Mohamad Cholid, Certified Executive and Leadership Coach
Orang-orang di masjid itu tampak sujud. Namun, kata sebagian ulama, kemungkinan di antara mereka sesungguhnya tidak sedang menyembah Tuhan, tapi sedang memuja keinginan-keinginan pribadi, memuliakan ego masing-masing.
Dalam satu riwayat disebutkan, ada seorang ahli ibadah tengah sujud ketika seorang preman masuk lalu meletakkan kakinya di kepala si Fulan yang tengah sujud itu. Begitu bangkit, Fulan berang dan mengatakan kepada si preman, Tuhan tidak akan mengampunimu.
Lantas Allah menurunkan wahyu kepada Rasulullah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam untuk mengingatkan si Fulan – dan tentunya juga kepada umat beliau sampai akhir zaman — agar tidak membawa-bawa nama Tuhan untuk memuaskan ego dan mengesahkan kemarahan.
Dalam kemampuan memilah antara emosi pribadi dengan perintah Tuhan, Sayidina Ali bin Abi Thalib bisa jadi contoh. Dipetik dari satu adegan penting dalam Perang Khandaq (tahun 627) yang fenomenal. Waktu itu Ali bin Abi Thalib menerima tantangan duel Amr bin Wudd, jagoan andalan pasukan aliansi kaum musyrikin.
Saat Sayidina Ali berhasil menjatuhkan Amr bin Wudd dan siap memenggal leher lawannya itu, Amr meludahi wajah Ali. Dalam keadaan marah akibat diludahi, Sayidina Ali menghentikan ayunan pedangnya. Orang-orang yang menyaksikan itu terdiam, bingung, termasuk Amr bin Wudd.
Sayidina Ali mengatakan, dirinya tidak mau kemarahannya, ego, kepentingan pribadi, merusak misinya melaksanakan perintah Allah untuk mengalahkan kaum musyrikin. Setelah marahnya berhasil ia redam, baru Ali membunuh Amr bin Wudd.
Kebanyakan manusia tidak berhasil mengelola situasi pelik, utamanya ketika harus memilah-milah ego, kepentingan pribadi dengan tugas sosial, professional, bahkan saat menjalankan kewajiban agama.
Kecenderungan umumnya manusia adalah senang berkaca pada kepentingan duniawi yang impermanent ketimbang fokus menuju Keabadian. Mereka tidak engaged dengan urusan yang menjadi tanggungjawab utama — menyebabkan seperti berlepas dari Hidup.
Perilaku itu mirip para petugas partai, pejabat publik, yang tampak lebih sibuk membangun pencitraan, sambil menggerogoti anggaran negara demi pundi-pundi pribadi dan partai, merusak tatanan moral, sosial-poiitik, keadaban, ketimbang melazimkan engagement dengan para pemangku kepentingan. Mereka berlepas dari kepentingan publik.
Disengagement juga terjadi di lingkungan organisasi bisnis, bahkan nonprofit. Para pimpinan overwhelmed dengan kepentingan jangka pendek dan kebanggaan semu, ketimbang meningkatkan kualitas engagement dengan tim dan para stakeholders untuk meraih tujuan-tujuan jangka panjang yang lebih mulia.