Kepemimpinan sebenarnya bisa muncul dari orang biasa tanpa jabatan dan otoritas memerintah, tapi mereka berhasil menggerakkan orang-orang lain untuk melakukan perubahan positif demi kepentingan banyak orang, dari pelbagai golongan.
Ini memerlukan sejumlah courage – emotional courage, spiritual courage, intellectual courage, dst.nya – agility, kerendahan hati mengakui kekurangan diri, inklusif, konsisten melakukan follow up dan evaluasi terhadap yang dilakukan bersama orang lain.
Kepemimpinan juga sering disalahpahami sebagai keberhasilan seseorang mereguk sukses material dan aset keduniawian lainnya.
Sebagian orang yang mengaku masuk kalangan intelektual bukannya tidak menyadari semua itu. Namun, kelihatannya mereka ikut menggadaikan jiwa dan keterpelajaran demi memperoleh kontrak berbayaran tinggi dari deretan “para pimpinan” yang kosong jiwa (di pemerintahan) itu, lantas pada hidup mewah.
Tidak ada larangan orang bergelar doktor kaya raya; tapi kalau itu diperoleh dengan cara mendukung penguasa yang diyakini publik telah menistakan hukum dan sistem demokrasi, tentu bisa jadi perkara yang syubhat.
Bung Salim Rahimahullah memilih bukan jadi bagian dari mereka. Untuk sosok sekaliber dia, rumah tinggalnya biasa. Nilai pensiun sebagai Duta Besar RI di Czechoslovakia kurang dari IDR 5 juta/bulan, bahkan ketika dirawat di RSCM Jakarta berada di kamar bersama tiga pasien lain, bukan di kelas satu. Tapi ternyata mampu menghibahkan 10 ribu buku koleksi pribadinya ke Universitas Islam Indonesia.
Kita bisa mengatakan, Bung Salim Rahimahullah memiliki courage yang dapat dijadikan contoh. Courage adalah keteguhan hati, pikiran, mental, dan emosional menjunjung tinggi nilai-nilai keadaban manusia. Courage berbeda dengan bravado, gagah-gagahan, suka mengunggulkan jabatan dan urusan badaniah lain. Bung Salim tampaknya sudah meraih tahap (yang oleh Aristoteles disebut) phronesis, memiliki practical wisdom, sebagai pucuk intellectual virtues.
Berapa gelintir di antara pimpinan jawatan atau pejabat publik sekarang ini yang layak kita sebut sebagai pemimpin? Apakah mereka memiliki courage memadai untuk, minimal, melakukan perubahan budaya kerja di lingkungannya jadi lebih empati kepada para stakeholders? Mungkin secara normatif dan legal mereka tidak melakukan pelanggaran. Tapi kalau kerja “pas banderol” dianggap berprestasi, kapan majunya?
Leadership perlu courage. Ini berlaku di pemerintahan, lembaga nonprofit, dan institusi bisnis. Setiap zaman, periode, dan situasi di setiap wilayah kegiatan dan geografis lazimnya akan menghasilkan para leaders, pemimpin dengan courage teruji, utamanya di saat-saat menghadapi situasi pelik. Memimpin mamasuki ketidakpastian, merasakan ketidaknyamanan, dan melakukan sejumlah hal counterintuitive.