#SeninCoaching:
#Lead for Good: Beware of Pharaoh syndrome
Mohamad Cholid, Practicing Certified Executive and Leadership Coach
Fir’aun menginstruksikan Haman membuat bangunan tinggi terbuat dari tanah liat yang dibakar (semacam batu bata), agar dirinya bisa naik ke puncaknya untuk melihat Tuhan yang disembah Nabi Musa (QS Al-Qasas [28]: 38).
Rupanya Fir’aun risau. Sebagai penguasa yang selama ini menganggap dirinya harus selalu dipatuhi bak tuhan, nyatanya ia manusia biasa, yang perlu bantuan banyak manusia lain untuk membangun simbol-simbol kepemimpinannya. Sebagaimana diriwayatkan, Tuhan memerintahkan Musa menasihati Fir’aun agar sadar, tidak ugal-ugalan dalam memerintah.
Merasa terintimidasi, Fir’aun melawan. Ia pun mengejar Nabi Musa sampai ke Laut Merah dan tenggelam, sia-sia. Tuhan Pemilik Alam Semesta mengizinkan jasad Fir’aun ditemukan dan di kemudian hari disimpan di museum, untuk mengingatkan manusia sampai akhir zaman, bahwa perilaku kepemimpinan seperti Fir’aun lebih banyak menimbulkan mudarat.
Sekitar 200 tahun silam, ketika para ahli tentang Mesir Kuno berhasil menafsirkan hieroglyphs, Haman dalam cerita diatas adalah seorang pejabat tinggi setingkat menteri pembangunan Fir’aun (Rameses II).
Para Pharaoh atau penguasa Mesir mendirikan kuil-kuil, menara, sebagai pengabdian kepada dewa-dewa dan membangun Piramid untuk kuburan mereka, sekaligus berupaya tetap menghidupkan keinginan menjadi dewa atau dituhankan di kehidupan berikutnya.
Piramid bagi para penguasa Mesir waktu itu merupakan proyek besar jangka panjang. Fir’aun, lebih dari sekadar nama, sesungguhnya dapat juga dimaknai sebagai predikat penguasa, potret jiwa yang limbung, senang memuja benda-benda, proyek-proyek besar, dan simbol kesementaraan di dunia lainnya, termasuk diri dan kekuasaannya, sebagai tuhan mereka.
Kita pun bisa mempertanyakan, saat Fir’aun menitahkan Haman membuat bangunan yang menjulang ke arah langit tersebut, ia didorong oleh kebutuhan atau keinginan, keangkuhannya?
Pertanyaan ini penting.
Pertama, karena di kemudian hari umumnya orang menganggap Piramid dan bangunan spektakuler lainnya, seperti Tembok Besar China, sebagai bagian peradaban manusia. Sebenarnya adab yang mana, kalau untuk membangunnya menimbulkan penderitaan berpuluh tahun bagi umat manusia, utamanya para pekerja dan keluarga mereka?
Kedua, pada Abad 21 ini ada sejumlah proyek besar dipaksakan pembangunannya. Bahkan tidak menggubris saran para ahli di bidangnya yang menyatakan proyek tidak layak, dapat membebani keuangan negara, dan rakyat pun belum tentu memperoleh manfaat.
Perilaku kefir’aun-fir’aunan ini, angkuh, menampik perspektif baru, memaksakan kehendak, maunya selalu unggul di semua hal, kalau perlu mengorbankan kepentingan publik, mewabah di kalangan penguasa di pelbagai wilayah, di setiap zaman.
Ciri-cirinya antara lain memanfaatkan kekuatan tentara dan polisi lebih untuk menjaga kekuasaan, termasuk mempertahankan proyek-proyek besar yang benefitnya hanya untuk para kroni; bukan untuk merawat kehidupan bersama.
Kecenderungan melawan keseimbangan tatanan Pencipta Alam Semesta, mengedepankan ego dan menepiskan para pemangku kepentingan yang lebih luas, indikasinya juga menjangkiti para eksekutif di organisasi bisnis, sampai hari ini — di level manapun.
Para “Fir’aun amatiran” ini ada di pelbagai belahan dunia, di BUMN, swasta, di korporasi maupun di lingkungan start up, utamanya yang mengalami guncangan budaya mendadak tumbuh besar disuntik dana segar investor.
Tandanya, antara lain, bos sangat mengutamakan kemewahan pribadi, bepergian selalu naik maskapai penerbangan termahal, sehari-hari menaiki mobil paling mewah di zamannya, tapi kondisi di tempat kerja pegawai hanya memenuhi standar minimal kesehatan, dan karyawan digaji sebatas upah minimum regional. Konflik internal dipelihara untuk memperlihatkan bos, sebagai penengah, akan selalu unggul.
Di belakang hari di antara mereka ketahuan pula merekayasa laporan keuangan dan menghindari bayar pajak. Bahkan ada direksi sebuah korporasi besar yang profitnya turun, minta tantiem lebih. Kalau di depan publik banyak tertawa, senang dapat tepuk tangan karena dipersepsikan sukses.
Apakah Anda masih yakin orang-orang yang tersandera sindrom Fir’aun — seolah-olah unggul, tapi hidup di atas buih simbol-simbol – tersebut, dapat dipercaya?
Mereka mengaku beragama, tapi sesungguhnya apakah mereka sudah mengenal Tuhan? Mereka yakin, kondisi pasar, perubahan tatanan masyarakat, kegalauan tim, bahkan regulasi sebagai tantangan yang harus diatasi. Padahal diri mereka sendiri, utamanya perilaku kepemimpinan mereka, yang sepantasnya disetel ulang dulu, semacam perlu reboot the system.
Untuk bebas dari ancaman sindrom Fir’aun, demi kepemimpinan yang lebih efektif, membangun kesejahteraan bersama dengan para stakeholder, siapkah Anda memposisikan diri dalam “beta mode”? Fokus pada progres, mengharamkan diri merasa sempurna. Kesalahan fundamental Fir’aun adalah karena menganggap dirinya sempurna.
Nasihat Peter Drucker tetap relevan, “Our mission in life should be to make a positive difference, not to prove how smart or right we are.”
Mohamad Cholid is Member of Global Coach Group (www.globalcoachgroup.com) &Head Coach at Next Stage Coaching.
- Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching
- Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment (GLA 360)
- Certified Global Coach Group Coach & Leadership Assessment.
Alumnus The International Academy for Leadership, Germany.
Books: https://play.google.com/store/search?q=senincoaching&c=books
(http://id.linkedin.com/in/mohamad-cholid-694b1528
Please contact Ibu Nella + 62 85280538449 for consultancy schedule