Lantas apakah kita berada di dalam ruang waktu yang terbentuk dengan logika art market melulu atau ini keberpihakan sementara dari kegamangan yang menghantui kreator kita, ketika tidak ada terobosan lain selain kompromi dengan bentukan selera itu, sebagian ada di arus pusaran itu sebagian lagi mengambil jalur pinggiran dengan perjuangan independen yang memakan waktu panjang sebagai pertahanan terakhir.
Kini siapa yang membela carut marut model kesenian kita dan seputarnya sementara kritik seni di tinggal mati suri cukup lama, pers kehilangan pamornya karena media sosial berlaku secara dominan, kehidupan berkesenian berjalan terus karya seni anak bangsa butuh saluran ekspresi untuk bertahan hidup dan eksistensi mereka.
Pameran karya seni diajang pasar bebas menentukan kembali nilai produk dagangannya, sekuat dan lihai menentukan, para pengagum dan pencinta seni, diwakili generasi muda kini menjadi kebutuhan rohani untuk mengisi atmosfer kehidupan di metropolitan ini menjadi kota kolaborasi, apapun yang dibangun art market Indonesia.
Pada akhirnya menunjuk karya seni yang bagus dan diapresiasi, karya ini layak di-branding dengan bangunan kepercayaan dengan isu kemajuan, kelak tidak diragukan lagi kridibel, capaian dan olahan kreativitas teruji oleh waktu, mestinya tidak memungkin karya di bawah standar itu bisa masuk ke ruang eksklusif ini, tanpa ada edukasi pengetahuan, sementara di luar itu, eksklusif dan elegan, tidak terbaca, tetap mendapat perhatian walaupun porsinya terbilang sangat kecil dan tidak sepadan.
Walaupun membongkar bungkus selubung yang tidak gampang untuk mendeteksi lapisan lapisan tadi, terkadang unsur herarki masih terbaca di dalam peta. Niscaya terkadang bercampur juga muatan karya kreator yang sebenarnya belum layak tampil, dipaksakan tampil, hanya sebatas selera element interior, ragam hias dan kerajinan tangan bius kandungan estetika tak terbaca oleh narasi dan konsep.
Sejak boom seni lukis era 80-an usaha mengarah dimana seni mendapat tempat dimasyarakat, pengaruh ini terbawa hingga saat ini. Usaha mati matian mencari produk seni dagangan memang rancu karena selera pemilik dan rujukan kuratorial sering tumpang tindih, kepentingan karya estetik dan keberadaan galeri sebagai distributor karya seni kini menyatu, kurator hanya menempel berperan sebagai publik relationship kepanjangan dari hand-out narasi dan konten.
Lebih dari itu pemikiran kurator hanya di tempelkan dalam bentuk tulisan seni rupa, kita sadar frame of reference dan tugas mulia pemikir tidak akan pernah sampai kalau saja formula dan rumusannya dikurangi di curangi, bahkan hanya berperan sementara menjadi pecundang over acting, beban diarahkan, disetir oleh selera owner terhadap art work yang dianggap berharga dan memiliki nilai jual tinggi saja.
Galeri kecil lebih suka bermain di dua kaki, wilayah seni berbasis komunitas yang tidak pernah jelas keberadaan karya seni, dan kreatornya sebagai penghasil dan penggerak mata rantai kebudayaan independen, mereka ambiguitas dengan selera yang dibangun tanpa sadar karya itu untuk publik seni yang seperti apa, memang apresiasi dibutuhkan dalam perjalanan seni tinggi, tetapi menimbang ruang ekspresi personal dengan bingkai elite dan bungkus elegan itu adalah pisau bermata dua kaum akademisi, untuk mengkandangkan pemikiran originalitas kreator menjadi narcicus dan pseudoculture atau lips service.
Masing masing tentunya pro dan kontra, sementara kaum pembebek ikut andil dengan mengarang narasi, dongeng eksistensi secara instan untuk berlaga dalam konstelasi seni rupa Indonesia yang sedang tumbuh tak berujung, berlakunya hipokrit, budaya minta dikasihani yang berulah pada politik seni dan akal akalan belaka yang membuat para kolektor, tokoh politik, budayawan, profesional, dibikin kapok rumahnya sering disambangi untuk diminta membuka pameran dan setelahnya ditodong untuk membeli karya mereka, sungguh tragis kenyataan kesenian kita yang carut marut ini.