#SeninCoaching:
#Lead for Good: Nonviolent Communication, please
Mohamad Cholid, Practicing Certified Executive and Leadership Coach.
“…kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga…
ada yang jaya, ada yang terhina…………..
ada yang berlimpah, ada yang terkuras…”
– W.S. Rendra, Sajak Pertemuan Mahasiswa, 1977.
Hari-hari ini kita diingatkan untuk menyimak dengan perspektif baru bahwa siang berseberangan dengan malam. Barangkali seperti perbedaan antara keinginan (want) dengan kebutuhan (need), yang keduanya seperti terus tarik-menarik sesuai kepentingan masing-masing — itu semua berlangsung dalam realitas kita sehari-hari.
Proses dan hasilnya akan seperti apa, tergantung pada bagaimana kita mengelolanya, apakah berdasarkan keseimbangan pijakan pemikiran, kearifan dan kebijakan, atau sembarangan saja, misalnya mengandalkan kekuatan fisik, sehingga menimbulkan chaos.
Kasus di Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah, plus sejumlah ketegangan dan kericuhan lain dalam format dan skala berbeda (di level nasional misalnya kecemasan terkait kepindahan ibukota negara), memicu ingatan pada kata-kata Penyair Rendra, “… kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga…”
Saat “maksud baik” (pemilik proyek, penguasa) berlaga di suatu front menghadapi “maksud baik” dari pihak berbeda (publik yang merasa terdepak, tidak digubris sebagai pemangku kepentingan), sesungguhnya itu ujian kepemimpinan para pihak yang tengah berada pada posisi eksekutif, di setiap level dan di jawatan apa pun.
Kondisi tersebut mencemaskan, bisa merusak sistem dan tatanan sosial, jika tidak segera ditangani secara seksama. Akibat perilaku kepemimpinan sejumlah orang yang menerjemahkan dengan gegabah titah (keinginan) atasan mereka, terjadi interaksi negatif antara yang tengah memerintah (punya hak menggunakan gada) dengan rakyat yang hanya bermodal perasaan marah, galau, dalam keterdesakan mereka.
Apakah itu cara memimpin berkeadaban? Kata Sri Sultan Hamengkubuwono X dalam suatu wawancara dengan seorang wartawan senior Xinhua, China, di Yogya suatu hari, “Tidak ada rakyat, tidak ada pemimpin.” Barangkali karena punya sikap sama, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo meminta maaf secara terbuka kepada warga Wadas.