Oleh Mohamad Cholid, Certified Executive and Leadership Coach
Istilah “driving into the blizzard” untuk menggambarkan upaya menebus sunk cost, ongkos yang sudah dibayarkan, secara nekad. Seperti cerita dua sahabat dari suatu kota yang ingin nonton pertandingan basket para pemain profesional di kota lain yang jauh. Tiket sudah mereka beli. Tapi pada hari pertandingan terjadi badai salju.
Dengan harga tiket demikian mahal, tak ada kata mundur, mereka nyetir mobil menembus cuaca teruk tersebut – dengan konsekuensi tambah waktu, biaya membesar, dan resiko yang tak terkendali.
Proyek-proyek yang sudah menelan ongkos demikian besar, di pelbagai tempat di dunia, cenderung tetap digeber dengan cara apa pun, bahkan ketika dalam prosesnya biaya menggelembung beberapa kali lipat. Di sektor publik, proyek-proyek besar yang lazimnya ditentukan oleh dua faktor utama, yaitu psikologi dan politik, situasinya makin parah. Bahkan ketika para politisi menyadari publik akan tergoncang akibat sunk cost, “sticking with fallacy is politically safer than making a logical decision.”
Demikian menurut hasil studi Bent Flyvbjerg, an economic geographer University of Oxford yang oleh jaringan KPMG disebut sebagai “the world leading megaproject expert”, bersama Dan Gardner, wartawan the New York Times, dengan karya bestseller Risk and Future Bubble.
Bent Flyvbjerg lebih dari profesor biasa. Ia terlibat dalam sejumlah megaprojects, bersama timnya antara lain ikut menyelamatkan proyek XRL, kereta bawah tanah super cepat Hong Kong ke China.
Proyek XRL sempat terancam gagal. Jadwal molor, para manajer dan tim pekerja disalahkan. Padahal pengelolanya MTR, yang sudah puluhan tahun membangun dan mengelola kereta bawah tanah Hong Kong.
Tapi MTR membangun XRL berdasarkan anchor tidak tepat – yaitu pengalamannya membangun kereta bawah tanah konvensional di kawasan urban. Ditambah optimism bias, plus ambisi, MTR mematok jadwal penyelesaian yang salah sejak awal.
Saat mengalami jalan buntu, Bent Flyvbjerg bersama tim diundang untuk membantu menata ulang proyek XRL. Akhirnya, pada 22 September 2018 kereta super cepat bawah tanah pertama XRL meluncur mulus di terowongan menuju China.
Bagaimana dengan IKN, apakah akan seperti “driving into the blizzard”? Ambisinya jelas, “We want to build a new Indonesia,” kata Jokowi kepada wartawan The New York Times yang ditemaninya keliling IKN pada 2023. “This is not physically moving the buildings. We want a new work ethic, new mind-set, new green economy.”
Dari perspektif proyek, belum pernah terdengar IKN dilaksanakan berdasarkan anchor apa. Di negara-negara lain, sejak sekian abad silam ketika Nanjing pindah ke Beijing sampai abad 20-an ini saat Kuala Lumpur pindah ke Putrajaya, dari Seoul ke Sejong City, dst.nya, semua kepindahan ibukota adalah ke wilayah yang berpenduduk, sudah ada sarana dan prasarana untuk kehidupan mereka.