Jumat, November 15, 2024

Ekspor turun, konsumsi harus tetap kuat

Must read

Oleh Eddy Herwanto

Lesunya perekonomian negara tujuan ekspor Indonesia mulai tampak pada neraca perdagangan luar negeri. Ekspor September US$ 24,8 miliar, turun 10,99% dari Agustus yang US$ 27,9 miliar. Sedang impor September US$ 19,81 miliar atau turun 10,58% dari sebelumnya yang masih US$ 22,15 miliar. Turunnya nilai ekspor, selain karena melemahnya permintaan, juga karena turunnya harga komoditas ekspor utama, terutama kelapa sawit dan bahan tambang seperti nikel.

Hanya batu bara harganya rata rata di atas US$ 330/ton, terutama ditahan tingginya permintaan dari Eropa setelah pasok gas dari Gazprom (Rusia) melalui pipa bawah laut NordSTorm I terganggu. Permintaan batu bara diperkirakan masih akan tinggi memasuki musim dingin sebentar lagi di Eropa. Batu bara sebagai pembangkit energi fosil di banyak pembangkit listrik pernah dicaci benua biru Eropa karena dianggap sebagai salah satu pemicu perubahan iklim.

Perlu kerja keras agar perdagangan luar negeri tetap surplus sehingga bisa memperkuat cadangan devisa. Maklum sejak Federal Reserve Bank secara agresif menaikkan suku bunga, para pengelola dana asing (hedge fund managers) ramai ramai keluar dari pasar modal dan uang.

Sejak Januari – September 2022, capital outflow asing dari Surat Berharga Negara (SBN) tercatat sudah Rp 150 triliun – sehingga kepemilikan asing di SBN turun jadi Rp 743,23 triliun. Sementara dana asing yang masuk melalui investasi langsung (FDI) belum bisa mengimbangi capital outflow itu.

Akibatnya cadangan devisa terus terkikis, apalagi pada kuartal III, pemerintah dan swasta juga membutuhkan banyak devisa untuk mengangsur utang valuta asingnya. Sehingga pada akhir Oktober cadangan devisa turun jadi US$ 130,8 miliar, masih aman, sekalipun kemampuannya membiayai impor dan membayar utang turun jadi untuk 5,7 bulan.

Tidak perlu panik, karena transaksi berjalan (penjumlahan dari neraca perdagangan dan transaksi jasa-jasa) masih menunjukkan surplus.

Kuatnya transaksi berjalan ini memberi kepercayaan kepada rekan dagang Indonesia, sehingga mata uang rupiah tetap kuat, sekalipun sejak Januari – Oktober nilainya sudah terdepresiasi 8%, 03. Masih lebih bagus dibandingkan ringgit Malaysia (terdepresiasi 11,75%, baht Thailand (12,55%), atau rupee India (10,42%). Apalagi inflasi terjaga di bawah 6% berkat harga cabe, bawang merah, telur ayam, minyak goreng turun – sekalipun BBM secara rerata naik.

Likuiditas bank juga sangat kuat, bahkan sejumlah bank yang over likuid, mengamankan dananya pada obligasi pemerintah dan rekening wajib di Bank Indonesia. Belum tampak tanda tanda bank menaikkan suku bunga dasar kredit (SBDK) pada kuartal 4 sekalipun BI sudah tiga kali menaikkan suku bunga acuannya hingga kini 4,75%.

Sekalipun inflasi yang 5,71% (year on year) sudah melampaui target BI yang 3+/-1%, bank yang kelebihan likuiditas merasa belum perlu menaikkan suku bunga dana pihak ketiga (DPK) deposito dan tabungan untuk memupuk pendanaannya.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article