Senin, November 25, 2024

AKHLAK sudah diwujudkan secara ber-akhlaq?

Must read

#SeninCoaching:

#Lead for Good: Make up your leadership behaviour first

Mohamad Cholid, Practicing Certified Executive and Leadership Coach

Sampai hari ini rasanya masyarakat Jepang yang cenderung mengelola kemasan dengan dedikasi tinggi, lebih dari bangsa lainnya. Proses rancangan dan eksekusi karya-karya kemasan mereka nyaris seperti ritual pemujaan. Sebagaimana kita lihat, kemasan produk-produk mereka – dari kebutuhan rumah tangga, kuliner, sampai cookies – umumnya tampil sangat menawan.

Desain kemasan pada pelbagai produk (nyaris) selalu memperhatikan detil, seperti ingin mengatakan kepada dunia, inilah hasil sublimasi budaya, filsafat, perilaku, dan ekspresi manusia Jepang, dari generasi-generasi berbeda.

Mengingat kemasan yang decent, berkeadaban, demikian penting untuk meneguhkan eksistensi, sebagai justifikasi keberadaan setiap wujud sementara dalam tatanan budaya, para eksekutif di Jepang juga merasa harus “mengemas diri”. Mereka butuh tampil memikat dalam setiap interaksi.

Dalam 18 bulan terakhir, sebagaimana dilaporkan Yuki Masuda di Nikkei, 12 November, kalangan pebisnis usia 30-an tahun dan yang lebih senior, mulai pada mendatangi salon keelokan khusus lelaki.

Takumi Tezuka, CEO Ikemen Seisakusho, sebuah beauty salon pria berbasis di Tokyo, menceritakan, ketika mulai usaha pada 2018 tamu-tamunya kebanyakan remaja dan pemuda usia 20-an yang menggemari fashion dan mau mencontoh idola mereka di blantika pop. Belakangan, orang-orang yang lebih senior, utamanya di dunia bisnis, mulai berdatangan juga.

Pemicu mereka menjalani “new normal” ini adalah online meeting di tengah pandemi. Mereka ingin tampil lebih apik dan lebih genah di layar. Sesuai rekomendasi istri atau pacar mereka, pergi ke salon jadi pilihan utama. Kata Tezuka, sekarang lebih banyak pelanggan datang ke salon kami untuk make up agar merasa lebih positif tentang diri mereka sebelum presentasi-presentasi penting.

Saat perusahaan-perusahaan Jepang mulai menata ulang sistem senioritas dalam menentukan posisi, makin banyak lelaki di usia paruh baya pada meningkatkan business skills mereka dan, belakangan ini, sekaligus mengeluarkan investasi tambahan pula untuk mengemas diri lebih baik.

Kalangan eksekutif pria di negara-negara lain sebenarnya bukannya belum menyadari pentingnya kemasan diri tersebut, namun masih terbatas pada kalangan tertentu, plus para tokoh publik, dan belum secara terang-terangan dengan intensitas seperti di Jepang belakangan ini.

Mengemas diri menjadi “sadar tampil”, dengan intensitas bervariasi sesuai jenis kegiatan sehari-hari dalam habitat masing-masing, sesungguhnya lumrah saja. Umumnya kita melakukannya, kan?

Persoalan timbul ketika penampilan fisik, tampak luar, dipuja melebihi hal lain yang lebih utama, seperti kecerdasan, empati, budaya kerja, etika sosial, perilaku kepemimpinan, dan spiritualitas. Maka tidak mengherankan jika dalam kehidupan sehari-hari, di arena publik, di mal, bandara, kita lihat banyak orang menjadi “seragam”, saling bermiripan satu dengan lainnya. Barangkali apakah itu yang dapat disebut “fashion zombies”? Umumnya manusia cenderung merasa eksis kalau belong to … (yang nampak fisik).

Persoalan menjadi makin serius ketika gejala pemujaan pada kemasan – dan biasanya juga slogan – yang saling bermiripan menjangkiti organisasi.

Kita dapat melihat banyak kata-kata gagah, mulia, bertebaran di aula, ruang rapat, lobi, koridor di kantor-kantor (perusahaan, institusi pemerintah, lembaga nonprofit), di brosur, dan di website mereka. Misalnya, menjaga integritas, berdedikasi, berkompeten, menghormati pelanggan, dst.nya.

Kenyataannya, dalam interaksi antar karyawan, dengan pelanggan, dan saat menghadapi publik serta para pemangku kepentingan lainnya, sering kita dapati mereka gagap mewujudkan kata-kata mulia di kantor dan website mereka. Kata-kata yang diniatkan sebagai core value organisasi tersebut kehilangan makna; tidak terwujud sepenuhnya dalam tindakan nyata sehari-hari, menurut persepsi pelanggan dan pemangku kepentingan.

Terkait pasokan listrik, misalnya, yang masih saja mendadak off alias tidak bersetrum tanpa aba-aba. Sementara itu saat pelanggan terlambat bayar dikenai denda.

Contoh lain adalah perilaku sejumlah bank penyalur kredit untuk UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) di Indonesia, yang masih ngotot minta slip gaji pihak yang mengajukan kredit. Calon nasabah bukan karyawan lembaga apa pun, tentu tidak punya gaji tetap, tapi sungguh-sungguh mau membangun usaha (bahkan bersedia mengagunkan rumah), kenapa mereka hambat?

