salah satu prinsip electoral integrity adalah transparansi dan akuntabilitas yang dapat memanfaatkan teknologi untuk mencapai dan meningkatkan integritas pemilu. Namun, teknologi hanya sebagai “alat” untuk mencapai tujuan pemilu, salah satunya untuk menciptakan pemilu yang berkualitas dan berintegritas.
“Tidak ada teknologi yang ideal dan terbaik, yang ada adalah penggunaan teknologi pemilu yang sesuai dengan kebutuhan,” ujar Ahmad Sholihul, Guru SMK Walisongo, saat menjadi narasumber webinar literasi digital yang digelar Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk masyarakat Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, Jumat (23/7/2021).
Dia mencontohkan penyelenggaraan pemilu di beberapa negara seperti Brazil, Kenya, Jerman, Belanda, Prancis, justru memunculkan gelombang protes terkait dengan proses pemungutan, penghitungan, dan rekapitulasi suara secara digital. Akhirnya pemungutan suara diputuskan kembali ke sistem manual karena penggunaan e-voting bertentangan dengan prinsip kerahasiaan pemilih.
Menurut Sholihul, berbagai wacana pemanfaatan teknologi pemilu harus berlandaskan jawaban terhadap persoalan dan konteks kebutuhan. Pertanyaanya, apakah ada permasalahan dalam pemungutan suara, penghitungan suara dan rekapitulasi suara di Indonesia?
Pemilihan elektronik sering dilihat sebagai alat untuk membuat proses pemilu lebih efisien dan meningkatkan kepercayaan pada penyelenggaranya. Apabila dilaksanakan tepat, e-voting dapat meningkatkan keamanan surat suara, mempercepat pengolahan hasil dan membuat pemilihan lebih mudah.
“Tantangannya, jika tidak direncanakan dan dirancang dengan cermat, e-voting dapat merusak kepercayaan keseluruhan proses pemilu,” tandasnya.
Narasumber lainnya pada webinar bertema Suara Demokrasi dari Ranah Digital kali ini, Arfian (Dosen dan Konsultan SDM), mengatakan teknologi digital mempengaruhi proses demokrasi. Mobilisasi politik, strategi kampanye, polarisasi opini publik, hingga perangkat dan saluran tata kelola pemerintahan pun berubah.
Dari hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) periode 2019-kuartal II/2020, jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 196,7 juta jiwa. Jumlah ini meningkat 23,5 juta atau 8,9 persen dibandingkan 2018.
Menurut dia, demokrasi digital membuat akses informasi semakin merata sehingga setiap orang dapat memperoleh informasi yang sama. Elite-elite politik yang berkepentingan memobilisasi massa melalui kampanye di jejaring media sosial.
Melihat banyaknya penduduk Indonesia yang berpartisipasi dalam bermedia sosial, maka demokrasi digital memiliki sejumlah manfaat. Kemenangan politisi akan sangat ditentukan dengan kemenangannya merebut simpati netizen, bahkan dari netizen yang tidak memiliki hak pilih sekalipun.
Dipandu moderator Thommy Rumahorbo, webinar juga menghadirkan narasumber Yonathan Dri Handarkhom (Kaprodi Magister Informatika S-2 Universitas Atma Jaya Yogyakarta), Abd Halim (Dosen Prodi PAI FIT IAIN Surakarta dan Redaktur Islam Santun.org) dan Shafinaz Nachiar (News Anchor RCTI) sebagai key opinion leader. (*)