Bagi PM Shinzo Abe, Jepang perlu memperlebar spektrum internasional yang lebih luas dengan peran Jepang yang lebih signifikan. Situasi ini menimbulkan pilihan untuk sebuah revisit platform luar negeri yang awalnya postur yang reaktif bergeser ke postur yang proaktif.
Mengapa perubahan ini terjadi? Dalam dua dekade terakhir ini, Jepang dihadapkan dengan tantangan strategis yang tidak ringan, khususnya pertumbuhan ekonomi dan militer Republik Rakyat China yang semakin besar dan berpengaruh. Wall Street Journal mencatat bahwa di tahun 2010, China menjadi kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia yang melampaui kekuatan ekonomi Jepang. Kekuatan ekonomi yang besar ini telah berdampak bagi pertumbuhan alokasi anggaran pertahanan dan kapabilitas militer. Dalam situasi itu, adanya klaim China atas kepulauan Senkaku (nama Diaoyu untuk China).
Jepang juga gusar dengan situasi Semenanjung Korea. Hal ini dapat menjadi sumber tensi dan friksi ketika pertumbuhan program nuklir dengan ujicoba misil jarak jauh dan menengah, yang beberapa kali melewati ruang udara Jepang atau bahkan jatuh di dalam perairan teritorial Jepang. Belum lagi, terdapat hubungan Jepang – Korea di masa silam yang meninggalkan jejak pekerjaan rumah bagi kedua negara.
Sementara itu, hubungan Jepang – Amerika Serikat juga penuh dinamis Selama ini Jepang berada dalam aliansi pertahanan dan luar negeri, namun dalam prakteknya muncul berbagai dinamika dengan konteks persoalan yang muncul. Muncul kritikan atas hubungan ekonomi yang defisit bagi Amerika Serikat dan rendahnya dukungan militer Jepang ketika Perang Teluk. Demikian pula, adanya beban biaya kehadiran militer Amerika Serikat di Jepang, yang selama ini dipayungi oleh Mutual Defense Treaty tahun 1951.
Memahami Pandangan Mantan PM Shinzo Abe
Berbagai pengamat luar negeri memandang bahwa proses evolusi postur dari reaktif ke proaktif pada kebijakan pertahanan dan luar negeri mulai terjadi di tahun 90-an dan awal tahun 2000-an. Pada masa pertama PM Abe (2007), ia mulai memperluas horizon strategis Jepang dan memperkuat normalisasi perannya di panggung global. Artinya, visi a Free and Open Indo-Pacific bukan sebagai even yang hadir tiba-tiba, namun merupakan proses evolusi yang progresif dari pemikiran luar negeri yang strategis Jepang.
Di tahun 2007, diawali dengan inisiasi sebuah “Arc of Freedom and Prosperity”, untuk memperluas horizon aktivitas diplomatik Jepang. Ia menyampaikan pidato di Parlemen India di tahun 2007, menekankan bahwa Samudera Pasifik dan Samudera India merupakan suatu kesatuan yang potensial untuk membawa pertumbuhan bagi kebebasan dan kesejahteraan bersama.
Ketika kembali menjabat Perdana Menteri pada tahun 2012, ia kembali intens mendorong gagasan baru perubahan platform kebijakan luar negeri pertahanan, dan peran internasional Jepang dari semula postur yang reaktif menuju postur yang proaktif dalam spektrum internasional yang luas.
Pada Shangrila Dialogue ke-13, pada 30 Mei 2014, PM Shinzo Abe menjelaskan standpoint Jepang, “Proactive Contributor to Peace”. Ia menekankan Jepang ingin memainkan peran yang lebih besar dan lebih aktif dalam membangun perdamaian di Asia dan belahan dunia lainnya. Bagi PM Abe, dari kawasan Asia dan Pasifik hingga kawasan samudera India, merupakan pusat pertumbuhan besar yang harus dirasakan oleh semua negara (mofa.go.jp, 2014).
Pandangan ini ditekankan kembali oleh PM Abe dalam pidato utama di sesi pembukaan the Sixth Tokyo International Conference of Africa Development, di Kenya, pada 27 Agustus 2016. PM Abe menawarkan ide betapa penting konektivitas Asia dan Afrika melalui jalur laut. Karena itu, pentingnya stabilitas dan kesejahteraan dalam semangat kesatuan dua benua Asia-Afrika dan dua samudera, Indian – Pasifik. Dalam pandang PM Abe, Jepang ingin memperkuat kemitraan dua benua dan dua samudera dengan mengedepankan nilai-nilai kebebasan, aturan hukum, ekonomi pasar, bebas dari penggunaan kekuatan fisik, dan wilayah yang sejahtera.