Potret pendidikan di Indonesia masih belum sempurna, namun dengan transformasi digital diharapkan dapat mengubah tatanan pendidikan menjadi lebih bermutu. Hal itu menjadi tema pembahasan dalam webinar literasi digital yang diselenggarakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk warga Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, Jumat (13/8/2021).
Kegiatan diskusi tersebut merupakan bagian dari program nasional literasi digital yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo pada Mei 2021. Melalui program yang dilaksanakan secara serentak itu pemerintah menanamkan empat pilar literasi digital: digital culture, digital ethics, digital skill, dan digital safety, kepada masyarakat Indonesia. Diharapkan, masyarakat dapat meningkatkan kecakapan penggunaan dan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK).
Kegiatan yang dipandu oleh Bunga Cinka (tv journalist) itu diisi oleh empat pemateri: Fikria Najitama (dosen IAINU Kebumen), Ahmad Sururi (dosen Universitas Serang Raya), Agus Salim Chamidi (dosen IAINU Kebumen), dan Annisa Choiriya Muftada (social media communication). Tidak hanya itu, Oka Fahreza (tv presenter) juga turut hadir sebagai key opinion leader.
Dalam paparannya, Ahmad Sururi menjabarkan, sebelum sampai di era transformasi, peradaban dunia telah mengalami digitasi dan digitalisasi terlebih dahulu. Jika digitasi adalah proses perubahan dari bentuk analog ke bentuk digital, sementara digitalisasi merupakan proses perubahan dari cara konvensional menjadi proses digital. Sedangkan transformasi merupakan proses yang melibatkan sumber daya melalui pemanfaatan teknologi digital yang menjadi pengalaman baru dan nilai baru.
Singkatnya, kalau di lini pendidikan metode pembelajaran saat ini telah mengalami perubahan dari pertemuan tatap muka menjadi tatap muka secara daring. Sedangkan bahan ajar pun tidak lagi didikte, tetapi sudah memanfaatkan teknologi untuk menyampaikan materi.
Sementara itu, dalam konteks digital skill, pengguna atau masyarakat digital perlu memiliki sepuluh kecakapan digital dalam menggunakan dan memanfaatkan platform media digital dan internet. Bagaimana kita bisa mengakses perangkat digital yang bermanfaat untuk kebutuhan pendidikan. Misalnya mengakses sumber artikel legal melalui perpustakaan nasional atau aplikasi yang bisa menjadi sarana pembelajaran seperti Rumah Guru atau website Rumah Belajar.
“Setelah mampu mengakses, kita harus mampu menyeleksi, memahami, dan menganalisis informasi yang ada di internet. Peserta didik memiliki kemampuan untuk mencari tahu berbagai sumber, memahami isinya, dan menganalisis kompleksitas informasi, juga berpikir kritis dan analitis dalam menyelesaikan masalah,” jelas Sururi kepada 300-an peserta diskusi.
Peserta didik juga perlu memiliki kemampuan memverifikasi dan mengevaluasi dengan cara berkomunikasi, berkolaborasi, serta berpikir kritis dan kreatif. Peserta didik diharapkan mampu memiliki cara berpikir kritis dalam menemukan pemecahan masalah dan mengambil keputusan. Dalam prosesnya, peserta didik dapat berkolaborasi dan bekerja dalam sebuah tim dengan merujuk pada keterampilan berdasarkan literasi informasi, kemampuan TIK, dan kemampuan bekerja melalui social digital.
“Pada partisipasi dan kolaborasi aspek pendidikan di era digital, pendidik dan peserta didik dapat berpartisipasi dan berkolaborasi membagikan materi melalui platform media digital, berbagi materi pembelajaran yang mendidik dan menghibur misalnya upload tugas dengan memanfaatkan media sosial. Pada grup percakapan, mampu menghindari topik yang membahas isu negatif dan menghindari kalimat yang vulgar selama berinteraksi dan berkomunikasi di ruang digital,” terang Sururi.
Masih menurut Ahmad Sururi, transformasi digital dalam proses pembelajaran dapat memberikan dampak yang positif. Model pembelajaran berbasis sosial kolaboratif dan suportif dapat mendorong peserta didik untuk mencari tahu, bukan diberitahu, mampu merumuskan masalah dan bukan hanya menyelesaikan masalah. Peserta didorong untuk berpikir analitis dan mampu mengambil keputusan, juga menekankan kerja sama dan kolaborasi dalam menyelesaikan masalah.
“Artinya, peserta didik di era transformasi belajar menjadi pusat proses pembelajaran dan transformasi digital memberikan ruang kepada peserta didik untuk memilih informasi sesuai kebutuhan pembelajaran,” tutupnya.
Dari perspektif keamanan digital dalam pendidikan di era transformasi digital, Fikria Najitama menambahkan, guru dan orangtua punya peran dalam memberikan pemahaman bagaimana bermedia digital dengan aman dan nyaman. Setidaknya ada beberapa aspek keamanan yang harus dipahami oleh warga digital, khususnya generasi muda yang saat ini sudah mendominasi penggunaan gadget.
Data pribadi sebagai pengguna platform digital mesti dipahami betul cara pengamanannya. Yakni dengan memasang kata kunci menggunakan karakter beragam. Paham aturan privasi, berhati-hati dalam mengunggah data pribadi, menghindari berbagi data kepada orang lain.
Sebab, data yang kita unggah dapat mengantarkan pendekatan pada kejahatan digital yang disalahgunakan oleh orang lain. Memahami benar gawai dan platform yang digunakan, melakukan pembaruan sistem perangkat, dan waspada pada komunikasi mencurigakan.
“Keamanan digital menjaga kita agar tidak terlibat dalam jenis kejahatan digital yang cukup banyak jenisnya. Hal ini berkaitan juga dengan rekam jejak digital yang kita tinggalkan saat beraktivitas di dunia digital. Rekam jejak digital sangat kejam karena merupakan jejak yang mencitrakan diri penggunanya,” jelas Fikria.
Menjaga rekam jejak digital agar tetap positif dapat diusahakan dengan melakukan pembatasan dalam mengunggah dan menyebar informasi. Jika bukan sesuatu yang penting, lebih baik tidak diunggah. Kita perlu tahu dengan siapa kita berbagi, menggunakan prinsip thinking before posting atau berpikir dulu sebelum membuat konten, berkomentar, atau menyebarkan informasi. Sebab, apa yang sudah diunggah di ruang digital itu akan permanen.
“Bicara keamanan digital bagi anak, mereka perlu supervisi dari orang yang lebih dewasa. Sebab usia-usia muda masih memiliki emosi yang kurang stabil, sehingga mudah berkomentar dan terpengaruh dengan apa yang ada di lingkungan digitalnya. Jangan sampai karena lingkungan digital yang tidak baik, anak sampai terlibat pada hal yang negatif seperti perundungan, ujaran kebencian, dan hoaks,” imbuhnya.
Maka agar aman dalam bermedia digital, setiap pengguna harus memahami digital citizen identity, mampu membangun identitas yang sehat secara digital. Bisa mengatur waktu penggunaan gadget, paham untuk tidak terlibat dalam perundungan siber, paham keamanan siber dengan memasang password yang kuat untuk melindungi akun.
“Berikutnya, dapat menangani info pribadi yang dibagi secara online. Mampu berpikir kritis, bisa membedakan mana hal baik dan buruk, mana informasi benar dan mana hoaks dengan check dan recheck informasi. Juga, paham konsekuensi digital footprint, serta mampu membangun digital empathy di ruang digital,” ujar Fikria, menutup diskusi. (*)