#SeninCoaching:
#Lead for Good: Accepting impermanence is a rational way
Mohamad Cholid, Practicing Certified Executive and Leadership Coach
“Carpe diem, quam minimum credula postero.” – Horace, The Odes of Horace.
Terjemahan bebasnya: “Rengkuhlah hari ini sepenuhnya, tak perlu risau hari esok.” Penggalan puisi Horace atau Quintus Horatius Flaccus (lahir Desember 65 Sebelum Masehi, meninggal November 27 SM) tersebut mengingatkan spirit Kepada Kawan, puisi Penyair Chairil Anwar: “Sebelum ajal mendekat dan mengkhianat, mencengkam dari belakang tika kita tidak melihat, selama masih menggelombang dalam dada darah serta rasa ….Isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan, Tembus jelajah dunia ini dan balikkan ….”
Apakah Chairil Anwar saat menulis Kepada Kawan terinspirasi oleh Horace, kita tidak tahu. Bisa saja itu gagasan Chairil Anwar sendiri, hasil perenungan penjelajahannya mengarungi hidup. Sebab, tradisi yang mewajibkan kita memaknai setiap momen dalam hidup, menghargai setiap helaan nafas, juga sudah diperkenalkan berabad-abad sebelumnya dalam Budhism, “Setiap momen bernilai.”
Ketika Buddha Gautama mengatakan, “Setiap tarikan nafasku melahirkan diriku yang baru”, ia tidak sedang bermetamorfosa. Ia menyatakan apa yang dia maksudkan. Buddha mengajarkan, hidup merupakan progresi konstan momen-momen yang berbeda dalam proses reinkarnasi, dari Anda sebelumnya menjadi Anda yang sekarang. Setiap saat Anda melakukan pilihan tindakan, bisa saja melahirkan rasa senang, bahagia, bisa juga mengakibatkan sedih, atau rasa cemas. Ini dialami oleh Anda saat itu. Pada setiap tarikan nafas berikutnya, semua efek tersebut bisa berubah, bisa pula lenyap.
Betapa pentingnya mengoptimalkan setiap momen dan peluang yang dipinjamkan Tuhan kepada kita, dalam tradisi Islam antara lain diingatkan bahwa masa lalu tidak memberi peluang dapat kita setel ulang dan itu terserah Allah Subhanahu wa ta’ala mau memberikan penilaian seperti apa. Masa depan juga belum (tentu) dapat kita jalani. Kita hanya punya pinjaman waktu sekarang.
Agar terlatih memiliki sikap dan perilaku efektif menghargai setiap momen dalam hidup, ada sejumlah doa diajarkan Rasulullah Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam untuk diucapkan dan dihayati, satu penggalan di antaranya: “Ya Allah, jadikanlah kehidupan ini mempunyai nilai tambah bagiku dalam segala kebaikan dan jadikanlah kematianku sebagai berakhirnya segala keburukan.” (HR. Muslim no. 2720).
Dengan kata lain, kalau setiap momen yang kita jalani tidak dikelola secara efektif untuk membuahkan manfaat, berkontribusi positif bagi organisasi dan masyarakat luas, apa dong alasan untuk melanjutkan hidup atau meneruskan jabatan.
Sederhana, tapi sangat fundamental, utamanya bagi orang-orang yang tengah dalam posisi memimpin atau mengaku dirinya pimpinan. Tapi banyak orang melalaikannya.
Pelatih kepemimpinan dan executive educator kelas dunia Marshall Goldsmith, yang berpengalaman sekitar 40 tahun menjadi coach para eksekutif di semua level, dari manager yunior sampai CEO, di pelbagai negara, mengatakan, “Kita kelewat sering khilaf untuk hidup sepenuhnya di saat sekarang, memperbaiki diri momen demi momen. Pikiran kita melompat-lompat ke masa akan datang ketimbang menghayati hidup saat ini sebagai satu-satunya realitas yang kita jalani.”
