Oleh: Nur Iswan, Senior Advisor INDOPOL (Politics, Policy and Business Research)
Ketika sudah tiba waktunya, tak seorang pun bisa menghadangnya. Tak ada pihak manapun bisa menghalaunya. Tidak bisa. Setidaknya, skenario yang telah disusun dengan rapih harus berubah. Disesuaikan dan dirancang ulang.
Setelah kita “dipaksa” belajar kepada pedagang es teh. Kita semua dikejutkan dan disadarkan untuk belajar kepada Pagar. Tepatnya kepada pagar-pagar yang membentang puluhan kilometer di pelataran laut-laut kita.
Siapa yang menduga, urusan pagar dan “rencana kebijakan reklamasi” ini berbalik dengan cepatnya. Rasa percaya diri dahulu, berbalik seketika menjadi rasa cemas. Kenapa? Karena jangan-jangan pagar sedang mencari siapa saja yang jadi “korban” atau “dikorbankan”. Bahkan mungkin “dikambing-hitamkan”.
Jika saja dulu perencanaan dan kebijakan melibatkan seluas mungkin masyarakat, mungkin tak seperti sekarang kejadiannya. Jika saja, para nelayan dan masyarakat pesisir pantai yang terdampak didengarkan jeritan hatinya maka mungkin ada solusi terbaik sejak awal.
Dalam tradisi masyarakat Banten: ada istilah “mista, maja, utama.”. Kesalahan bisa dimaafkan sekali-dua kali, tapi tak bisa dibiarkan menjadi ketiga kali. Maka, ketika kali ketiga dipaksakan maka alam semesta bersatu-padu dan bergerak sendiri melawannya.
Harus diakui, Indonesia memang akan terus melahirkan peristiwa penuh kejutan-kejutan. Dimana kita semua – terpaksa atau sukarela — harus belajar kepadanya.
Kepada pagar, kita melihat wajah Indonesia. Melalui pagar, kita melihat wajah pengusaha sekaligus wajah pengembang. Wajah nelayan. Wajah seluruh aparatur sipil negara beserta penegak hukumnya.
Kita juga belajar kepada pagar-pagar bambu dalam mencermati wajah para menteri dulu dan sekarang. Wajah angkatan perang di laut. Wajah kepala desa. Wajah administrasi pensertifikatan (SHM dan SHGB), termasuk yang diatas laut. Wajah jurnalisme dan awak media. Wajah-wajah yang pro maupun kontra. Juga Wajah-wajah netizen yang penuh keberanian dan mencengangkan dalam memviralkannya.
Lantas, setelah kita mereguk hikmah dan pelajaran dari tumpukan pagar-pagar bambu itu maka Indonesia mau apa?