#SeninCoaching:
#Lead for Good: Why culture matters
Mohamad Cholid, Certified Executive and Leadership Coach
“Unless managers are willing to commit to personal change, the organization’s culture will remain recalcitrant.” – dari Diagnosing and Changing Organizational Culture, Kim S. Cameron and Robert E. Quinn.
Kemajuan suatu usaha sangat dipengaruhi budaya organisasi. Akan lebih baik jika budaya suatu organisasi juga mampu memberikan manfaat positif pada lingkungannya beroperasi.
Untuk meraih cita-cita mulia itu diperlukan tiga tahap penting. Pertama mengubah perilaku para eksekutif agar bekerja lebih efektif, menyelaraskan nilai-nilai perusahaan dengan nilai pribadi masing-masing. Kedua, secara internal memperkuat budaya organisasi agar sanggup menuju tahapan ketiga, yaitu memberikan pengaruh positif pada lingungannya.
Tantangan utama dari ketiga tahap tersebut adalah bagaimana mengelola atau, kalau bisa, mengubah keyakinan yang sudah ternanam di benak para eksekutif, team leaders, dan stakeholders mereka.
Tentu ini tidak ringan. Berdasarkan pelbagai survei dan kenyataan sehari-hari yang kita lihat, sejak ribuan tahun silam sampai hari ini manusia cenderung memeluk erat keyakinan yang mereka percaya sebagai kebenaran, bahkan kendati kemudian terbukti semua itu hoax, tidak sesuai realitas.
Sekitar 380 tahun Sebelum Masehi, Filsuf Plato dalam The Allegory of the Cave menuturkan betapa manusia mudah terjebak dalam pemahaman yang sudah melekat dalam benak mereka, kendati semua yang dipercaya itu ilusi, ibarat bayangan-bayangan yang memintas di dinding gua. Dalam cerita itu, orang-orang di gua menampik dengan keras fakta di luar yang bahkan lebih baik.
Contoh konkrit: Orang-orang Amerika yang dianggap sebagai masyarakat modern itu pun sempat bertahun-tahun terbenam dalam keyakinan bahwa Presiden Irak Saddam Hussein berperan dalam peristiwa September 11, 2001 – serangan pesawat terbang sipil merontokkan Twin Towers di New York.
Kendati kemudian Komisi 9/11 menyatakan tidak ada link antara Saddam Hussein dengan kasus Twin Towers dan Presiden George W. Bush juga menegaskan hasil temuan tersebut, masyarakat AS banyak yang masih percaya bahwa Saddam Hussein terlibat.
Itulah belief, keyakinan yang tertanam dalam benak. Lantas apa kaitan semua itu dengan leadership dan penataan organisasi (bisnis), serta pembentukan budaya perusahaan?
Belief merupakan bagian terpadu dalam jati diri umat manusia, mahluk hidup yang selalu butuh makna dalam meneguhkan eksistensinya. “The involuntary mental drive is the cognitive imperative; it is the almost irresistible, biologically driven need to make sense of things,” kata Andrew Newberg, psikolog yang merintis penelitian bidang brain science dan belief.