Beranikah mengakui, banyak di antara kita ini sesungguhnya juga terlelap (slumbering) di antara events yang sudah lewat, masa sekarang, dan ilusi masa depan? Sehingga resources yang ada pada diri dan organisasi (kecerdasan, waktu, dan mungkin juga dana) tidak difokuskan pada urusan paling utama.
Survei McKinsey beberapa bulan silam mengungkapkan, interaksi virtual yang menjadi kelaziman organisasi-organisasi telah berlangsung intens selama pandemi. Tidak ada alasan untuk tidak terciptanya kolaborasi efektif antar divisi, departemen, dan antar fungsi.
Kenyataannya, saat interaksi demikian intensif tersebut malah terjadi pemborosan resources, setiap menit yang dipakai untuk aktivitas yang bernilai rendah menggerogoti waktu yang diperlukan untuk urusan lebih penting. Sekitar 80 persen eksekutif kemudian menata ulang struktur dan irama meeting. Kendati demikian, sebagian besar mengakui telah menggunakan banyak waktu untuk pointless interaction, menguras energi dan mengalami information overload.
Indikasi lain perilaku kepemimpinan yang tidak efektif tersebut antara lain — sebagaimana dapat kita saksikan setiap hari, utamanya di kalangan pejabat publik – berupa tindakan, ucapan, dan bahkan teks yang demikian reaktif. Perilaku eksekutif yang mudah disetir oleh events atau hal-hal yang tidak perlu direspon tersebut bahkan dilakukan juga oleh pejabat tinggi. Paling sering lewat tweet mereka. Mereka kelihatan seperti kurang fokus pada tanggung jawab utama.
Kecenderungan mudah terlena antara events di masa silam, waktu sekarang, dan masa akan datang tersebut tidak terkait dengan kecerdasan, jabatan, kekayaan, atau pun kekuasaan seseorang. Ini lebih banyak karena mindset dan perilaku. Sebagian dari kita masih mencandu pemikiran (Barat) bahwa kepintaran, sukses, harta dan segala simbol yang menyertainya bersifat permanen.
Ekspresi dari pola pikir tersebut misalnya: seseorang akan bahagia jika memperoleh kenaikan jabatan, mengendarai mobil merek top produk terbaru, memiliki kondominium mewah, dst.nya. Perilaku reaktif mereka terbaca sebagai upaya menjaga semua simbol tersebut tetap melekat.
Padahal, semua itu dapat lenyap seketika seiring dengan tarikan nafas seseorang, kata Budha. Impermanence, fana. Agama-agama Hindu, Nasrani, Islam, juga mengajarkan tentang kefanaan semua hal yang ada di dunia ini. Jabatan CEO atau presiden atau perdana menteri akan hilang begitu tarikan nafas seseorang berakhir.
“Nevertheless, we have a hard time accepting impermanence as a rational way to understand our life, that the unity and uniqueness of our identity and character are an illusion,” kata Marshall Goldsmith. Sebagian dari kita, tambahnya, “are living in what Buddha called the realm of the ‘hungry ghost ‘, always eating but never satisfied.”
Menyadari kembali hubungan kita dengan waktu yang memintas dan menerima kefanaan sebagai cara rasional memahami hidup, mestinya bisa jadi pemicu untuk selalu berpikir dan bertindak optimal doing what is best for the greater or common good dalam kehidupan pribadi sehari-hari, apalagi bagi kalangan eksekutif yang memimpin tim, organisasi, dan negara.
Seorang eksekutif efektif menyadari sepenuhnya kemana waktu pergi, untuk apa saja momen-momen hidupnya diarahkan. “The first step toward executive effectiveness is therefore to record actual time use,” kata Management Guru Peter Drucker.
Mohamad Cholid is Member of Global Coach Group (www.globalcoachgroup.com)
Alumnus The International Academy for Leadership, Germany.
Books: https://play.google.com/store/search?q=senincoaching&c=books
(http://id.linkedin.com/in/mohamad-cholid-694b1528
Please contact Ibu Nella + 62 85280538449 for meeting schedule