Kolom Anang A Yaqin
Wakil Presiden KH. Ma’ruf Amin tiba-tiba bicara tentang K-Pop dan Drakor yang saat ini menghentakan jagat budaya pop dunia. “Sangat menginspirasi,” kata bekas Ketua MUI yang selalu berkopiah dan bersarung dalam penampilannya. Kultur korea kini idak hanya menghebohkan Nusantara, dia mampu menembus budaya pop Eropa dan Amerika yang sebelumnya sangat dominan.
Anak-anak muda di Amerika, Eropa, Timur Tengah juga Afrika, semua terpesona oleh penampilan grup-grup musik Korea. Apalagi di Asia. Para performer budaya korea kini menjadi idola anak-anak muda seantereo jagat. Kultur Korea, mulai dari cara berpakaian, gaya rambut dan simbol komunikasi, didominasi oleh cara artis-artis Korea tampil di permukaan. Warrbyasahhh, begitu para netizen negeri +62 ini mengekspresikan kekagumannya.
Tidak berhenti sampai di situ. Makanan negeri Ginseng itu semacam Kimchi, Bibimbap, Tteokbokki, Samyang dan Bulgogi telah menjadi makanan sehari-hari masyarakat urban seluruh dunia. Korea mendunia begitu rupa, berkat talenta-talenta muda dan mereka bangga atas kultur itu. Untuk soal makanan, Korea tidak sendiri.
Tidak kalah gempitanya makanan-makanan khas Jepang. Sushi, Sashimi, Yakiniku, Takoyaki, Mochi, Dorayaki. Minuman seperti teh Cobucha, kini menjadi minuman milik lidah warga dunia.
Kenapa Jaipongan, Tari Kecak, Campur Sari, Tari Piring, Tari Saman tidak bisa menguasai pentas dunia? Lalu, di mana Jojorong, Kerak Telor, Keripik SanJay, Ikan Bakar Jimbaran, Pecak Jengkol, Soto Sulung, Rawon, Bebek Kremes, Gulai Kakap, Gudeg, Kluwek dan ribuan makanan khas nusantara?
Baru Rendang yang go internasional, dan ternyata diterima oleh lidah kaum urban di dunia. Artinya, makanan khas Nusantara lain dengan variasi dan pabrikasi yang menarik, dapat dipastikan bisa diterima. Juga Ketika musik dangdut kini perlahan mulai digemari di Amerika, tentu Jaipong, Tari Saman, mungkin juga angklung, dengan kemasan milenial kontemporer serta didukung oleh festival-festival kelas internasional, pasti akan diterima dan menjadi varian kultur dunia. Dan kita akan bangga tentunya.
Disinyalir, ada yang tidak tersambung secara memadai antara kekayaan khasanah budaya nusantara dengan saluran-saluran ekspresi publik. Tidak saja saja saluran ekspresi menuju go internasional, bahkan saluran secara nasional pun sepertinya macet. Warga Nusantara menghadapi apa yang disebut dalam literatur studi kebudayaan sebagai cultural ambiguity.
Seseorang atau sekelompok orang yang karena desakan kebudayaan yang masuk, dia tidak mampu mengidentifikasi identitas dirinya. Siapa saya dan apa kebudayaan saya, lenyap dalam desakan arus kebudayaan lain yang lebih dulu dan dominan. Saya sebagai warga Nusantara, tidak bisa mengekspresikan diri atas kebudayaan nusantara (Nusantara Cultural-N-Cul).
Warga Nusantara tidak tahu dan tidak mengerti apa itu identitas kebudayan Nusantara. Melalui gadget yang tiap saat berada dalam genggamannya, warga disuguhi oleh ekspresi dan produk-produk budaya bangsa lain, dengan kemasan yang menggelegar.
Lalu, di mana pangkal kemacetannya?
Sedikitnya ada tiga sumbatan. Pertama, Ada stigmatisasi kuat pada masyarakt atas pengejaran cita-cita melalui jalur non-formal. Stigma ini mengurung imajinasi generasi muda usia sekolah,i usia 7 – 20 tahun, untuk hanya menyisakan secuil waktu saja agar menekuni jalur non-sekolah.
Kenapa 250 juta penduduk Indonesia kalah jauh prestasi sepakbolanya dengan Pantai gading yang hanya berpenduduk 1,2 juta. Serbia yang berpenduduk setara dengan Pulau Maluku, bisa merajai dunia tennis internasional. Jumlah penduduk Korea Selatan itu hanya seperlima (51,6 juta), tetapi prestasi kebudayaan baik kesenian dan olah raga menjadi digdaya saat ini.
Di negara-negara tersebut, sejak dini anak diberikan kesempatan untuk memilih, jalur akademis (sekolah formal) atau Non-akademis, sekarang memiliki kesempatan sama untuk dijadikan sebagai jenjang karir.
Kedua, selain hanya memiliki secuil waktu dan perhatian, kurikulum sekolah pun tidak ramah terhadap muatan lokal. Dikatakan tidak ramah, betatapun telah diberikan porsi, muatan local disediakan dengan metode belajar yang tidak berorientasi pada praktek berkebudayaan secara total.
Muatan lokal akhirnya disediakan untuk kemudian hari bisa dinyatakan lulus dalam ujian tertulis. Pun juga dalam materi pelajaran olah raga. Kebudayaan lokal (muatan local) hanya diperkenalkan seperti mengolesi margarin di atas roti, kemudian dipanggang. Wangi, tapi tidak menohok, masuk dalam imajinasi warga.
Ketiga, imajinasi dan beban orientasi politik para pembuat kebijakan sesak oleh tujuan-tujuan jangka pendek. Para politisi tersebut lebih memikirkan kelanggengan kursi kekuasaan yang didudukinya, daripada secara sungguh-sungguh memikirkan program-program bagi pengembangan talenta-talenta anak negeri.
Kita ingat bagaimana kisruh di organisasi-organisasi pengurus olah raga yang sepanjang masa seperti tidak mengenal berhenti. Juga di organisasi-organisasi kebudayaan lainnya. Di beberapa propinsi yang memiliki produk makanan hebat seperti Banten, tidak ada Lembaga yang secara khusus melindungi dan mengembangkan khasanah kuliner Banten.
Sumbatan-sumbatan tersebut, disinyalir kuat menghambat pengembangan talenta-talenta warga Nusantara. Mereka akhirnya, karena tidak diberikan porsi yang cukup untuk berkembang, akhirnya banyak melupakan khasanah kebudayaan yang sejatinya telah menempel lama dengan dirinya. Mereka lebih memilih menjadi penikmat produk-produk kebudayaan lain, penonton atas prestasi-prestasi atlit negara lain, setelah itu tertidur pulas dengan gadget tetap dalam genggamannya.
N-Cul pun terkulai melemah dalam buaian mimpi para warganya. Sementara saya meneruskan mengiris bumbu jahe, lengkuas, bawang merah, bawang putih, cabe dan tomat dan sedikit kecombrang untuk membuat pecak jengkol.