Curahan hati Ridwan Kamil
Kisah tentang Eril, anak lelaki kesayangan kami, hakekatnya adalah cerita tentang kita semua. Hakekat bahwa semua dari kita, pasti akan pulang. Dengan waktu, tempat dan cara yang kita tidak akan pernah selalu tahu.
Hidup di dunia ini sesungguhnya adalah tentang perjalanan bukan tujuan. Dan seperti cerita setiap perjalanan, kisah selalu dimulai dari sebuah titik awal. Dan kisah akan selesai di sebuah titik akhir. Dan untuk setiap yang datang, pasti akan ada saatnya untuk kembali pulang.
Agar perjalanan selamat, maka petunjuk jalan dan bekalnya harus kita siapkan. Petunjuk jalan adalah keimanan. Bekal perjalanan adalah anfauhum linnas, yaitu tas berisi pahala amal-amal kebaikan kita.
Itulah hakekat cerita Ananda Eril.
Kami sekeluarga sudah mengikhlaskan, bahwa sesungguhnya ia sudah selesai dengan perjalanannya. Paripurna hidupnya dengan segala amalannya. Ia berpulang kepada pemilik sesungguhnya sesuai jadwalnya.
Jadwal yang sudah tertulis di kitab takdir Allah yaitu Lauhul Mahfudz.
Seandainya kami bisa bertukar tempat. Seandainya. Pastilah itu yang setiap orangtua akan lakukan.
Namun logika manusia tidak sama dengan ketetapan takdir. Dan jika terdengar cucuran tangis ibunya setiap malam dan raungan tak bersuara ayahnya, itu semata karena hati kami hancur berkeping-keping.
Saat ini kami sedang menggapai tali keimanan dan keikhlasan, agar bisa memandu kami beradaptasi terhadap takdir ini.
Kami meyakini, sesungguhnya ada dua cara menilai panjang pendeknya umur manusia. Yang pertama, menilai dengan panjangnya umur biologis yang dihitung dengan bulan atau tahun. Itu kebiasaan kita.
Namun ada cara kedua, yaitu menghitung berapa panjangnya, lamanya dan besarnya amal kebaikannya saat ia hidup di dunia fana ini.
Ananda Emmeril Kahn Mumtadz, mungkin umur biologisnya hanya 23 tahun, namun dengan luasnya amal kebaikannya, Insya Allah sungguh ia pergi dalam panjang umur.