Perilaku kepemimpinan bank semacam ini apa tidak bisa dianggap melakukan pembangkangan terhadap program pemerintah untuk membantu usaha kecil?

Semua itu memperlihatkan, kata-kata hebat yang mereka rajut dan mereka pampangkan di lobi kantor, di brosur, dan di website mereka terbukti hanya make up penampilan. Ibarat para remaja yang suka meniru penampilan idola mereka lalu pergi ke salon memoles diri.

Tentu timbul pertanyaan, bukankah kalau di lingkungan BUMN sejak Juli 2020 memiliki nilai dasar atau core values AKHLAK, akronim dari Amanah, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif, dan Kolaboratif?

Niat baik pemegang saham (pemerintah) jelas: BUMN diharap memiliki sifat dapat menjaga kepercayaan (amanah), mengeksekusi program dan kegiatan secara bagus (kompeten), saling menguatkan (harmonis), menjunjung tinggi kepentingan bangsa & negara di atas kepentingan perusahaan (loyal), terbiasa menyesuaikan diri dengan perkembangan (adaptif), dan mengutamakan gotong royong dalam beraktivitas (kolaboratif).

Dalam kasus bank-bank yang menafsirkan secara sepihak program KUR, sehingga menghambat rencana pemerintah, bukankah mereka bisa digolongkan tidak amanah, belum kompeten, dan tidak loyal (tidak menghormati kepentingan bangsa dan negara)?

Kalau tenaga listrik kita anggap punya nilai strategis, sensitif, kenapa penyalurannya ke publik masih sering melukai hati rakyat? Coba bayangkan realitas hidup ibu-ibu yang masih menyusui balita mereka dan harus kerja di luar rumah, lantas menyimpan perasan ASI mereka di lemari es, apa yang terjadi kalau listrik mati berkepanjangan?

Silakan Anda menilai.

Kelihatannya perlu proses pendakian mental dan keberanian emosional yang lebih terprogram agar core value AHKLAK dapat diwujudkan secara lebih ber-akhlaq, berlandaskan virtues (kebajikan moral, etika) dalam kepemimpinan, dari level junior manager sampai CEO. Supaya AKHLAK bukan sekadar jadi slogan memoles penampilan.

Para stakeholder setiap institusi juga perlu dilibatkan dalam menilai keberhasilan mereka menerapkan secara konsisten core value tersebut – utamanya setiap berinteraksi dengan publik. Penilaian sepantasnya bukan sekadar dikerjakan untuk menghadapi kejuaraan penerapan AKHLAK. Karena para pemangku kepentingan yang terkena impact perilaku kepemimpinan di setiap organisasi.

Ini untuk menghindari “pembenaran secara sepihak” atas diri mereka, sebagaimana yang dapat kita lihat di pelbagai organisasi, termasuk bahkan di lingkungan lembaga nonprofit.

Misalnya, values yang dijadikan slogan mereka adalah “menjunjung tinggi kemanusiaan”, tapi kepemimpinan para eksekutifnya memperlakukan manusia lain tidak manusiawi.

Merasa bertugas membawa misi Tuhan untuk memuliakan manusia, dalam perilaku sehari-hari mereka ternyata memandang rendah orang lain. “They love the theory of humanity. They treat human beings like dirt,” kata Marshall Goldsmith, #1 Executive Coach di dunia, dalam suatu sesi tukar pikiran tentang leadership dengan President World Bank ke-12 Dr. Jim Yong Kim. “The glaring discrepancy between this love of humanity and this disdain for normal humans is just very mind-boggling.” Keduanya membantu memperbaiki sejumlah organisasi nonprofit di pelbagai negara.

Perilaku kepemimpinan para eksekutif yang menyimpang, tidak selaras dengan core value di organisasi mereka, terjadi di pelbagai sektor kegiatan di belahan dunia mana pun. Core values, misi, dan komitmen yang mereka yakini sesungguhnya baru merupakan langkah awal. Kegagapan membangun budaya baru berdasarkan core value, juga bukanlah keburukan – sepanjang tidak disembunyikan di balik make up atau polesan (antara lain lewat public relations).

Siapa saja selalu punya peluang menjadi lebih baik. Siapa pun kita, di posisi mana pun dalam suatu institusi, di masyarakat, bisa melakukan perubahan, memberikan positive impact kepada para pemangku kepentingan, jika siap menghadapi realitas apa adanya hari ini – menurut feedback para stakeholder, bukan berdasarkan pembenaran sepihak. Supaya core value yang kita yakini terwujud dalam keseharian. “The first and maybe most important step you take in actually being a better leader,” kata Dr. Jim Kim. 

Para eksekutif senior di Jepang, sesuai tantangan hari ini, pada meningkatkan business skills – diantaranya leadership – sebelum memoles penampilan. Substance dan style seimbang.

Mohamad Cholid is Member of Global Coach Group (www.globalcoachgroup.com) &Head Coach at Next Stage Coaching.

  • Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching
  • Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment (GLA 360)
  • Certified Global Coach Group Coach & Leadership Assessment.   

Alumnus The International Academy for Leadership, Germany.

Books: https://play.google.com/store/search?q=senincoaching&c=books

(http://id.linkedin.com/in/mohamad-cholid-694b1528

Please contact Ibu Nella + 62 85280538449 for consultancy schedule

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article