Media sosial sebagai sarana meningkatkan demokrasi dan toleransi mendapat tantangan berat dengan masih maraknya sebaran berita bohong atau hoaks. “Produksi dan sebaran berita hoaks marak karena seringkali dipicu oleh dorongan untuk memanipulasi emosi pengguna media sosial,” kata Ahmad Husain Fauzan dari Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) saat menjadi pembicara webinar literasi digital bertema “Media Sosial sebagai Sarana Meningkatkan Demokrasi dan Toleransi” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, Selasa (26/10/2021).
Dalam webinar yang diikuti 300-an peserta itu, Husain mengatakan di era digital ini jempol kita adalah masa depan demokrasi. Menyangkut fenomena hoaks, kata Husain, sebenarnya dari kajian tingkat niat atau motivasi pengguna untuk berbagi berita palsu secara mayoritas itu rendah.
“Mereka yang terlibat menyebarkan berita palsu secara umum lebih bersifat aksidental ketimbang intensional,” kata dia. Jadi penyebaran hoaks itu lebih didorong oleh emosional ketimbang rasional. Ditambah pengguna internet rentan dimanipulasi.
Hampir seperti rumor di dunia nyata, hoaks menarik minat karena nilai hiburan, kebaruan dan lain sebagainya. Tetapi kecepatan penyebaran secara online dengan strategi dan teknologi seperti automated social media bots membuat hoaks itu lebih berdampak luas.
“Jadi kekuatan hoaks dengan dukungan internet itu yang memicu viralitas akibat masifnya share, follower dan kecepatan tanpa tandingan serta jumlah massa yang percaya,” kata dia.
Ahmad membeberkan, aspek demokrasi dan kewarganegaraan kita dalam mensikapi hoaks bisa dilihat dari sudut pandang aspek digital anarchy. Bahwa di ruang digital, semua orang merasa sederajat dalam pengetahuan dan otoritas.
“Padahal argumen yang sehat mensyaratkan kejujuran dan niat luhur, kedekatan fisik membangun kepercayaan dan saling pemahaman,” kata dia. Namun semua itu pupus akibat jarak dan anonimitas yang telah menghilangkan kesabaran dan presumption of good.
“Kita akhirnya kalah akibat kecepatan akses digital dan kemampuan untuk bicara tanpa mendengar, itu semua yang membunuh percakapan demokratis,” kata dia.
Ahmad membeberkan di sisi lain internet telah memperluas partisipasi dan memberdayakan masyarakat secara lebih luas dan memungkinkan tokoh-tokoh di luar lingkaran kemapanan terpilih sebagai pemimpin.
“Liberasi dan anti kemapanan yang dijanjikan oleh internet juga bisa menjadi kendaraan untuk demokrasi yang memanipulasi emosi warga,” kata dia.
Narasumber lain webinar itu, Dosen UII Yogyakarta Maisaroh mengatakan ada beragam cara mengamankan media sosial agar pengguna dapat aman tak hanya dari pembobolan data pribadi melainkan juga paparan hoaks dari akun-akun tak bertanggungjawab.
“Misalnya dengan pengaturan password yang kuat, gunakan autentifikasi dua faktor, atur hak akses akun dan waspadai email yang mencurigakan,” kata dia.
Maisaroh mengatakan perlunya keluar dari web WhatsApp saat perangkat terhubung dengan perangkat lain.
“Jangan lupa aktifkan kunci layar dan cek pengaturan privasi, lalu hapus akun yang tidak dikenal dalam daftar pertemanan serta cabut akses ke aplikasi pihak ketiga yang mencurigakan,” kata dia.
Webinar itu juga menghadirkan narasumber dosen UGM Mustaghfiroh Rahayu, CEO Jaring Pasar Nusantara M. Achadi, dan dimoderatori Tommy Rumahorbo serta Mujab MS selaku key opinion leader.