Oleh: Dhimam Abror Djuraid
Dunia sepak bola Indonesia berduka cita. Kompetisi Liga 1 yang mempertandingkan Arema FC melawan Persebaya di Stadion Kanjuruhan Malang, Minggu (1/10) berakhir menjadi tragedi. Arema kalah dari Persebaya 2-3, suporter marah, dan kerusuhan meledak menjadi huru-hara yang menewaskan sedikitnya 134 orang.
Ini merupakan jumlah korban kerusuhan sepak bola terbesar dalam sejarah sepak bola Indonesia. Bahkan, sangat mungkin jumlah ini merupakan yang terbesar dalam sejarah kerusuhan sepak bola di seluruh dunia. Jumlah korban di Malang masih sangat mungkin bertambah, karena sampai pagi ini masih tercatat 180 orang dirawat di rumah sakit.
Tragedi ini jauh lebih mengerikan dari tragedi Heysel di Brussel, Belgia pada 1985. Ketika itu berlangsung final Piala Champions antara Juvenetus melawan Liverpool, yang dimenangkan oleh Juventus dengan skor 1-0. Suporter Liverpool mengamuk dan membuat kerusuhan. Ratusan orang terluka akibat dinding stadion yang berjatuhan dan 39 meninggal dunia.
Otoritas sepak bola Eropa, UEFA, bertindak tegas dengan menjatuhkan sanksi keras berupa larangan bagi seluruh klub Inggris untuk mengikuti kompetisi apa pun di level Eropa. Bukan hanya Liverpool yang dikenai sanksi, tapi seluruh klub Inggris. Yang berbuat onar adalah suporter Liverpool, tapi yang menanggung sanksi adalah seluruh klub sepak bola Inggris.
Dengan sanksi tegas dan keras tanpa kompromi itu seluruh klub di Eropa berbenah dan menata hubungan dengan suporter. Organisasi suporter di seluruh Eropa berbenah dengan memperbaiki manajemen dan memberikan edukasi terhadap suporter-suporter yang menjadi anggota. Sanksi keras yang dijatuhkan oleh UEFA membawa efek jera yang kongkret.
Di Inggris suporter Hooligan yang terkenal fanatik dan beringas akhirnya bisa memperbaiki diri. Mereka kemudian berubah menjadi kelompok suporter yang punya fanatisme tinggi tapi tidak lagi beringas dan anarkis. Demikian halnya dengan kelompok suporter garis keras klub-klub Italia yang dikenal sebagai ‘’ultras’’. Mereka berbenah dan memperbaiki manajemen, sehingga berhasil menjadi kelompok suporter yang militan tapi tidak brutal.
Di Indonesia tragedi kematian suporter sangat sering terjadi, baik akibat perkelahian antar-suporter maupun karena kecelakaan di dalam atau di luar stadion. Tapi, sampai sejauh ini sanski yang dijatuhkan oleh PSSI, sebagai otoritas tertinggi sepak bola Indonesia, tidak memberikan efek jera yang bisa membawa reformasi total dalam pengelolaan suporter di Indonesia.
Sebelum kompetisi Liga 1 dimulai sudah terjadi korban tewas dalam pertandingan pra-musim Piala Presiden 2022, Juni lalu. Dalam laga di Geloran Bandung Lautan Api (GBLA), Bandung, antara Persib melawan Persebaya, 2 orang bobotoh, suporter Persib, meninggal dunia akibat terjatuh dan terinjak-injak oleh penonoton lain.
Dari laporan match summary terungkap bahwa kerusuhan terjadi karena penonton berdesak-desakan berebut memasuki stadion. Kapasitas GBLA yang 38 ribu full house hampir 100 persen. Data yang terungkap dari penjualan tiket menunjukkan bahwa jumlah penonton mencapai 37. 872 orang. Ini berarti 99,7 persen stadion dipenuhi suporter.
Hal ini merupakan pelanggaran karena aturan Piala Presiden menyebutkan bahwa kapasitas stadion maksimal hanya boleh diisi 75 persen. Dalam pernyataan resmi juga disebutkan bahwa panitia hanya mencetak 19.000 tiket setiap pertandingan. Dalam kenyataannya tiket yang beredar jumlahnya dua kali lipat. Semua penonton yang hadir dalam pertandingan itu diketahui memegang tiket resmi.